Konten dari Pengguna

Korupsi di Indonesia: Fenomena Sistemik yang Menuntut Perubahan Serius

Marsha Odelia
Mahasiswa FH Universitas Mulawarman - Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH UNMUL
2 Agustus 2024 8:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Marsha Odelia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Sumber: Unsplash (by: Jesus Monroy Lazcano)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Sumber: Unsplash (by: Jesus Monroy Lazcano)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia, sebuah negara dengan potensi ekonomi yang besar dan sumber daya alam yang melimpah, terus menghadapi tantangan besar dalam hal korupsi. Meski berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan, data terbaru terus menunjukkan bahwa korupsi tetap merajalela di berbagai sektor.
ADVERTISEMENT
Transparency International merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023 yang menunjukkan bahwa skor Indonesia stagnan di angka 34/100, menempatkannya di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini menggambarkan betapa seriusnya masalah korupsi di Indonesia. Bagaimana bisa negara yang kaya akan budaya dan sumber daya seperti Indonesia berada di posisi yang begitu menyedihkan? Mungkin ini adalah bentuk "komitmen" luar biasa dari para koruptor untuk tetap mempertahankan posisinya di puncak ketidakjujuran global. Selain itu, laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menunjukkan bahwa pada tahun 2023 terdapat 791 kasus korupsi yang melibatkan 1.695 tersangka dengan total kerugian negara sebesar Rp28,4 triliun. Sebagian besar korupsi ini terjadi di tingkat desa, dengan 187 kasus yang menyebabkan kerugian negara Rp162,25 miliar. Tanpa prinsip transparansi dan akuntabilitas, alokasi dana desa justru menjadi "ladang basah" bagi para koruptor.
ADVERTISEMENT
Salah satu pukulan terbesar terhadap KPK datang melalui revisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Revisi ini dapat dianggap sebagai upaya sistematis untuk melemahkan KPK. Salah satu poin kontroversial dalam revisi tersebut adalah perubahan status pegawai KPK menjadi ASN, yang menempatkan KPK di bawah kendali eksekutif. Selain itu, kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan juga dibatasi dengan keharusan memperoleh izin dari Dewan Pengawas. Bukankah aneh, sebuah lembaga antikorupsi yang seharusnya independen justru dikerangkeng oleh peraturan yang dibuat untuk mengawasinya? Revisi UU KPK juga menambah usia minimal untuk menjadi pimpinan KPK dari 40 tahun menjadi 50 tahun. Perubahan ini tentu mengundang pertanyaan, apakah ada alasan filosofis di balik keputusan ini? Atau sekadar langkah untuk menjegal pihak-pihak tertentu agar tidak bisa menduduki posisi strategis di KPK? Sangat sulit untuk tidak bersikap sinis melihat upaya yang tampaknya dirancang untuk melemahkan KPK.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus seperti bom yang dikirim ke rumah penyidik KPK dan penyiraman air keras kepada penyidik senior, Novel Baswedan, menunjukkan bahwa KPK bukan hanya dihadapkan pada tantangan internal, tetapi juga eksternal yang mematikan. Dengan kondisi seperti ini, revisi UU KPK dan pengangkatan Dewas yang kontroversial seakan-akan menjadi pukulan telak bagi perjuangan melawan korupsi. Terlepas dari janji-janji pemerintah untuk memperkuat KPK, kenyataannya perubahan-perubahan ini justru melemahkan lembaga tersebut.
Fenomena "corruptione fight back" yang muncul sebagai respons terhadap revisi UU KPK menjadi bukti nyata betapa gigihnya perlawanan dari koruptor terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tindakan para koruptor yang berusaha memukul balik gerakan anti-korupsi dengan berbagai cara, termasuk memanfaatkan celah dalam regulasi baru, menjadi indikasi bahwa korupsi di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh individu-individu tertentu tetapi sudah menjadi sistemik.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi berbagai tekanan ini, masyarakat sipil dan mahasiswa telah menunjukkan semangat juang yang tinggi. Demonstrasi besar-besaran pada tahun 2019 untuk menolak revisi UU KPK adalah contoh nyata dari kekuatan masyarakat dalam menentang kebijakan yang dianggap melemahkan institusi anti-korupsi. Meskipun aksi-aksi ini belum sepenuhnya berhasil membatalkan, namun mereka menunjukkan bahwa masih ada harapan dan semangat di kalangan rakyat untuk melawan korupsi.
Melihat kondisi ini, penting bagi kita untuk terus mendorong perbaikan sistemik dalam penegakan hukum anti-korupsi. Penguatan integritas KPK melalui seleksi pimpinan yang benar-benar independen dan berintegritas tinggi adalah langkah awal yang krusial. Selain itu, perlu adanya revisi terhadap revisi UU KPK yang kontroversial untuk mengembalikan independensi lembaga ini. Peran serta masyarakat dalam mengawal proses ini tidak boleh diremehkan. Demonstrasi dan advokasi yang kuat dari masyarakat sipil merupakan pengingat bahwa kekuatan rakyat adalah benteng terakhir melawan tirani dan korupsi. Pada akhirnya, perjuangan melawan korupsi adalah perjuangan panjang yang memerlukan komitmen dari semua pihak, baik dari dalam maupun luar pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Mari kita renungkan kembali tujuan awal dari pembentukan KPK. Apakah kita ingin lembaga ini menjadi macan ompong yang hanya mampu mengaum tanpa bisa menggigit? Atau kita ingin KPK kembali menjadi lembaga yang ditakuti oleh para koruptor dan dihormati oleh rakyat Indonesia? Jawabannya ada pada kita semua. Mari dukung KPK dan lawan setiap upaya yang melemahkannya. Karena tanpa KPK yang kuat, mimpi Indonesia bebas korupsi akan tetap menjadi utopia belaka.
Seiring berjalannya waktu, sejarah akan mencatat, apakah kita sebagai bangsa berhasil memberantas korupsi atau justru terperangkap dalam pusaran ironi yang tak berkesudahan. Mari bertindak sekarang, sebelum semuanya terlambat.