news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membangun Kembali Budaya Menulis

Konten dari Pengguna
10 Mei 2018 19:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Martin Jimi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Anak Jalanan Belajar Menulis (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anak Jalanan Belajar Menulis (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menulis sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak dahulu kala. Mulai dari menulis di atas batu, kulit binatang, hingga penemuan kertas oleh Ts’ai Lun di Tiongkok pada tahun 105 Masehi. Berbagai sejarah besar diwariskan ke generasi selanjutnya melalui tulisan. Di Indonesia sendiri, Bung Karno bahkan kita kenal sebagai sosok proklamator yang gemar menulis dan memakai tulisan-tulisannya untuk membangkitkan semangat revolusi rakyat Indonesia pada awal kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Sejarah menulis yang kian panjang, seharusnya menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang memiliki budaya menulis dan menghasilkan generasi berkompetensi tinggi. Sebab, menulis memiliki kaitan yang erat terhadap kompetensi.
Menulis dan Kompetensi
Sebuah contoh kasus tentang eratnya kaitan menulis dengan kompetensi bisa kita pelajari dari murid-murid di New Dorp High School, sekolah menengah umum yang terkenal di Staten Island, New York City, Amerika Serikat.
New Dorp High School memiliki pamor sebagai salah satu SMA dengan tingkat prestasi paling rendah secara nasional. Setelah melalui berbagai observasi dan eksperimen, diketahui bahwa masalah yang paling mendasar adalah keterampilan menulis siswa New Dorp yang amat rendah, sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk memahami pelajaran dan mengambil kesimpulan dari apa yang dipelajari. Terlebih, karena banyak siswa berasal dari keluarga kurang mampu dan tidak mendapatkan pembelajaran menulis yang berkualitas sejak dini. Akibatnya, kemampuan komprehensi dan analisis mereka juga rendah.
ADVERTISEMENT
New Dorp akhirnya memakai pendekatan menulis dari Metode Hochman yang diterapkan secara intensif dalam kurikulum sekolah. Hasilnya prestasi siswa New Dorp meningkat drastis, disertai pelonjakan angka kelulusan dari 67% di tahun 2009 ke 89% di tahun 2011.
Apa yang terjadi di New Dorp dapat menjadi bahan kajian kita terhadap pendidikan di Indonesia. Mengingat saat ini Indonesia masih berada di urutan bawah perihal kompetensi. Setidaknya menurut laporan The Programme for International Student Assessment (PISA) dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), di mana kompetensi siswa-siswi Indonesia disebutkan masih berada di peringkat ke-60 dari 72 negara.
Baru-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, juga berharap agar kompetensi siswa-siswi Indonesia bisa naik di antara negara-negara lain. Oleh sebab itu Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2018 dibuat mengikuti standar internasional, yaitu PISA.
ADVERTISEMENT
Target Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut dapat didukung salah satunya dengan menumbuhkan kembali budaya menulis di Indonesia.
Tiga Manfaat Utama Menulis Tangan Dibandingkan Gawai
Menurut berbagai studi, menulis setidaknya memiliki tiga manfaat utama, yaitu meningkatkan kecerdasan, kreativitas, dan daya ingat.
Seorang psikolog dari Indiana University, Karin James, mengemukakan bahwa menulis dapat meningkatkan daya ingat. Alasannya, menulis memerlukan pola pikir, pengamatan, dan introspeksi. Menulis juga dapat meningkatkan kecerdasan, karena melatih cara berpikir kritis, sistematis, dan terstruktur. Selain itu menulis juga mendukung tumbuhnya kreativitas, karena melatih daya imajinasi dan mengasah kemampuan menyelesaikan masalah.
Saat menulis di atas kertas, ada lima keterampilan kunci yang kita pelajari. Mulai dari penguasaan huruf, kesadaran fonemik, kosa kata, kefasihan, serta komprehensi. Kelimanya akan berkembang secara bertahap dan terintegrasi jika budaya menulis mulai tumbuh sejak usia dini.
ADVERTISEMENT
Menulis di Kertas Lebih Baik Dibanding Mengetik di Gawai
Kehadiran internet dan perkembangan gawai yang pesat saat ini membuat anak-anak cenderung lebih akrab menulis di atas gawai dibandingkan kertas. Lembaga riset Childwise yang berbasis di Inggris mengungkapkan bahwa anak masa kini rata-rata menghabiskan waktu 6,5 jam per hari untuk beraktivitas dengan gawainya.
Padahal, menurut sejumlah penelitian internasional, salah satunya yang dimuat di jurnal Psychological Science, menulis di atas kertas, lebih meningkatkan kualitas belajar dibandingkan menggunakan laptop.
Psikolog Karin James juga menungkapkan bahwa hasil magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan perbedaan pada otak anak ketika mengetik dan menulis. Otak anak yang mengetik pada gawai tidak dapat mengenali perbedaan antara huruf dan bentuk, namun otak anak-anak yang menulis dapat mengenalinya.
ADVERTISEMENT
Psikolog dari Princeton dan Universitas California, Los Angeles, Pam Mueller dan Daniel Oppenheimer, juga menyebutkan bahwa siswa yang mencatat atau menulis kembali pengalamannya di buku, menunjukkan pemahaman lebih mendalam dan dapat mengingat lebih baik.
Tak heran jika banyak pakar psikologi dan pemerhati anak yang gencar mengampanyekan pembatasan penggunaan gawai pada anak. Hal ini tentunya perlu didukung pula agar budaya menulis dapat tumbuh dari masa anak-anak tanpa terganggu oleh penggunaan gawai yang terlalu sering.
Butuh Peran Orang Tua dan Guru
Untuk menumbuhkan budaya menulis sejak dini, perlu dukungan dari lingkungan sekitar, terutama orang tua dan guru. Keduanya perlu mencari kembali kegiatan-kegiatan menarik yang dapat menumbuhkan minat menulis anak.
Minat menulis sejatinya dimiliki oleh setiap anak, karena rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu yang baru. Oleh sebab itu, semakin tinggi kesadaran orang tua dan guru untuk menanamkan budaya menulis sejak dini, maka kemampuan menulis anak akan semakin terasah.
ADVERTISEMENT
Seperti halnya penemuan kertas yang membutuhkan waktu lama, menumbuhkan budaya menulis pun membutuhkan waktu panjang dan dukungan dari berbagai pihak. Hasilnya mungkin tidak bisa kita lihat esok atau lusa, namun ketika anak-anak Indonesia berhasil menjadi pemimpin dunia dalam berbagai bidang profesi di masa depan.
Oleh: Martin Jimi, Domestic Business Head - BU Consumer APP Sinar Mas