Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Nafkah Iddah dalam Perspektif Undang-Undang Perkawinan
23 November 2024 22:52 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Marwa Fadhila Hasna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nafkah merupakan pengeluaran yang dilakukan kepada orang yang menjadi tanggung jawabnya. Nafkah juga dapat dipahami sebagai konsekuensi dari adanya ikatan perkawinan. Akan tetapi, pada proses perceraian juga terdapat nafkah yang harus dikeluarkan oleh suami. Sedangkan Iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh seorang wanita setelah berpisah dengan suaminya, baik karena perceraian maupun kematian. Tujuannya adalah untuk memberikan waktu bagi wanita tersebut untuk berduka dan memulihkan diri.
ADVERTISEMENT
Nafkah iddah adalah nafkah yang diberikan oleh suami kepada mantan istri karena telah terjadi perceraian secara raji, nafkah ini diberikan karena selama masa iddah ini istri masih menunggu kemungkinan mantan suami untuk kembali lagi kepadanya serta mantan istri belum boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lainnya.
Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak secara spesifik mengatur tentang hak nafkah bagi mantan istri yang telah dicerai. Pasal 41 c dalam Undang-undang tersebut menjelaskan: "pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istrinya".
Apabila suami beragama Islam yakni untuk yang beragama Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak, maka suaminya wajib:
ADVERTISEMENT
1. Memberikan muťah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut Qabla ad dukhul.
2. Memberikan nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama masa 'iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
3. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, atau setengah apabila qabla ad dukhul.
4. Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai 21 tahun.
Dalam kompilasi hukum Islam, ketentuan mengenai hidup iddah diatur dalam pasal 153. Masa tunggu atau iddah berlaku bagi istri yang putus perkawinannya, kecuali pada qobla ad dukhul (perceraian yang dilakukan setelah akad nikah sah, tetapi sebelum suami istri melakukan hubungan badan), dimana perkawinan tersebut tidak putus karena meninggalnya suami. Bagi seorang janda, jika perkawinannya gagal karena meninggal dunia, maka masa tunggunya adalah empat bulan, kurang lebih 120 hari (120 hari), sekalipun qobla ad dukhul. Jika putusnya perkawinan karena perceraian, maka masa tunggunya minimal 90 hari untuk tiga kali suci bagi yang masih haid, dan 90 hari bagi yang tidak haid.
ADVERTISEMENT
Jika perkawinan putus karena perceraian dan janda hamil, maka ada masa tunggu sampai anak tersebut lahir. Dan apabila perkawinan itu berakhir karena janda tersebut meninggal dunia pada waktu hamil, maka ada masa tunggu untuk melahirkan.
Dalam hal perkawinan putus karena perceraian, masa tunggu dihitung sejak tanggal putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal perkawinan putus karena kematian, masa tunggu dihitung sejak kematian pasangan. Apabila seorang wanita yang sedang haid tidak haid karena menyusui pada masa iddahnya, maka masa tunggunya adalah tiga kali lipat masa iddah pada masa haidnya. Jika bukan karena menyusui, maka Iddah berlaku selama satu tahun. Namun jika haid kembali terjadi pada tahun tersebut, maka Iddah menjadi masa suci tiga kali lipat.
ADVERTISEMENT