news-card-video
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Krisis Kepemimpinan di NGO

Martin Dennise Silaban
Peneliti di SHEEP Indonesia Institute. Mahasiswa S2 Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM
5 Maret 2025 11:15 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Martin Dennise Silaban tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Shutterstock
ADVERTISEMENT
"The success of a leader is measured by their ability to develop future leaders, not by being in the spotlight or securing funds." ZR
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan dalam organisasi non-pemerintah (NGO) sangat jarang untuk dibahas, padahal sektor NGO memiliki peran yang sangat penting dalam fungsinya sebagai penyeimbang antara Negara dan Pasar. Sebagian besar kajian dan teori kepemimpinan yang ada sering kali berakar pada sektor bisnis, politik, dan militer yang membuat pemahaman banyak orang tentang bagaimana pemimpin bekerja dan apa yang memotivasi mereka seringkali tergantung pada peran dan karakter pemimpin dalam bisnis, politik, atau sektor militer. Perspektif dari sektor bisnis juga akhirnya semakin menjadi acuan dan cara untuk menganalisis, memahami, dan meningkatkan kepemimpinan dalam masyarakat.
Padahal, sektor NGO memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Dalam situasi ini, ada kebutuhan yang mendesak untuk menggali lebih dalam dan lebih cermat mengenai bagaimana kondisi kepemimpinan NGO di Indonesia? Tipe kepemimpinan NGO seperti apa yang cocok dengan mempertimbangkan kompleksitas dan tantangan sosial, politik, lingkungan dan ekonomi yang terjadi saat ini?
ADVERTISEMENT
Second Line Leaders vs Second line Managers
Sumber : depositphotos
NGO merupakan organisasi yang digerakkan oleh nilai (value-driven organizations), yang mana kepemimpinan dalam NGO sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dipegang teguh dalam organisasi tersebut (Arora, 2012). Nilai-nilai ini bukan hanya menjadi dasar bagi visi dan misi organisasi, tetapi juga menjadi pendorong utama dalam setiap keputusan dan tindakan yang diambil oleh para pemimpin dan anggota.
Hal ini jelas berbeda dengan organisasi di sektor bisnis, di mana fokus utama adalah pada peningkatan kompetisi dan pencapaian nilai ekonomi. Di sektor bisnis, kepemimpinan lebih banyak diarahkan untuk menciptakan keuntungan finansial, serta menciptakan keunggulan kompetitif di pasar. Sementara itu, sektor publik memiliki agenda yang lebih mengarah pada pencapaian tujuan politik dan kebijakan tertentu.
ADVERTISEMENT
Namun, hingga saat ini, banyak NGO yang dihadapkan dengan masalah klasik yaitu transisi kepemimpinan dan regenerasi organisasi (Leadership Transition and Organisational Regeneration). Persoalan ini terjadi di berbagai NGO di Indonesia yang dihadapkan pada tantangan besar dalam menciptakan pemimpin yang tepat untuk memastikan bahwa nilai-nilai dan budaya organisasi tetap hidup dan berlanjut meskipun terjadi perubahan kepemimpinan dari pemimpin-pendiri (founder leaders) ke second line leaders.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi NGO di Indonesia adalah menciptakan pemimpin lini kedua (capable second line-leaders) yang cakap. Pemimpin lini kedua ini harus memiliki kemampuan untuk mengambil alih peran kepemimpinan pada masa depan, memastikan proses keberlanjutan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi dan mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi terutama di era yang penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) ini.
ADVERTISEMENT
Namun, yang sering terjadi di banyak NGO adalah terbentuknya manajer lini kedua (second-line manager) yang lebih fokus pada tugas-tugas administratif dan operasional, daripada memiliki kemampuan kepemimpinan strategis yang bisa memperkuat keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang. Fenomena ini tidak jarang terjadi, dan terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kondisi tersebut.
Salah satu alasan utama adalah fokus jangka pendek, pragmatis dan oportunistik yang lebih dominan dalam operasional NGO. Banyak organisasi lebih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan operasional sehari-hari, seperti pengelolaan anggaran, pelaporan kepada donor, dan pelaksanaan program. Hal ini merupakan respons rasional terhadap kebutuhan mendesak akan sumber daya dari banyak NGO di Indonesia. Perhatian terhadap pengembangan pemimpin yang memiliki visi strategis dan mampu membawa organisasi ke arah jangka panjang sering kali terabaikan. NGO yang hanya bergantung bisnis proposal dan berharap pada keberlanjutan donor cenderung mengutamakan solusi cepat dan praktis, daripada memperhatikan pengembangan kepemimpinan di lini kedua.
ADVERTISEMENT
Selain itu, keterbatasan sumber daya yang dimiliki NGO sering kali menjadi penghambat pengembangan kepemimpinan. Banyak NGO yang beroperasi dengan anggaran terbatas dan jumlah staf yang terbatas pula, seringkali dengan keterampilan yang kurang memadai. Mereka juga dibebani dengan tugas administratif yang berat, bahkan sering kali harus mengerjakan berbagai pekerjaan sekaligus. Akibatnya, organisasi cenderung lebih memprioritaskan alokasi sumber daya untuk kebutuhan program yang sedang berjalan dan operasional sehari-hari.
Pengembangan kepemimpinan yang memadai, seperti penguatan kapasitas atau mentoring yang lebih mendalam, memerlukan biaya dan waktu yang tidak selalu tersedia. Sebagai hasilnya, para second-line managers seringkali hanya diberikan pelatihan peningkatan kapasitas yang berfokus pada tugas teknis atau administratif, bukannya penguatan kapasitas kepemimpinan organisasi yang dapat mempersiapkan mereka untuk mengambil keputusan strategis yang berdampak pada kelangsungan organisasi.
ADVERTISEMENT
Faktor lainnya yaitu kurangnya perencanaan suksesi dan pengembangan kepemimpinan juga menjadi masalah utama. Banyak NGO yang tidak memiliki sistem yang jelas untuk mengidentifikasi dan menyiapkan pemimpin masa depan. Sejauh ini sebagian besar NGO juga kerap memiliki pandangan yang miring tentang suksesi. Penelitian juga memperlihatkan bahwa NGO tidak terbiasa untuk merencanakan suksesi dan cenderung lebih bergantung pada proses alami (natural successors), diskusi informal untuk proses pergantian kepemimpinan hingga sekadar pada penciptaan iklim untuk suksesi (creating climate for succession) yang berfokus bukan pada perencanaan suksesi namun untuk mengurangi potensi ancaman dari proses suksesi dan menciptakan suasana transisi yang kondusif melalui pelatihan staff, penyusunan knowledge management maupun penyusunan Rencana strategis (Reichel, 2018).
ADVERTISEMENT
Seringkali proses ini juga sangat bergantung pada inisiatif pribadi (dari pemimpin-pendiri). Belum banyak diskusi terbuka yang dilakukan di kalangan NGO dan apa yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kepemimpinan lini ke dua. Tanpa adanya rencana yang matang untuk merencanakan suksesi atau pengembangan lini kedua, organisasi cenderung menghasilkan manajer yang lebih terfokus pada operasional daripada pemimpin yang dapat membawa perubahan dan inovasi dalam jangka panjang. Hal ini mengakibatkan banyak pemimpin yang hanya mampu menjalankan tugas-tugas rutin tanpa memiliki visi strategis untuk masa depan.
Tidak hanya itu, budaya organisasi yang terpusat pada pemimpin-pendiri juga menjadi salah satu penghalang. Banyak NGO yang masih bergantung pada sosok pemimpin utama yang karismatik dan memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Ketergantungan ini menciptakan hambatan bagi perkembangan kepemimpinan di lini kedua, karena jarang diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif strategis atau memiliki tanggung jawab lebih besar dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, mereka terjebak dalam rutinitas administratif dan tidak berkembang menjadi pemimpin yang dapat mendorong visi organisasi.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan antara visi untuk mempersiapkan second-line leaders dan kenyataannya yang menghasilkan second-line managers merupakan salah satu masalah utama yang dapat mengancam keberlanjutan organisasi NGO. Visi awal untuk menciptakan pemimpin-pemimpin di lini kedua yang dapat mengambil alih dan memperkuat arah strategis organisasi sering kali terhenti pada pengembangan manajer yang lebih fokus pada aspek administratif dan operasional daripada kemampuan untuk berpikir secara strategis. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan yang besar dalam kemampuan kepemimpinan di tingkat yang lebih tinggi dan menurunkan efektivitas organisasi dalam menghadapi tantangan jangka panjang.
Akibat dari ketimpangan ini, banyak NGO yang kesulitan dalam menjaga keberlanjutan organisasi mereka hingga di titik paling ekstrem akhirnya menutup organisasi. Mereka tidak memiliki pemimpin yang siap untuk mengisi posisi strategis pada masa depan, sehingga organisasi menjadi bergantung pada pemimpin-pendiri yang karismatik dan memiliki pengaruh besar dalam setiap keputusan penting. Tanpa adanya second-line leaders yang mampu mengisi kekosongan tersebut, organisasi bisa mengalami krisis kepemimpinan yang berdampak pada keberlanjutan organisasi dan juga sektor masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Menemukan Model Kepemimpinan NGO di Indonesia
Sumber : Freepik
Ada 2 cara yang seringkali dipergunakan dalam mengatasi tantangan kepemimpinan di NGO yaitu merancang sejak awal (regenerasi) atau melakukan perekrutan pemimpin eksternal dari luar organisasi. Meski demikian, opsi ke dua cukup membutuhkan sumber daya yang cukup besar dan seringkali menciptakan ketidakseimbangan dalam organisasi yang kerapkali diikuti dengan masalah kepercayaan dan kurangnya penerimaan dari staff di dalam organisasi.
Oleh karena itu, di titik ini, sangat penting bagi NGO selain fokus pada operasional, rutinitas, ritual atau ‘the way of doing things’ di dalam organisasi, namun juga mulai untuk mengembangkan staff dari dalam organisasi untuk menjadi pemimpin lini kedua yang cakap dan akan memastikan bahwa keberlanjutan visi, misi, nilai, budaya kerja bisa terjadi meskipun terdapat perubahan dalam kepemimpinan. Meskipun harus diakui pula, generational change atau perubahan generasi dari proses transisi kepemimpinan atau perubahan dalam struktur pengelolaan organisasi sering diikuti dengan perubahan budaya dan nilai dimana setiap orang memiliki nilai dan perspektif yang berbeda yang mungkin mendorong terjadinya perubahan dalam budaya dan nilai organisasi (Reichel, 2018).
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting juga agar organisasi tidak hanya mengandalkan satu atau dua pemimpin utama agar tidak berisiko kehilangan arah saat terjadi pergantian kepemimpinan. Pengembangan second-line leaders juga harus diikuti dengan pengembangan kepemimpinan di berbagai tingkat. leadership should multiply leadership atau kepemimpinan harus menggandakan kepemimpinan. Dengan menciptakan lebih banyak pemimpin di berbagai tingkatan, NGO dapat memastikan bahwa organisasi tidak hanya tetap berjalan dengan lancar, tetapi juga berkembang dengan adaptif terhadap perubahan yang terjadi (Arora, 2012).
Kepemimpinan yang tersebar di berbagai level memungkinkan organisasi untuk lebih responsif terhadap tantangan yang ada, meningkatkan kolaborasi antar staf, serta menciptakan rasa kepemilikan yang lebih kuat terhadap visi dan misi organisasi. Selain itu, dengan adanya pemimpin yang berkembang di berbagai tingkatan, organisasi akan lebih siap menghadapi ketidakpastian dan perubahan, seperti perubahan politik, ekonomi, atau sosial. Hal ini juga sekaligus menekankan pentingnya skema penguatan kapasitas staf sesuai dengan level kebutuhan kepemimpinan mereka di berbagai tingkatan organisasi secara berkelanjutan yang bertujuan untuk mendorong delegasi yang lebih besar dalam hal kewenangan dan tanggung jawab serta memungkinkan staf untuk memiliki kontrol lebih besar atas pekerjaan mereka dan mengambil keputusan yang lebih mandiri.
ADVERTISEMENT
Namun, penguatan kapasitas ini juga harus disertai dengan perubahan budaya kepemimpinan di dalam organisasi. Seringkali, kekurangan kapasitas staf bukan disebabkan oleh ketidakmampuan individu, melainkan oleh hambatan-hambatan dalam lingkungan organisasi, seperti budaya kepemimpinan autokratik atau birokratis (bureaucratic leadership) yang masih mengakar di dalam organisasi. Tanpa adanya perubahan pada aspek budaya kepemimpinan ini, penguatan kapasitas staff di dalam organisasi mungkin tidak dapat berjalan dengan efektif.
Dalam hal ini, kepemimpinan yang bersifat relasional atau berbasis tim ini yang didukung oleh konsep "kepemimpinan terdistribusi," (distributed leadership) menjadi salah satu pilihan. Model ini mengedepankan adanya rasa tujuan bersama dan rasa kepemilikan terhadap masalah di semua tingkat organisasi. Konsep ini mengusulkan bahwa kepemimpinan adalah tugas kolektif yang bergantung pada pengambilan keputusan bersama (shared decision making) dan kewenangan yang didelegasikan(delegated authority). Oleh karena itu, kepemimpinan dipandang sebagai proses kolektif (collective process) yang melibatkan semua orang dalam organisasi dan mendorong pengembangan collective capacity/kapasitas kolektif) anggota.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan tidak terletak pada satu individu, namun usaha bersama dimana semua orang dalam organisasi memiliki peran penting dalam pencapaian tujuan organisasi. Pengembangan kepemimpinan akan berkaitan dengan bagaimana cara terbaik mengelola Tim dan mendelegasikan otoritas (delegate authority) serta membangun jaringan strategis dan mempertahankan hubungan personal yang baik.
Selain itu, dalam proses pengembangan second-line leaders, kepemimpinan di NGO haruslah fleksibel dan mampu beradaptasi seiring dengan perubahan zaman serta kebutuhan yang berkembang dalam organisasi. Tidak ada model kepemimpinan yang dapat cocok dengan segala situasi serta tidak ada jaminan bahwa pemimpin dengan karakteristik yang sama seperti yang ada saat ini akan tetap relevan di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kepemimpinan dalam NGO dapat berkembang sesuai dengan dinamika yang ada termasuk perubahan sifat masyarakat seiring perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Kepemimpinan yang tidak responsif dan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan dapat menjadi hambatan besar bagi kemajuan dan perkembangan suatu organisasi, terutama dalam konteks NGO. Jika pemimpin dalam sebuah NGO tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan eksternal maupun internal, maka organisasi tersebut akan kesulitan untuk merespons kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Dalam konteks ini, gaya kepemimpinan di NGO tidak boleh bersifat kaku atau tetap/ monolitik(Siddiqi, 2001). Sebaliknya, kepemimpinan haruslah situasional, yang berarti pemimpin harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika yang ada dan merespons perubahan sesuai dengan konteks, karakter, kompleksitas manajemen yang dibangun, kondisi yang dihadapi oleh organisasi serta tujuan masa depan suatu organisasi.
Fleksibilitas dalam kepemimpinan ini sangat penting karena tantangan yang dihadapi oleh NGO tidak pernah statis. Setiap perubahan sosial, ekonomi, maupun politik membutuhkan respons yang cepat dan efektif agar organisasi tetap relevan dan dapat terus memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat. Dengan mengadopsi kepemimpinan yang fleksibel dan adaptif, NGO dapat memastikan bahwa mereka dapat bertahan dalam menghadapi perubahan dan terus memenuhi kebutuhan masyarakat yang berkembang. Kepemimpinan yang demikian memungkinkan NGO untuk tetap efisien, inovatif, dan efektif dalam menghadapi tantangan, serta memastikan keberlanjutan organisasi dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Indonesia, pengembangan kepemimpinan di NGO juga seharusnya tidak hanya mengadopsi pendekatan umum, tetapi juga memperhatikan budaya/Culture-Specific Approach. (Murniati, dkk, 2017). Mengingat bahwa setiap negara memiliki dinamika sosial dan budaya yang unik, penting bagi organisasi untuk merancang program pelatihan kepemimpinan yang tidak hanya berdasarkan teori universal, tetapi juga disesuaikan dengan nilai-nilai dan norma-norma budaya setempat.
Dalam hal ini, gaya kepemimpinan Indonesia yang sangat menekankan pada hubungan antarindividu dan nilai sosial harus menjadi landasan dalam merancang dan melaksanakan program kepemimpinan. Pendekatan ini memastikan bahwa pemimpin yang berkembang tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain dalam lingkup pekerjaan mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, untuk mempersiapkan second-line leaders, sangat penting untuk berbasis pada proses penguatan kepemimpinan (Process-Oriented Leadership strengthening).Penguatan kepemimpinan menekankan pada proses berkelanjutan dan pertumbuhan individu secara bertahap, bukan hanya hasil akhir yang instan.
Gaya kepemimpinan Indonesia, yang lebih berbasis pada hubungan sosial dan pembinaan pribadi, sangat mendukung pengembangan kepemimpinan melalui metode-metode yang bersifat personal dan relasional, seperti mentoring dan coaching. Dalam metode ini, pemimpin yang lebih senior berperan sebagai pembimbing maupun mentor yang tidak hanya memberikan arahan teknis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai, prinsip-prinsip etika, dan pemahaman tentang dinamika sosial yang relevan dalam konteks organisasi dan masyarakat.
Melalui pendekatan berbasis proses ini, second-line leaders tidak hanya akan siap secara teknis untuk memimpin, tetapi juga akan memiliki pemahaman serta mengalami embeddedness budaya yang lebih kuat tentang nilai-nilai organisasi dan konteks sosial budaya yang harus mereka jaga. Dengan demikian, proses pengembangan kepemimpinan yang holistik dan kontekstual ini akan memastikan bahwa para pemimpin masa depan di NGO tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang dan membawa perubahan yang positif dalam organisasi dan sektor masyarakat sipil di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Penulis :
Martin Dennise Silaban (Peneliti di SHEEP Indonesia Institute)