Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Omong Kosong Akun Bodong
27 Oktober 2020 13:04 WIB
Tulisan dari marwakautsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak ada cara tercepat untuk menuangkan pemikiran di kepala selain mencurahkannya ke dunia maya. Ia seakan telah menjadi teman sehidup semati umat manusia dari bangun hingga tidur. Kesetiaannya terus melayani isi pikiran manusia terkadang gila dan selalu dirundungi rasa tidak puas. Padahal, media baru yang digenggam kebanyakan orang sudah canggih luar biasa – seharusnya cukup untuk mememuhi kepuasan hasrat penasaran dan validasi.
ADVERTISEMENT
Disebutkan oleh Khanisa (2013) jejaring sosial dan blog sebagai ranah pribadi identitas baru adalah dua pemicu memasyarakatnya dunia maya. Tidak usah menghitung berapa banyak kasus ujaran kebencian di media sosial – penghilangan identitas juga lazim di sana. Beberapa orang menggunakan cara ini untuk mengekpresikan dirinya dengan memilih untuk tidak dikenal. Hutagaol (2019) juga menyebutkan bahwa penyebaran konten hoaks dan ujaran kebencian dilakukan oleh 643 akun asli, 702 semi anonim, dan 2.533 anonim pada 2018 di media sosial, dengan peningkatan 100 persen jumlah akun anonim dari tahun 2017. Belum lagi dengan jumlah yang terus berjalan hingga penghujung 2020 ini. Selama prosedurnya masih sangat mudah dan murah, ujaran kebencian di media baru akan terus digandrungi. Lalainya manusia pada norma-norma berkehidupan ini tentu dapat menjadi masalah yang besar di kemudian hari.
ADVERTISEMENT
Media baru menawarkan kemudahan beropini
Ujaran kebencian mungkin telah ada sejak lama. Belum tepat rasanya jika menyebut itu merupakan jenis kejahatan yang mulai ditinggalkan. Media baru dengan segala kemudahannya justru semakin memperhalal segala jenis opini untuk ditampilkan. Uniknya, pengguna dibalik opini-opini tajam biasanya adalah seseorang yang kurang percaya diri dan tidak segarang yang dikenal secara daring. Hayuputri (2019) menjelaskan pada titik ini terjadi deindividuasi, ketika seseorang berperilaku bukan menjadi dirinya, ia merasa tidak harus bertanggung jawab atas perilaku tersebut.
Ketangkisan polisi seharusnya dapat menjadi solusi
2
Tentu sulit untuk mengumpulkan seluruh manusia anonim dibalik layar maya yang telah menyakiti hati umat manusia lainnya. Setiap harinya, akun anonim memiliki kemungkinan untuk terus meningkat. Bahkan, detik ini saja kita bisa melahirkan dua, tiga, atau lebih akun anonim di media sosial, lalu menggunakannya untuk mengejek seorang selebritis tidak problematik yang sedang tidur cantik. Akun yang tidak memiliki kekuatan pengaruh tinggi pun tetap memiliki kesempatan panggung yang sama jika ia sanggup menyajikan berita panas di linimasa.
ADVERTISEMENT
Pelacakan dan penangkapan pemilik akun dengan ujaran kebencian dapat membuat jera pemilik akun karena ia harus berdiri di atas namanya saat dicap “pelaku”. Walau kita tahu, yang sudah-sudah biasanya terjebak di lingkaran setan – ia akan meminta maaf, lalu jika ia memilih untuk mengulang, terulanglah. Ini sungguh klise, bahkan kita semua paham dan hafal betul alur tingkahnya. Namun, sejak awal harapan dibuatnya akun tanpa penanggung jawab adalah memang untuk tidak diminta pertanggungjawaban atas ketikan dan perlakuannya. Kalau cara ini diberlakukan lebih ketat, akhirnya ia memiliki kesempatan untuk dikenal oleh banyak pihak bersangkutan. Maka dari itu, setidaknya ini cukup menyeramkan bagi orang-orang yang terlalu lama membenci di balik nama palsu.
Apa perlu di-blacklist dari dunia maya dan dunia nyata?
ADVERTISEMENT
Penangkapan pemilik akun licik mungkin sudah sering dilakukan, tetapi kejahatan siber ini belum berakhir atau berkurang. Di samping segala hukuman, kita bisa saja melepas hak bicaranya atau mencampakkannya di dunia nyata. Tetapi, sulit untuk mengetahui aktivitas maya jenis apa yang dilakukan orang-orang di sekitar kita. Terlebih, perbedaan antara kita dengan pelaku jadi samar karena kita sama-sama pembenci.
Pencatatan pelaku di daftar hitam mungkin saja perlu, tetapi hal ini cenderung kurang adil mengingat ia tetap manusia yang memiliki hak berpendapat. Penjatuhan hukuman yang setara dengan pelanggaran yang ia buat sesuai dengan undang-undang cukup untuk memberikan efek jera. Setelahnya, ia dapat memilih apakah ingin kembali
3
menjadi preman di dunia maya atau yang semestinya saja. Ia juga bisa memilih apakah akun bodongnya itu digunakan untuk hal-hal positif atau kembali digunakan untuk memanen dosa. Sedikit masukan; akun bodongnya itu lebih memiliki faedah jika ia tahu cara memanfaatkannya dengan wajar, seperti curhat tentang hari ini atau bertemu dengan teman baru.
ADVERTISEMENT
Kita sama-sama berada dan berkesempatan untuk proses belajar, begitu pula pelaku. Dengan ketegasan pihak berwajib dan hukuman yang disesuaikan oleh perbuatan, seharusnya itu sudah membuat dirinya puas melahap segala tanggung jawab atas perbuatan kejinya tersebut dan mengambil hikmahnya.
Kita diberkahi banyak karena mampu menggenggam dunia maya
Kebebasan berpendapat bukan berarti kebebasan memaki, menghasut, atau memprovokasi. Bukannya melelahkan untuk selalu menuruti “kebebasan beropini” jika terus-terusan ada yang makan hati? Tentu akan beda antara kritik dan benar-benar membenci. Pengujar kebencian semestinya bisa belajar lebih tentang etika dengan fasilitas internet yang mumpuni.
Jangan berpikir bahwa semua orang di dunia juga hadir di media baru. Belum tentu kesempatan kita sama untuk memiliki akses internet. Jangankan akun palsu untuk membenci, rasanya bisa menghadiri kelas daring tanpa susah payah saja sudah menyenangkan untuk sebagian orang. Kemampuan untuk menikmati hiburan dan koneksi di dunia maya seharusnya bisa membuat kita lebih bijak dan bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Hayuputri, F. M. (2019). Akun Palsu di Media Sosial dalam Kaitannya dengan Deindividuasi. ISSN 2477-1686 Vol.5 No. 19 Oktober 2019.
Hutagaol, S. (2019, Januari 15). Berapa Jumlah Hoaks & Ujaran Kebencian dari 2017-2018? Berikut Datanya. Retrieved from Okezone.com: https://nasional.okezone.com/read/2019/01/15/337/2004711/berapa-jumlah-hoaks-ujaran-kebencian-dari-2017-2018-berikut-datanya
Khanisa. (2013). DILEMA KEBEBASAN DUNIA MAYA: KAJIAN DARI SUDUT PANDANG NEGARA. Widyariset, Vol. 16 No.1, April 2013, 23–30.