Melihat Lebih Dekat Hubungan Interseksionalitas dengan Perempuan

Marsha Ermitta
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
18 Januari 2023 5:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marsha Ermitta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Perempuan yang Mengalami Diskriminasi. Foto: Pixa Bay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Perempuan yang Mengalami Diskriminasi. Foto: Pixa Bay
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, perempuan masih menjadi target praktik diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut salah satunya berakar dari budaya patriarki yang masih melekat kuat sehingga membuat perempuan kerap kali mengalami ketimpangan, ketidakadilan, dan tak jarang menjadi korban dari penindasan berbasis gender.
ADVERTISEMENT
Penindasan di atas juga diperparah dengan identitas lain dari seorang perempuan yang di antaranya dipengaruhi oleh kelas sosial, budaya, kebangsaan, agama, ras, usia, dan disabilitas.
Berbagai identitas ini nantinya akan saling bertemu dan tumpang tindih akibat stigma terhadap identitas tertentu atau interseksionalitas.
Misalnya, A merupakan seorang perempuan bersuku Jawa yang sering dikenal dengan sifat ramah dan tekun. Sementara itu, B merupakan seorang perempuan bersuku Papua yang masih diasosiasikan dengan sifanya yang kasar.
Ilustrasi wanita. Foto: Rembolle/Shutterstock
Meskipun baik A maupun B sama-sama rentan mengalami diskriminasi karena gendernya, tetapi B berpotensi mengalami diskriminasi yang berkali lipat karena identitasnya sebagai orang Papua.
Contoh tersebut memperlihatkan bahwasanya interseksionalitas berkaitan erat dengan relasi kuasa di mana kemudahan akses menentukan power yang dimiliki oleh seseorang.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, walaupun terdapat persamaan gender atau hal lainnya selama masih terdapat perbedaan identitas, maka di situlah tetap terjadi sebuah penindasan.
Istilah Interseksionalitas sendiri diciptakan oleh Kimberlé Crenshaw pada tahun 1989 untuk mendeskripsikan kegagalan pengadilan Amerika Serikat dalam menguraikan berbagai bentuk diskriminasi yang dialami oleh perempuan pekerja kulit hitam.
Crenshaw menjelaskan bahwa pengadilan mengintrepetasikan diskriminasi itu hanya berdasarkan gender atau rasialnya saja serta menegaskan fakta bahwa perempuan juga berpotensi mengalami diskriminasi majemuk. Lebih lanjut, Crenshaw pun membagi interseksionalitas ke dalam 3 jenis, yaitu:

1. Interseksionalitas Struktural

Ilustrasi wanita Afrika. Foto: R. Bociaga/Shutterstock
Suatu interseksionalitas yang menggambarkan kondisi bahwa perempuan akan menjumpai berbagai macam bentuk penindasan dalam kehidupannya, mulai dari permasalahan ekonomi hingga pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Di mana para perempuan terutama yang berkulit hitam kerap menjadi korban praktik diskriminasi berbasis ras di kelas sosial ataupun pekerjaannya di masyarakat.
Sebagai contoh, C merupakan seorang perempuan Indonesia keturunan Afrika yang ditolak suatu perusahaan hanya karena ia berkulit hitam.
Selain itu, interseksionalitas jenis ini juga menggambarkan bahwa perempuan dapat mengalami penindasan dari regulasi Pemerintah yang memposisikan perempuan sebagai kelompok marginal.
Contohnya di Indonesia dapat dilihat pada salah satu muatan di Undang-Undang Cipta Kerja yang mendiskriminasi kelompok pekerja terutama perempuan adalah perihal perpanjangan jam lembur. Kondisi tersebut membuat perempuan dihadapkan dengan permasalahan baru di tengah perannya dalam keluarga.

2. Interseksionalitas Politis

Ilustrasi seminar politik. Foto: Shutter Stock
Suatu interseksionalitas yang menjelaskan bahwa perempuan akan semakin terpinggirkan akibat berkonflik dengan politik yang bersumber dari ras dan gender.
ADVERTISEMENT
Misalnya di Indonesia dapat dilihat dari ambang batas minimum 30 persen perempuan di parlemen yang belum menjadi prioritas.

3. Interseksionalitas Represintasional

Ilustrasi perempuan mengenakan tas. Foto: KaptureHouse/Shutterstock
Suatu interseksionalitas yang menjelaskan fenomena pembentukan citra terhadap ras dan gender tertentu yang berakibat terpinggirkannya posisi perempuan itu sendiri.
Contohnya, perempuan berkulit putih yang dianggap lebih cantik dan memiliki power ketimbang perempuan berkulit hitam.
Pada intinya, teori interseksionalitas ini hadir untuk membuktikan bahwa perempuan tidak hanya sekadar mengalami penindasan berbasis gender saja, tetapi identitasnya yang saling beririsan membuat perempuan semakin berada di posisi marginal serta terbelenggu dalam ketimpangan dan ketidakadilan.