Konten dari Pengguna

Masa Depan "Perubahan" Anies dan Partai Politiknya

MARWAN
Alumnus Ilmu Politik dan Hubungan Internasional. Dosen di Departemen Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
3 September 2024 14:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MARWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
Santer terdengar wacana pendirian partai politik oleh mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Alasan Anies dan teman-temannya dalam rencana membuat partai bisa dilihat dari beberapa hal. Secara normatif, partai yang akan dibuat ini akan menjadi partai alternatif baru. Partai yang berhaluan perubahan.
ADVERTISEMENT
Kata “perubahan” ini melekat pada Anies yang selama tahun-tahun terakhir. Apalagi saat berkontestasi di pilpres, perubahan menjadi tagline yang digunakan dan terus digemakan. Kata perubahan dapat dimaknai sebagai interupsi atas sesuatu yang kurang baik dan menggantikannya menjadi baik.
Dalam konteks partai politik, banyak partai yang tidak memberikan perubahan yang baik yang diinginkan oleh masyarakat. Dalam konteks pemerintahan, pemegang kuasa juga menunjukan ada pembiaran atas ketidakpatutan yang terjadi dalam jalannya pemerintahan. Tidak salah kemudian jika Anies terus menggaungkan kata perubahan dalam kampanye politiknya untuk melawan narasi penguasa dan pendukungnya yang menganggap Indonesia sedang baik-baik saja dan perlu dilanjutkan.
Berikutnya adalah alasan politis yang mendorong pembentukan partai ini. Anies membutuhkan panggung politik untuk terus membesarkan namanya. Untuk terus membuat masyarakat mengingat namanya terutama sebagai simbol perubahan. Melalui partainya, dia akan mudah menggemakan kata dan kalimat perubahan. Atau ini adalah kendaraan politik bagi Anies agar terus “hidup” di pikiran-pikiran masyarakat. Pasalnya, tanpa panggung dan kendaraan maka dia akan meredup secara perlahan dan namanya akan hilang ditelan narasi-narasi lain.
ADVERTISEMENT
Per hari ini dimana Anies belum membuat partai, kendaraan potensial Anies bisa dikatakan sudah habis. Menjadi Gubernur Jakarta adalah panggung yang strategis baginya. Strategisnya jabatan tersebut membuat banyak pihak mengatakan bahwa Gubernur Jakarta menempati hirarki ke-3 di Indonesia, setelah presiden dan wakil presiden yang berturut-turut adalah 1 dan 2.
Selain itu, Gubernur Jakarta selalu berpotensi besar untuk menjadi kandidat presiden karena sering mendapat sorotan media. Dan tentunya, jika Anies berhasil terpilih menjadi Gubernur Jakarta ke depan maka akan sangat potensial melawan presiden terpilih sekarang, Prabowo, di kontestasi pemilihan presiden 2029 nanti.
Apalagi menurut hasil survei yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kredibel, Anies sangat berpeluang menang jika maju bertarung di pemilihan Gubernur Jakarta 2024. Karenanya, posisi strategis ini membuat banyak “musuh” tidak menginginkannya untuk terus dan menjadi besar. Maka Anies harus dijauhkan dari panggung ini. Maka sulit untuk mengajak masyarakat untuk tidak berpikir bahwa kegagalan Anies menjadi calon Gubernur Jakarta dalam pemilihan kepala daerah 2024 adalah proses yang alamiah tanpa ada operasi politik.
ADVERTISEMENT
Indikasi operasi politik itu sangat mudah dipahami dengan membaca atau menyaksikan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi. Anies juga mempertegas itu pada suatu kesempatan bahwa awalnya dia didukung oleh beberapa partai. Namun, karena adanya peristiwa-peristiwa politik yang terjadi di belakang layar maka satu persatu partai pendukung tersebut menarik dukungannya. Selanjutnya, bergabung pada koalisi kekuasaan. Bagi lawan politik, menyingkirkan Anies sangat penting untuk melanggengkan gerak penguasa dalam agenda-agendanya, entah agenda pribadi/kelompok atau rakyat secara umum.
Sampai Kapan Ide Perubahan Itu?
Terlepas dari itu semua, mari kita lihat masa depan partai yang akan didirikan oleh Anies jika benar-benar terjadi. Apakah gerak perubahan yang digaungkan akan terus terdengar?
Ada adagium dalam politik: politik tergantung posisi. Posisi politik seseorang tergantung situasi yang ada. Politik ibarat perang. Strategi bisa berubah. Selain itu, kompromi dan konsensus adalah hal yang lumrah terjadi asal kepentingan terakomodasi. Ini semua terjadi sesuai perkembangan situasi. Sudah banyak contoh yang bisa menjelaskan ini yang salah satunya adalah bagaimana penarikan dukungan partai-partai yang semula mendukung Anies dalam pilgub Jakarta 2024 akhirnya menyatakan mundur dari dukungan.
ADVERTISEMENT
Logika ini akan terjadi pada Anies dan partainya. Pada banyak hal, Anies akan melakukan kompromi-kompromi politik dengan pihak lain. Apalagi kita menganut demokrasi dimana ruang dialog dan koalisi terbuka untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Contoh misalnya, jika suatu saat nanti Anies ingin menggolkan suatu UU maka agenda tersebut harus disepakati oleh mayoritas anggota dewan yang juga anggota partai. Atau jika Anies ingin mendapatkan kekuasaan maka dia harus berkoalisi dengan gerbong penguasa. Di kasus-kasus seperti ini, lobi dan kompromi politik akan terjadi. Ada tawar menawar agar kepentingan semua pihak terwadahi.
Di saat yang sama, kepentingan kita tidak bisa dipaksakan untuk diakomodasi secara keseluruhan oleh semua pihak. Pihak lain pun demikian. Dengan kata lain, kita harus saling rela mengorbankan sebagian dari kepentingan kita untuk menerima kepentingan dari pihak lain. Bahkan dalam tataran tertentu, idealisme sering ditanggalkan untuk kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
Tantangan lain adalah dalam berkompromi dengan pemodal besar. Sudah jadi rahasia umum bahwa pemodal besar selalu ikut bermain di partai politik. Ada simbiosis mutualisme di sini. Ada saling ketergantungan. Politisi/pemilik/pengurus partai sangat membutuhkan pendanaan yang besar. Banyak agenda-agenda partai yang harus dibiayai.
Realitas ini mendorong pemodal untuk masuk ke partai. Tentunya, no free lunch bagi pemodal. Tidak ada makan siang yang gratis. Semua ada kesepakatan-kesepakatan. Pemodal umumnya ingin agar pengaruh ekonomi atau bisnisnya tetap jalan dan terus berkembang. Mereka butuh politisi atau kekuasaan untuk menciptakan suasana kondusif bagi ekspansi bisnisnya seperti meminta politisi untuk membuat UU atau regulasi lain agar bisnisnya semakin tumbuh dan meluas.
UU Cipta kerja contohnya, dimana regulasi ini mempermudah ekspansi bisnis para pengusaha. Padahal dalam banyak sorotan masyarakat sipil dengan berbagai kajiannya, regulasi ini banyak merugikan masyarakat secara umum. Namun, inilah hasil kompromi politik dan ekonomi antara penguasa dan pengusaha.
ADVERTISEMENT
Jika Anies berhasil mendirikan partai maka “hukum” tersebut di atas akan ikut berlaku pada Anies dan partainya.Wacana-wacana perubahan yang dimiliki Anies tidak selamanya akan sekeras seperti sekarang ini. Dan malah bisa akan redup dan hilang.
Hal semacam ini dapat dilihat pada partai yang tergolong baru seperti PSI dan Partai Gelora. Keduanya mewacanakan konsep-konsep atau agenda-agenda perubahan atau membuat pembeda-pembeda dengan partai lain. Namun, pada akhirnya kompromi politik dan ekonomi membuat mereka berperilaku seperti partai-partai lain yang senior dan bisa dikatakan tidak ada bedanya sama sekali. Malah parahnya, mereka tampak lebih hipokrit. Lantas, akankah Anies dan partainya demikian? Sangat mungkin.