Konten dari Pengguna

Ekonomi Biru vs Blue Degrowth

Martin Dennise Silaban
Peneliti di SHEEP Indonesia Institute. Mahasiswa S2 Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM
10 Juni 2024 14:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Martin Dennise Silaban tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Foto Laut Penuh Sampah Plastik. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Foto Laut Penuh Sampah Plastik. Foto: iStock
ADVERTISEMENT
“It is a curious situation that the sea, from which life first arose should now be threatened by the activities of one form of that life. But the sea, though changed in a sinister way, will continue to exist; the threat is rather to life itself.”
ADVERTISEMENT
Kutipan di atas adalah pernyataan yang disampaikan oleh Rachel Carson di dalam bukunya The Sea Around Us yang diterbitkan pada tahun 1951. Apa yang disampaikan oleh Carson puluhan tahun lalu menggambarkan apa yang sedang terjadi juga saat ini. Krisis yang terjadi hingga membuat konferensi multi pihak/COP ke- 25 diberi nama sebagai ‘BLUE COP’ untuk menyoroti dan memberikan rekomendasi jalan keluar atas apa yang sedang terjadi pada Laut.
Selain itu PBB juga kemudian mengesahkan 8 Juni sebagai hari laut sedunia untuk memberikan peringatan akan gentingnya memperhatikan kondisi laut saat ini. Penetapan tanggal ini juga menandai serta mendorong hadirnya kesadaran Masyarakat akan Laut. Greenpeace Indonesia mengemukakan beberapa masalah yang meng'hantui' laut yaitu Industri perikanan, sampah plastik laut, krisis iklim yang meningkatkan suhu di Laut dan juga Pembangunan dan investasi yang masih marak yang semakin mengancam kondisi laut di dunia.
ADVERTISEMENT
Melihat pada kondisi tersebut, beragam upaya telah dilakukan. Salah satunya, melalui hadirnya konsep Blue Economy yang digaungkan oleh Gunter Pauli dalam bukunya Blue Economy : 10 Years, 100 Innovations, 100 Million Jobs yang terbit pada tahun 2010. Melalui konsep ini, Pauli ingin mengedepankan hadirnya model ekonomi yang turut memperhatikan kelestarian alam khususnya pada sektor Laut.
Konsep yang hadir ini nyatanya tidak jauh berbeda dengan konsep lainnya seperti ekonomi hijau dan upaya maupun istilah lainnya yang mengemukakan pentingnya Pembangunan berkelanjutan. Asumsi mendasar dari konsep ini yaitu perekonomian yang dapat tetap tumbuh dan berkembang tanpa memberikan dampak negatif yang berarti bagi lingkungan hidup.
Pada awalnya, kehadiran konsep Blue Economy dianggap menjadi salah satu solusi untuk mengatasi dampak negatif pertumbuhan industri perikanan pada laut. Namun demikian, seturut dengan yang dikemukakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), implementasi kebijakan Blue economy masih disusun berdasarkan kepentingan korporasi skala besar.
ADVERTISEMENT
Tersisihnya nelayan kecil, dan Masyarakat pesisir oleh korporasi, perampasan sumber daya perairan Masyarakat, privatisasi laut dan garis Pantai menjadi tanda bahwa apa yang dicita-citakan oleh Gunter Pauli melalui Blue Economy tampaknya tidak terjadi. Blue Economy hanya menggeser eksploitasi dari daratan menjadi eksplorasi samudera, laut dan juga Pantai dengan menjadikannya komoditas yang dapat diperjualbelikan untuk tujuan peningkatan dan akumulasi modal. Kehadiran Blue Economy nyatanya tidak memberikan jaminan akan perlindungan pada lingkungan hidup dan bahkan malah semakin menambah masifnya kerusakan yang terjadi.
Mempertimbangkan Konsep BlueDegrowth untuk Laut Berkelanjutan
Ilustrasi Nelayan. Foto: Pexels
Kegagalan Blue Economy dalam mengatasi permasalahan Laut mendorong hadirnya konsep Blue Degrowth. Istilah ini dipopulerkan pada tahun 2018 oleh Maria Hadjimichael dalam makalahnya yang membahas terkait alternatif kebijakan Uni Eropa terkait Kawasan maritim dan perikanan. Dalam konsep ini, terdapat 9 prinsip yang menyertainya yaitu penghentian eksploitasi, demokrasi langsung, produksi skala lokal, pembagian dan peroleh kembali milik bersama, fokus pada hubungan (relationship) dengan alam, saling ketergantungan, kepedulian, keberagaman dan dekomodifikasi tenaga kerja, daratan dan lautan.
ADVERTISEMENT
Bluedegrowth juga menawarkan alternatif yang berbeda dengan apa yang mendasari ideologi ekonomi pertumbuhan di balik Blue Economy. BlueDegrowth mendorong agar pertumbuhan dan pembangunan tidak menjadi acuan utama yang harus dipergunakan oleh masyarakat. Pertumbuhan yang bertumpu mata sisi material semata. Lebih jauh lagi, konsep bluedegrowth mendorong hadirnya hubungan yang erat dengan laut, produksi skala kecil, konsumsi lokal, dan pengelolaan wilayah laut yang dilakukan oleh Masyarakat setempat dengan memperhatikan nilai-nilai budaya setempat.
Dalam BlueDegrowth, inisiatif-inisiatif yang datangnya dari masyarakat setempat seperti masyarakat adat maupun nelayan menjadi dasar utama pengelolaan sumber daya laut. Pertimbangan kebijakan juga harus melihat konsep kosmologi masyarakat adat yang memiliki cara dan pembagian ruang wilayah yang berbeda. Sumber pengetahuan masyarakat Adat dan masyarakat setempat akan ruang dimana ia berada khususnya di wilayah pesisir harusnya menjadi perhatian utama dari kebijakan yang terkait dengan Laut.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa tradisi di Indonesia yang dapat menjadi contoh bagaimana Masyarakat setempat mengelola laut. Pertama ada praktik Sasi Laut. Tradisi yang berasal dari Masyarakat Maluku dan Papua yang berbentuk larangan terhadap Masyarakat untuk mengambil sumber daya laut pada waktu tertentu. Selain itu, ada pula tradisi Lilifuk dari Masyarakat suku Baineo Nusa Tenggara Timur yang berupaya menjaga potensi sumber daya lautnya tetap terjaga dan berlimpah. Ada pula Tradisi Bapongka oleh Masyarakat Suku Bajo yang menggunakan peralatan sederhana dalam melakukan penangkapan ikan agar tidak merusak apa yang ada di Laut. Pada Masyarakat Aceh, hadirnya Panglima Laot juga menjadi salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan ekosistem di Laut.
Beragam hal yang telah dilakukan oleh Masyarakat tersebut merupakan praktik dari apa yang diperjuangkan oleh Bluedegrowth. Serangkaian upaya yang berfokus pada menjaga hubungan relasional dengan Laut melalui produksi skala kecil, dengan pemahaman mendasar akan interdependence atau saling ketergantungan dengan Laut menjadikan masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya memberikan waktu bagi ekosistem Laut untuk dapat memulihkan diri. Prinsip mengambil secukupnya juga telah dipraktikkan Masyarakat setempat sejak dahulu kala dan terbukti mampu menjaga ekosistem laut. Praktik-praktik inilah yang harus diamplifikasi demi keberlangsungan laut di masa depan -
ADVERTISEMENT