Plagiarisme yang Menusuk

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
Konten dari Pengguna
2 Februari 2021 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Plagiat. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Plagiat. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan soal self-plagiarism (swaplagiasi) yang diluncurkan mantan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu ke Rektor terpilih USU, Muryanto Amin.
ADVERTISEMENT
Hasil analisis tim indepeden atas tuduhan self-plagiarism di atas yang terdiri atas berbagai unsur kampus ternama, maka kemudian membawa Dirjen Dikti Kemendikbud, Nizam, menegaskan tak ada plagiasi dari Muryanto, yang terjadi adalah penerbitan ulang karyanya (cnnindonesia, 28/1/2021). Maka kemudian, Muryanto Amin tetap dilantik sebagai Rektor USU 2021-2025 tanpa Gubernur Sumut dan 9 Majelis Wali Amanat. Buntut polemik Rektor USU, Kemendikbud berencana memperbarui aturan mengenai plagiarism, termasuk istilah self-plagiarism (tempo.co, 29/1/2021).
Di tengah kontroversi pelantikan Rektor di atas, Nadiem Makarim selaku Mendikbud belakangan ini menerbitkan Keputusan Menteri nomor 6169/MPK.A/KP/2021 pada 27 Januari 2021. Kepmen itu seperti dilansir tempo.co (1/2/2021), mengatur pencabutan Keputusan Rektor USU nomor 82/UN5.1.R/SK/KPM/2021 tentang penetapan sanksi pelanggaran norma, etika akademik/etika keilmuan dan moral sivitas akademika atas nama Rektor USU saat ini, Muryanto Amin, atas pelanggaran plagiarisme.
ADVERTISEMENT
Dinamika atau kalau tak bisa disebut kegaduhan USU justru menunjukkan lemahnya kampus dalam menggotong budaya akademik yang seharusnya menjadi panglima. Pengabaian bersilang pendapat, diskusi dan iklim musyawarah berasa kering bahkan senyap di jajaran para elite kampus. Jika demikian, teladan apa lagi yang bisa kita berikan kepada para mahasiwa. Mengapa juga di area intelektual justru syndrome kepiting membiak.
Kisah sedih plagiarism (bukan self plagiarism) pernah menimpa rektor Unnes, Fathur Rochman yang mendapatkan tudingan stafnya, dosen FPBS, Sucipto HP, kalau Pak Rektor melakukan plagiarisme dalam disertasinyta dari skripsi mahasiswa dari kampus yang sama yang akhirnya berakhir damai dan clear. Mantan Rektor UNJ, Jaali pun pernah dikabarkan tersangkut kasus plagiarisme, yang berita lainnya seperti plagiarisme di Unpar maupun ITB yang dilakukan salah seorang staf pengajar di kampusnya.
ADVERTISEMENT
Kembali ke kisah USU, mestinya kedua pihak yang bertikai mampu menyelesaikannya secara baik dengan jalan musyawarah mufakat. Sebenarnya, kalau memang beritikad mengedukasi masyarakat, maka keduanya bisa menuliskan opini maupun hak jawabnya di media. Andai jalan mufakat deadlock.
Menahan diri, mengelola hati dan mengatur emosi rupanya mesti cakap mengular di sini. Kecakapan otak penting, tapi kecakapan emosi pun tak kalah penting. Di negeri ini, seharusnya orang-orang pintar juga turut bicara menengahi friksi kalau tak boleh dikatakan sebagai konflik internal kampus. Orang pintar banyak, orang baik tak kalah banyak, tapi sebaiknya tak hanya diam, menyaksikan peperangan antar orang-orang yang secara intelektual cukup. Pengenaan sanksi soal self plagiarism dari mantan rektor yang bertebaran di mana-mana, sebaiknya juga dilandasi aturan atau regulasi yang jelas.
ADVERTISEMENT
Deklarasi anti plagiat dan anti menyontek (2011) hanya isapan jempol belaka karena belum membumi dalam diri civitas akademika kampus. Praktik plagiarism bertubi-tubi menghujam civitas kampus. Jalan mendua, mungkinkah plagiarisme itu memang menjadi tujuan atau barangkali apa sesungguhnya tujuan mengabdikan diri di kampus.
Meskipun payung hukum kita untuk mengaborsi praktik sesaat plagiarisme sudah jelas, yakni Permendik 17/2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiarisme di perguruan tinggi mengatur tujuh sanksi untuk mahasiswa yang menjiplak karya ilmiah orang lain. Ancaman bagi mereka yang telah lulus dari satu program studi dan terbukti melakukan plagiarism, ijazahnya bisa dibatalkan.

Kerumunan

Sedangkan bagi mahasiswa aktif, hukuman dijatuhkan, antara lain teguran, peringatan tertulis, dan pemberhentian secara tidak hormat. Indonesia ini memang luar biasa, setiap regulasi yang ada dipastikan orang selalu saja pintar membuat celah untuk menerobos rambu-rambu itu demi mengeruk uang, dan sebagainya. Poros peran kampus di sini mesti menjadi role model bagi masyarakat sebagai kampus yang menginspirasi untuk tidak praktik plagiarism, korupsi, gratifikasi maupun pungli.
ADVERTISEMENT
Kita tabuh genderang berperang melawan praktik dan tradisi plagiarisme, jual beli gelar, ijazah maupun uang sogok mahasiswa baru, dll. Kita harus pinggirkan budaya instan. Di samping itu, pelaku atau aktornya, baik yang menerima gelar maupun yang memberi harus diberi sanksi sehingga martabat kampus pulih kembali.
Hormat kita kepada Menteri Pertahanan Jerman Karl-Theodor zu Guttenberg mengundurkan diri setelah dia dilaporkan menulis tesis doktor yang sebagian besar adalah hasil contekan pada tahun 2006. Menyusul kemudian, Presiden Hongaria, Pal Schmitt yang meletakkan jabatan tahun 2012 setelah gelar doktornya yang diraihnya tahun 1992 dibatalkan pasca temuan bahwa terbukti ada unsur plagiarisme sebagian dari disertasinya setebal 200 halaman.
Kita pun patut menyampaikan salut atas keputusan Anggito Abimanyu pernah dilabeli plagiarisme atas karya ilmiah mahasiswa UGM, dan akhirnya sang profesor memilih mundur sebagai tenaga pengajar dari kampus almamaternya.
ADVERTISEMENT
Praktik kelam plagiarisme, sekurangnya menjadi lesson learned bagi kita semua atas pentingnya nilai prinsip kejujuran, kokohnya kebenaran tanpa kebohongan. Plagiarisme dan kerumunan kata-kata itu sungguh telah menusuk sekujur pendidikan kita.