Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Membaca Masa Depan Palestina di Era Trump 2.0
28 Januari 2025 17:06 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari MARWAN tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Banyak orang menerka-nerka tentang nasib Palestina di era Donald Trump periode kedua (Trump 2.0). Apakah akan sama dengan Joe Biden atau Trump akan mengambil langkah lain? Hal ini cukup beralasan mengingat pengaruh Amerika yang cukup besar di Timur Tengah, terutama dalam relasi Palestina dan Israel.
ADVERTISEMENT
Jika melihat rekam jejak kebijakan luar negeri Amerika terhadap Israel dan Palestina, maka tidak sulit untuk mengatakan bahwa Amerika akan tetap pro-Israel. Tinggal strategi dan implementasi kebijakan luar negeri yang pro-Israel tersebut yang mungkin akan berbeda dengan presiden Amerika lain. Trump mungkin akan berbeda dengan Biden dalam beberapa hal.
Trump Ikut Mendorong Gencatan Senjata
Menjelang Presiden Biden turun tahta, ada upaya yang cukup gencar yang dilakukan oleh Amerika untuk mendorong Israel dan Palestina (Hamas dan kelompok perjuangan lainnya) menyepakati gencatan senjata. Biden sepertinya ingin mengakhiri masa jabatannya dengan “nama baik”. Bahwa dia bisa mendudukan dua pihak yang berperang tersebut untuk berdamai dalam kerangka gencatan senjata.
Meskipun sebenarnya Biden jugalah yang turut berkontribusi besar atas apa yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina hari ini. Biden mendukung Israel menginvasi dan melakukan genosida pada Palestina. Dalam hal ini Biden menyuplai bantuan militer kepada Israel dalam jumlah yang sangat besar. Biden juga berdiri paling depan di panggung internasional untuk membela Israel di tengah kekejaman yang dilakukan.
ADVERTISEMENT
Dalam hal kesepakatan gencatan senjata tersebut, Trump juga dilibatkan. Trump mengirim utusan dalam pembicaraan tersebut. Biden menyadari bahwa usia kekuasaannya tinggal menghitung hari. Sehingga keberlangsungan penanganan konflik Palestina dan Israel akan ditangani oleh presiden setelahnya, Trump. Artinya jika tidak melibatkan Trump maka sangat mungkin usaha Biden tidak akan dilanjutkan oleh Trump.
Atas keberhasilan gencatan senjata tersebut, banyak pihak mengatakan bahwa Trump lebih pro-Palestina dibanding Biden. Atau level dukungan Trump ke Israel akan lebih kecil dibanding yang dilakukan Biden. Trump pun sesumbar mengatakan bahwa karena dirinya maka gencatan senjata itu tercapai. Biden juga melakukan hal yang sama. Keduanya saling mengklaim.
Lebih Pro-Israel
Namun sebenarnya jika ditarik kebelakang sebelum gencatan senjata itu tercapai, saya justru melihat tingkat dukungan Trump ke Israel akan lebih besar dibanding Biden. Atau level dukungan kepada Palestina akan menurun. Hal itu dapat dilihat dari penunjukan Marco Rubio sebagai secretary of state atau Menteri Luar Negeri Amerika.
ADVERTISEMENT
Rubio selama ini dikenal dengan pendukung garis keras Israel. Hal itu dapat dilihat pada pembelaannya pada Israel walaupun Israel telah terang benderang melakukan genosida dan pelanggaran HAM berat lainnya atas Palestina. Apalagi menurut Opensecrets (2024) Rubio salah satu politisi yang mendapat pendanaan yang cukup besar dari lembaga lobi Israel. Penunjukan dirinya oleh Trump sulit untuk mengatakan tanpa pengaruh dan saran dari lembaga lobi pro-Israel kepada Trump.
Apalagi, jamak diketahui, lembaga lobi Israel seperti AIPAC (American Israel Public Affair Committee) dan sejenisnya selalu ikut mendanai kampanye kandidat-kandidat Presiden Amerika baik dari Partai Republik maupun Demokrat. AIPAC dikenal sebagai salah satu organisasi lobi paling kuat di Amerika yang dapat memengaruhi kebijakan luar negeri Amerika agar selalu pro-Israel.
ADVERTISEMENT
Selain penunjukan menteri luar negeri yang sangat pro-Israel, langkah Trump lainnya adalah dengan mencabut larangan pengiriman paket bantuan militer kepada Israel. Paket bantuan tersebut ditangguhkan oleh Biden karena desakan dari rakyat Amerika atas genosida yang dilakukan Israel atas Palestina. Namun, Trump mengabaikannya.
Tidak hanya sampai disitu, Trump pasca dilantik pada Senin, 20 Januari 2025, langsung mengesahkan beberapa perintah eksekutif (executive order). Salah satu perintah eksekutif yang ditandatangani tersebut menargetkan aktivis pro-Palestina di Amerika yang menentang penjajahan Israel.
Regulasi ini dinilai lebih berbahaya dibanding aturan pelarangan muslim dari beberapa negara mayoritas muslim untuk masuk ke Amerika, saat Trump berkuasa di periode pertama. Regulasi baru tersebut banyak ditentang oleh berbagai kalangan di Amerika. Pasalnya, aturan itu bertentangan dengan prinsip Amerika selama ini sebagai surga bagi orang-orang yang mencari kebebasan terutama dalam menyatakan pendapat (free speech).
ADVERTISEMENT
Satu Negara, Bukan Dua
Sebenarnya jika menelisik lebih dalam ke Trump periode pertama (Trump 1.0), kita dapat melihat bagaimana Trump sangat pro-Israel. Saat itu, Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Kemudian, Trump memindahkan kantor kedutaan besar Amerika dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kebijakan itu mendapat kecaman internasional. Dalam hukum internasional, Yerusalem akan dibagi dua. Yerusalem Timur akan menjadi Ibu Kota Palestina sedangkan Yerusalem Barat untuk Israel. Dengan mengakui Yerusalem secara keseluruhan sebagai Ibu Kota Israel maka secara tidak langsung Trump hanya mengakui eksistensi Israel sedangkan Palestina diabaikan.
Terkait kelanjutan gencatan senjata, Trump juga menunjukan sikap keraguan. Saat di wawancarai oleh CNN (2025), dia mengatakan “I’m not confident. It’s not our war, it’s their war,” atau bisa diartikan “Saya tidak yakin. Itu bukan perang kita, itu perang mereka”.
ADVERTISEMENT
Keraguan banyak orang tentang dukungan Trump 2.0 terhadap eksistensi negara Palestina mulai mendapatkan gambaran yang lebih jelas. Trump sepertinya tidak ingin ada solusi dua negara. Hal itu dapat dilihat dari rencana Trump yang cukup kontroversial. Dia ingin memindahkan warga Gaza Palestina ke beberapa negara muslim. Indonesia pernah disebut sebagai salah satu negara tujuan. Mesir dan Yordania juga menjadi negara target tujuan pemindahan.
Terlepas dari apapun dalih Amerika, pemindahan warga Gaza ini tidak bisa diterima. Apalagi pemindahan secara masif ini mengingatkan kembali pada memori kelam rakyat Palestina. Memori Nakbah (malapetaka) tahun 1948. Saat itu terjadi pengusiran warga Palestina dari negaranya secara masif oleh Israel.
Sampai hari ini banyak dari mereka masih berstatus pengungsi di negara lain dan belum bisa kembali ke Palestina. Bahkan telah memiliki keturunan beberapa generasi. Sementara itu, tanah-tanah mereka telah dicaplok Israel dan tentunya melanggar hukum internasional dan norma kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Apa yang direncanakan Trump disambut baik oleh politisi kelompok garis keras atau kanan ekstrim Israel termasuk Perdana Menteri Netanyahu. Mereka dari dulu ingin agar Gaza dikosongkan. Kekosongan Gaza akan memudahkan mereka untuk mencaplok salah satu wilayah Palestina ini.
Bagi kelompok garis kanan Israel tersebut, Gaza harus dikuasai untuk memudahkan pendirian Israel tanpa Palestina. Mereka ingin hanya satu negara (one state) yakni Israel. Mereka menolak solusi dua negara (two states) yang digaungkan selama ini dalam kesepakatan internasional. Solusi dua negara yang dimaksud adalah Palestina dan Israel akan hidup berdampingan secara damai.
Namun, memindahkan warga Gaza ke luar Palestina mendapat penolakan dari berbagai pihak. Di internal Palestina sendiri penolakan itu cukup keras. Demikian juga Indonesia yang sejak awal menolak. Yordania dan Mesir juga tidak setuju. Bagi negara-negara Arab tetangga Palestina tersebut, menerima warga Gaza maka secara tidak langsung mendukung agenda Israel untuk mendirikan negara Israel tanpa Palestina.
ADVERTISEMENT
Selain itu justru akan mengancam ekonomi dan keamanan negara tersebut. Secara ekonomi, mereka akan menanggung beban dalam hal alokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan pengungsi Palestina serta masalah ekonomi lain. Dari segi keamanan akan berpotensi menciptakan destabilitas. Sangat mungkin akan muncul kelompok-kelompok bersenjata baru atau gerakan perlawan untuk mengganggu stabilitas dua negara arab tersebut. Pasalnya, mereka akan dianggap mendukung agenda Israel dan Amerika.
Trump memang politisi yang sering mengambil keputusan diluar lanskap politik Amerika selama ini. Karena inilah, para pihak yang berkepentingan atas kemerdekaan Palestina perlu waspada. Mereka juga harus siap mengantisipasi kebijakan-kebijakan Trump yang mendegradasi kemerdekaan Palestina. Politik selalu dinamis. Segala kemungkinan masih bisa terjadi.