Konten dari Pengguna

Urgensi Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa

Marjono
Bukan arsitek bahasa, tidak pemuja kata, bergumul dalam kerumunan aksara
17 September 2020 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marjono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Dok. Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Dok. Freepik
ADVERTISEMENT
Perjuangan studi rentang 4-5 tahun dan pamungkasnya adalah selebrasi wisuda di level kampus maupun fakultas. Tapi moment membahagiakan itu bukanlah akhir dari pergumulan orang-orang berpendidikan tinggi, welleducated.
ADVERTISEMENT
Wisuda bukan akhir sebuah penantian panjang dan pamali dari upaya untuk terus belajar, tetapi justru menjadi awal untuk terus meningkatkan kualitas diri yang lebih baik. Kita ingin semua untuk terus semangat belajar dan belajar, termasuk belajar mengembangkan karakter dan jati diri yang lebih baik di tengah semakin kusutnya akhlak dan moralitas masyarakat dan kaum muda kita.
Bukan penulis underestimate terhadap pendidikan di perguruan tinggi dalam membentuk karakter mahasiswanya. Tetapi buat penulis, karakter dan jati diri harus terus ditanamkan pada diri pemuda dan mahasiswa Indonesia sampai kapan pun. Bukan sebatas di lingkungan pendidikan formal saja, tetapi di semua lingkungan manapun berada. Dengan demikian ketika mereka mulai dan sudah terjun di masyarakat, maka segala tindakan dan ucapan akan memunculkan karya-karya hebat yang bisa benar-benar memberi arti dan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Maka kemudian, pendidikan karakter di perguruan tinggi cukup penting dihidupkan terus. Hal bisa dilakukan dengan cara menarik dan tidak membosankan bagi rekan-rekan semua. Penulis sadar, hari gini anak muda diajak berpikir tentang pengembangan karakter yang muluk-muluk, sangat sulit. Internalisasi pendidikan karakter bagi mahasiswa harus dilakukan melalui contoh dan keteladanan serta dalam suasana yang relaks, tidak formal, komunikasi dua arah sehingga ada sharing dan curah pendapat. Apalagi disertai game-game yang menarik. Ini jauh lebih mengena dan tidak membosankan.
Bung Karno pernah berpesan kepada kita, “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building), karena pembangunan karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, jaya, dan bermartabat. Jika pembangunan karakter ini tidak dilakukan atau salah melaksanakannya, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”. Maka, sudah sepantasnya kita merenungkan kembali pesan Founding Father tersebut dengan menyimak realitas kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini kalangan birokrat, pendidik, orang tua, dan kalangan muda Indonesia resah, khawatir, dan kecewa karena adanya krisis keteladanan. Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara semestinya jadi living values masyarakat Indonesia sehari-hari, masih jauh dari harapan. Ditambah lagi, di tingkat satuan pendidikan, sebagai institusi yang kita harapkan mampu membentuk karakter peserta didik yang sesuai nilai-nilai Pancasila juga masih jauh dari harapan. Hal ini membawa konsekuensi ditinggalkannya nilai-nilai Pancasila seperti musyawarah, gotong-royong, kerukunan, dan toleransi beragama.
Menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa, menjadi hal krusial dan mendesak yang harus dilakukan bangsa ini. Dengan cara apa? Membuat kebijakan dan implementasi pendidikan yang mengangkat kembali nilai-nilai Pancasila sebagai pendidikan karakter di sekolah, termasuk perguruan tinggi. Sudah seharusnya apabila nilai-nilai karakter yang ada dalam Pancasila disemai kembali di lingkungan pendidikan dengan merevitalisasi pengampu mata kuliah, metode pembelajaran, metode pendekatan, dan sistem evaluasi yang berkesinambungan agar dapat berjalan secara efektif. Nilai-nilai yang ada dalam Pancasila jelas sangat lengkap dan harus secara serius ditanamkan kepada mahasiswa sebagai modal membangun jati diri, sehingga mereka siap memegang estafet pembangunan di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Berbicara pendidikan karakter di Perguruan tinggi itu tentu tidak bisa dipisahkan dan merupakan kelanjutan dari implementasi pendidikan karakter di jenjang sekolah sebelumnya, mulai PAUD sampai SMA/SMK/MA. Jadi ada kontinyuitas, tidak berdiri sendiri. Artinya penulis ingin mengatakan kalau pendidikan karakter itu sudah harus dimulai dari sejak dini sehingga dari satu jenjang sekolah ke jenjang lainnya itu lebih mudah. Anak-anak kita sudah terbentuk pondasi yang baik, tinggal memperkuat di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
COM-Ilustrasi kelulusan mahasiswa Foto: Shutterstock

Cerdas Otak Cerdas watak

Namun, kalau kemudian secara riil para mahasiswa tidak memiliki karakter yang baik, belum mendapatkan pendidikan dan keteladanan dalam pengembangan karakter di jenjang sekolah dasar dan menengah. Maka, diperlukan treatment khusus agar pendidikan karakter di Perguruan Tinggi benar-benar menemukan momentum yang tepat dan berdayaguna serta berhasilguna secara optimal.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pendidikan karakter di Peguruan Tinggi harus menjadi bagian integral dalam proses perkuliahan, termasuk dalam berbagai bidang kegiatan kemahasiswaan lainnya, seperti di kegiatan pramuka, olahraga, karya tulis ilmiah, kesenian, dan sebagainya. Jika ada pembudayaan pengembangan karakter dalam kehidupan dan aktivitas keseharian kampus seperti ini, maka menjadi budaya kampus yang sehat.
Dalam hal ini kita ingin mengatakan bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai inti kegiatan di kampus harus mampu dilakukan dengan baik dan berkarakter. Artinya ada penguatan pendidikan yang dilakukan agar mahasiswa tidak hanya cerdas intelektual tetapi juga memiliki karakter yang hebat. Cerdas otak dan juga cerdas watak.
Maka, mata kuliah-mata kuliah di perguruan tinggi harus diarahkan pada internalisasi nilai-nilai Pancasila. Pembelajaran yang dilakukan harus inovatif. Di sinilah dibutuhkan kemampuan dosen yang kreatif meng-create proses pembelajaran mata kuliahnya agar menarik dan tidak membosankan sehingga mahasiswa mengetahui nilai-nilai karakter yang ada dalam Pancasila. Kemudian juga mencoba membangkitkan rasa cinta mahasiswa untuk melakukan perbuatan baik yang mencerminkan nilai-nilai dalam 5 (lima) sila Pancasila. Perbuatan baik ini harus terus dilatih.
ADVERTISEMENT
Ini sulit, tetapi merupakan proses yang harus dilakukan dalam pengembangan karakter. Suatu kebaikan yang dilakukan terus menerus dan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan yang baik pula. Dengan demikian hal ini akan menjadi kekuatan luar biasa bagi mahasiswa dalam melakukan tindak kebaikan dan sekaligus mengerem perbuatan negatif. Ini kalau kita bicara pendidikan untuk mendukung pembentukan karakter diri yang tercermin dalam sikap dan tindakan yang beretika, bermoral, dan nilai-nilai kebaikan lainnya yang ada dalam Pancasila.
Kemudian untuk membentuk mahasiswa agar menjadi pribadi yang hebat, tidak loyo, tahan banting, mandiri, mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan tumbuhnya kesadaran akan segala potensi yang dimiliki, maka kampus bisa mengoptimalkan layanan bimbingan dan konseling. Bukan hanya satu atau dua dosen saja yang menjadi konselor atau bukan pembimbing akademik belaka, tetapi jauh lebih baik kalau semua dosen bisa memberikan konseling kepada mahasiswanya.
ADVERTISEMENT
Jadi, tidak ada jarak antara dosen dengan mahasiswanya. Setiap dosen harus mampu membuka ruang seluas-luasnya bagi semua mahasiswa untuk menyampaikan uneg-uneg dan problem-problem yang dihadapi baik dalam perkuliahan maupun dalam pergaulannya. Jangan biarkan mereka mencari ruang penyelesaian sendiri yang sering kali malah salah tempat, seperti salah pergaulan sehingga menyebabkan mereka masuk aktivitas underground, menggunakan narkoba, kriminal, terorisme, dll. Jadi, ada intimitas selayaknya orang tua-anak, antara mahasiswa dengan dosen
Dalam hal ini layanan konseling dan bimbingan bisa dilakukan dengan banyak cara. Melalui komunikasi dari hati ke hati, atau bahkan melalui pendekatan dengan melakukan game akan semakin meningkatkan kepercayaan diri dan motivasi mereka untuk lebih maju. Kemudian kita sediakan fasilitas yang dapat menunjang pengembangan potensi, bakat dan minat mahasiswa agar semakin optimal.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dalam hal pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sekurangnya dapat diarahkan untuk memantapkan berbagai karakter yang telah dibina selama perkuliahan. Jadi semacam learning by doing, proses belajar sambil melakoni dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, sembari belajar memantapkan karakter diri yang lebih baik, mahasiswa juga mengambil bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Keterlibatan mahasiswa dalam memberdayakan dan mengurai problem-problem masyarakat ini juga menjadi bagian dari pengembangan karakter diri. Jadi ada peran mahasiswa untuk mau saling membantu, peduli, menghargai dan memecahkan persoalan-persoalan kemasyarakatan dengan cepat, tepat dan dapat dipertanggungjawabkan. Universitas sejati itu hanya ada di tengah masyarakat. Universitas kehidupan itu berada bersama masyarakat.

Internalisasi

Jadi proses pendidikan karakter di perguruan tinggi, bukan proses yang instan, tetapi butuh waktu yang panjang. Artinya pengembangan nilai-nilai karakter harus dilakukan secara ber-kelanjutan dari awal peserta didik masuk sampai menyelesaikan studinya. Tidak cukup hanya satu dua mata kuliah, seperti pendidikan kewarganegaraan atau pendidikan agama saja, tetapi semua mata kuliah harus disertakan nilai-nilai karakter dalam muatan perkuliahannya. Selain itu, tentu termasuk kegiatan mahasiswa di luar perkuliahan apakah itu kokurikuler dan ekstra kurikuler.
ADVERTISEMENT
Yang paling penting untuk diperhatikan bahwa materi nilai-nilai karakter ini bukanlah bahan ajar biasa. Artinya pokok bahasan yang dikemukakan bukan seperti perkuliahan konvensional yaitu mengajarkan konsep, teori, prosedur ataupun fakta, tetapi harus ada internalisasi yang menyenangkan. Mahasiswa bukan objek tetapi menjadi aktor yang secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Proses pendidikan dilakukan dalam suasana menyenangkan dan tidak indoktrinatif.
Maka, dosen sebagaimana guru harus mampu memposisikan dirinya sebagai figure yang bisa digugu dan ditiru. Dalam kemasan yang sangat elegan, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia memberikan resep singkat tetapi penuh makna yaitu, pertama, ing ngarsa sung tulada. Pendidik, termasuk dosen, ketika berada di depan haruslah dapat menjadi teladan, menjadi sumber inspirasi. Kedua, ing madya mangun karsa. Ketika berada di tengah, dosen harus dapat menyebarkan semangat, menumbuhkan kreativitas, dan menjadikan mahasiswa dapat menggali kemampuan dirinya. Ketiga, tut wuri handayani. Dosen, ketika harus berada di belakang karena mahasiswa sudah di “jalan yang benar”, harus memberikan kepercayaan kepada mahasiswa, mendorong mahasiswa untuk selalu maju dan bertepuk tangan memberikan semangat menuju Indonesia hebat, berdaulat dan bermartabat.
ADVERTISEMENT