Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Orang Miskin Dilarang Kuliah Oleh Undang-Undang
3 Januari 2024 8:37 WIB
Tulisan dari Markus Togar Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang layak merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi oleh pemerintah dalam menyejahterakan hidup warga negaranya. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 31. Namun, implementasi UUD NRI 1945 tampaknya telah gagal dalam memenuhi hak-hak warga negaranya khususnya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan yang layak.
ADVERTISEMENT
Kegagalan tersebut dapat terlihat dari berlakunya UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) yang mengakibatkan sebagian PTN (Perguruan Tinggi Negeri) berubah menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Hal ini berdampak pada keleluasaan kampus untuk mencari dana guna membiayai operasional kampus dan keberlangsungan aktivitas dunia pendidikan.
Namun, tampaknya regulasi yang diatur dalam UU Dikti berujung pada transformasi paradigma kampus yang seharusnya menjadi ‘lembaga pendidikan’ berubah menjadi ‘lembaga perbisnisan’. Hal ini terlihat dari pasal 63 ayat 3 huruf f yang memberikan wewenang kepada perguruan tinggi untuk mencari dana lewat pendirian badan usaha. Kampus akan berupaya mengembangkan brandingnya semaksimal mungkin guna menarik dana dari pihak luar sehingga mengakibatkan mau tidak mau sebuah kampus harus terjun dalam pergulatan mekanisme pasar. Peristiwa ini mengakibatkan kampus yang seharusnya memiliki marwah tinggi dalam upaya peningkatan pencerdasan anak bangsa menjadi tercemar sebab kampus menjadi pemain dalam sebuah arena pertarungan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Ironinya, tidak hanya mencari dana dengan badan usaha, tetapi kampus juga memungut dana dari para mahasiswanya sendiri. Pemungutan dana ini biasanya diterapkan oleh kampus-kampus negeri dengan sebutan ‘uang pangkal’ dan dikenakan pada jalur masuk ujian mandiri. Prinsipnya, siapa saja calon mahasiswa yang tidak mampu membayar uang pangkal, maka akan tersingkir dari barrier penyeleksian Perguruan Tinggi Negeri. Kebijakan ini tentunya menimbulkan sejumlah keluhan dari calon-calon mahasiswa yang terkendala masalah ekonomi dan harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk berkuliah di kampus negeri. Regulasi ini seakan menjadi konklusi bahwa kampus telah gagal mengimplementasikan pendidikan untuk semua rakyat, dan menjadi indikasi bahwa pendidikan Indonesia saat ini hanya dimiliki oleh kaum borjuis yang mampu dari segi ekonomi.
ADVERTISEMENT
Menyikapi hal ini, tentunya elemen mahasiswa tidak hanya diam melainkan bergerak menentang. Beragam upaya perbaikan serta perubahan kebijakan dilakukan lewat unsur-unsur mahasiswa seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), FORMAD (Forum Advokasi), MWA (Majelis Wali Amanat), dan lain sebagainya. Kritikan mengenai kebijakan uang pangkal juga terus berdatangan dari mahasiswa dan calon mahasiswa kampus. Upaya advokasi, aksi mahasiswa, serta penerbitan kajian mengenai uang pangkal juga sangat sering dilakukan, bahkan dengan menghadirkan calon mahasiswa kampus tersebut yang tidak mampu membayar mahalnya biaya pendidikan. Namun, nihil hasilnya. Kampus tetap berpegangan pada prinsip ‘uang pangkal adalah upaya perbaikan kualitas sistem dunia pendidikan.’
Narasi mengenai kapitalisme kampus menjadi nyata. Ranah kamus dalam mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa pilih-pilih golongan seakan menjadi sirna dengan terpaan regulasi yang meruntuhkan marwah kampus dalam mewujudkan kebebasan akademik. Jelaslah saat ini, Indonesia telah memasuki sebuah lorong dengan kondisi komersialisasi pendidikan. Pendidikan dalam ranah kampus seakan-akan sengaja dijual dengan biaya tinggi dengan motif ekonomi dan konsumsi, sehingga hanya segelintir orang saja yang mampu membelinya.
ADVERTISEMENT
Permasalahan mengenai biaya pendidikan seharusnya menjadi komoditas gagasan yang dominan dalam memasuki ajang Pilpres (Pemilihan Presiden) 2024 mendatang. Paradigma keadilan sosial dapat menjadi nilai jual dalam Pilpres mendatang, dengan pengaturan biaya pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai partisipatif, tidak ugal-ugalan, serta legal dalam perumusannya. Gagasan mengenai solusi biaya pendidikan tentunya berkaitan dengan latar belakang dari calon-calon presiden yang ada sekarang, mengingat calon-calon yang ada justru berasal dari universitas yang sekarang menerapkan kebijakan uang pangkal. Adanya solusi mengenai permasalahan biaya pendidikan dari seorang calon presiden seharusnya dapat menarik minat mahasiswa/anak muda mengingat bahwa merekalah yang menjadi pemilih dominan menyongsong perhelatan Pilpres 2024. Tentunya, menjadi sebuah harapan bahwa pemilihan presiden 2024 mendatang menjadi sebuah obat sakitnya pendidikan Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT