Konten dari Pengguna

Tears From Heaven: Ruang Perempuan dalam Tradisi Patriarki Gereja Katolik

Johanes Marno Nigha
Pengajar pada Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang
3 Februari 2025 6:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Johanes Marno Nigha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana menikmati karya seni agama? Pertanyaan ini muncul begitu saja saat mengunjungi galeri Srisasanti pada suatu hari Sabtu di penghujun September 2024. Galeri Srisasanti merupakan sebuah galeri seni yang berlokasi di Yogyakarta, tepatnya di jalan Tirtodipuran no.5, Mantrijeron, kecamatan Mantrijeron. Kala itu galeri seni Srisasanti menampilkan karya Pramuhendra, seorang seniman Indonesia. Ia memiliki ketertarikan pada tema-tema religius, khususnya dalam agama Katolik.
ADVERTISEMENT
Dalam karyanya Tears From Heaven, Pramuhendra memadukan simbolisme dan komposisi merujuk pada Kitab Suci. Namun, ia mendedikasikan pameran ini untuk membahas isu-isu kontemporer seputar perempuan. Saat memasuki ruang instalasi Tears From Heaven sudah terasa usaha besar Pram. Ia mengakomodasi ruang inklusif demi satu tujuan utama yaitu diskursus tentang keadilan lewat simbol agama. Pramuhendra seperti memindahkan ranah teologi katolik yang eksklusif dan menggesernya menjadi lebih inklusif.
Salah satu karya Instalasi Pramuhendra berjudul Tears from Heaven berupa patung Pieta-Bunda Maria memangku jasad Yesus-diguyur air hujan (Dok. Pribadi Iin Emil)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu karya Instalasi Pramuhendra berjudul Tears from Heaven berupa patung Pieta-Bunda Maria memangku jasad Yesus-diguyur air hujan (Dok. Pribadi Iin Emil)
Ia mencoba meninjau kembali, sekaligus membangun ulang kerangka pengetahuan teologi yang ekslusif lewat apropriasi patung pieta karya Michelangelo. Ini menjadi sebuah jalan masuk melihat sisi kecemasan dunia masa kini lewat simbol agama yang diuniversalkan. Isu kontemporer seputar perempuan adalah kerangka baru yang lebih insklusif dan dibaca ulang lewat tradisi teologi katolik melalui sarana pieta. Pada ruangan yang gelap ditaruhlah patung pieta, Bunda Maria memangku jasad anaknya Yesus, diguyur hujan buatan, menyerupai air mata yang jatuh dari langit. Suasana itu makin terasa intens dengan hadirnya musik penggiring berjudul Fall yang diambil dari grup band asal Islandia, Sigur Ros.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku panduan pameran tunggal J. Ariadhitya Pramuhendra, Tears From Heaven merefleksikan keprihatinan mengenai kondisi manusia dan dunia yang tak kunjung baik, sedangkan kehadiran agama yang diyakini mengajarkan hal baik telah lama dikritik. Melihat pameran tunggal Pramuhendra saat itu, para penikmat seni seperti sedang memasuki lanskap perdebatan seni dalam lintasan sejarah.
Salah satu bagian galeri berisis karya Pramuhendra menampilkan sosok perempuan, pengejawantahan Bunda Maria di dunia moderen (Dok. pribadi Iin Emil)
Seni rupa kontemporer Barat pada umumnya lahir dalam kesadaran akan pertentangan kelas sebagaimana yang ditiupkan oleh Karl Marx. Borjuasi kaum elit yang bergandengan tangan dengan institusi agama di satu sisi melawan rakyat miskin tertindas di sisi yang lain. Agama pada konteks ini digambarkan sebagai proyeksi kondisi manusia dalam bentuk fantasi surgawi. Melalui fantasi surgawi yang dianggap Marx sebagai candu itulah agama sering digunakan oleh kelas penguasa. Tujuannya untuk memobilisasi kelas buruh demi kepentingan mereka(Pals, 2009a).
ADVERTISEMENT
Para pemimpin agama yang sering berkolaborasi dengan para penguasa meredusir kerangka agama hanya pada persoalan teologis semata yaitu soal pahala, dosa, surga dan neraka. Para pemimpin agama yang telah dikuasai kelas penguasa menjauhkan agama dari konteks kondisi sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu kelas buruh yang tertindas sering diberikan harapan palsu sehingga mereka menerima penderitaan ekonominya secara pasrah (Religion, 2002). Sejumlah seniman skeptis di Barat kemudian ikut mencela agama secara terbuka karena kesadaran yang dibangun di Eropa melalui kritik agama Marx.
Salah satunya diungkapkan oleh karya Andres Serrano seorang warga Amerika dalam karyanya, Immersion (Piss Chris). Karya ini menimbulkan kontroversi dan juga perdebatan dikalangan komunitas kristen, pada tahun 1987, ia membuat karya seni berupa salib plastik yang ditenggelamkan ke dalam wadah berisi air kencingnya sendiri(Andrew Nunes, 2017). Meskipun Serrano kemudian membantah bahwa ia menghina komunitas Kristen.
ADVERTISEMENT
Selain Serrano ada juga George Gavriel seorang kepala sekolah sekaligus seniman dari Siprus. Pada tahun 2021, ia membuat sebuah karya yang menimbulkan kontroversi dan kecaman saat menggambarkan protesnya terhadap berbagai masalah sosial di negaranya lewat sejumlah karya lukisannya.
Karya Tears From Heaven tampak dari depan (Dok.Pribadi Iin Emil)
Melalui pendekatan religius dan simbol agama kristen, Gavriel memprotes situasi sosialnya. Ia mengusung tema kaum migran saat melukis Bunda Maria menggendong bayi Yesus di dalam sebuah perahu kecil berisi para migran yang berdesakan. Pada tema lain terkait krisis pengungsian, ia menggambarkan Yesus yang berdiri di antara sekumpulan pengungsi yang ditahan pada kamp pengungsi. Salah satu karya menyindir institusi gereja yaitu lukisan tentang Yesus yang sedang menaiki seekor keledai sedangkan disampingnya seorang pemimpin gereja mengendarai sebuah Limosin (Reuters, 2021). Gavriel sendiri kemudian menghadapi penyelidikan setelah dikeluhkan oleh uskup setempat yang berpengaruh namun pada akhirnya gugatan terhadap dirinya dibatalkan.
ADVERTISEMENT
Berbeda dari dua karya sebelumnya baik Andres Serrano maupun George Gavriel yang menggunakan simbol gereja untuk memberikan kritik keras pada Gereja, Pramuhendra sebaliknya memakai simbol gereja untuk menunjukan keyakinannya pada kekuatan agama sebagai petunjuk hidup. Namun pada saat yang sama ia mencoba membelokan sisi teologis yang kerap menjadi pusat percakapan diseputar pieta. Alih-alih menunjukan sisi teologis dari instalasinya, Pramuhendra mencoba memasuki lanskap pemikiran Marx sekaligus membela diri terhadap ruang kritik Freud tentang agama.
Sigmund Freud menyebut agama sebagai ilusi yang muncul dari kebutuhan psikologis manusia untuk mendapatkan penghiburan dan perlindungan. Ia melihat agama sebagai produk dari keinginan untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan aman, tetapi pada kenyataannya tidak sesuai dengan realitas sehingga menghasilkan gejala neurosis (Pals, 2009b). Sisi kebutuhan psikologis yang dimaksud Freud amat terasa dalam apa yang disuarakan oleh karya instalasi Pramuhendra ini. Karya yang berangkat dari pengamatan personal dan juga perasaan tidak nyaman akan situasi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, mendapatkan jawabannya pada simbol keagamaan (Pieta). Namun pembelokan yang dibuat Pramuhendra dari melihat Pieta sebagai percakapan teologis menjadi melihat Pieta dalam diskusi tentang kondisi sosial kemasyarakatan yaitu wacana marginalisasi wanita mengakibatkan kritik Freud tentang agama, batal dengan sendirinya. Agama atau dalam hal ini simbol agama tidak lagi menjadi suatu ilusi atau sekedar penghiburan melainkan wacana perjuangan menuju keadilan yang lebih luas.
Salah satu Karya Pramuhendra berjudul The Silent Stage dibuat dari ceceran arang pada nuansa hitam putih (Dok. Pribadi Iin Emil)
Agama dalam kerja kesenian Pramuhendra tidak lagi hanya bisa dilihat sebagai mekanisme individu untuk mempertahankan diri, atau bahkan sikap kekanak-kanakan dalam pencarian individu akan suatu otoritas (Tuhan) sebagai pemberi perlindungan. Karya Pramuhendra menunjukan sisi kedewasaan dalam beragama. Ruang sakral yang menjadi tema sentral teologis tetap dipertahankan dalam karya ini. Para pengunjung kemudian diajak untuk merasakan suasana sakral yang diwacanakan oleh Pramuhendra. Sebagai seorang Katolik ruang instalasi yang dibangun Pramuhendra terasa sakral, kontemplatif, indah sekaligus estetik walaupun ruang instalasi seni bukan berada dalam gereja Katolik.
ADVERTISEMENT
Seni rupa Barat tentu saja berbeda dengan konteks Indonesia di mana agak sulit melihat para seniman Indonesia mengkritik agama secara terbuka. Seperti Pramuhendra, para seniman Indonesia lebih menjunjung nilai-nilai agama dalam karya mereka. Meski demikian pembelokan arah dari teologi menuju konteks sosial masyarakat dalam karya Pramuhendra menjadikan wacana seni rupa religi memiliki cakupan yang makin luas, semakin dipahami secara internal sekaligus mampu memasuki wacana eksternal yaitu konteks masalah manusia secara universal.