Konten dari Pengguna

Prasyarat Efektivitas Pemberlakuan PSBB

Mas Achmad Santosa
Praktisi Hukum Publik
2 April 2020 12:31 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mas Achmad Santosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga menggunakan payung saat melintasi kawasan Tanah Abang, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Warga menggunakan payung saat melintasi kawasan Tanah Abang, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Presiden akhirnya menetapkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM). Sebagaimana diketahui dengan penetapan KKM berarti pemerintah menetapkan bahwa kondisi saat ini merupakan kondisi kesehatan masyarakat yang sifatnya luar biasa yang membutuhkan langkah-langkah mitigasi yang juga luar biasa. Dengan penetapan KKM melalui Keppres ini terbuka kesempatan pemerintah untuk menggunakan cara cara mitigasi kekarantinaan kesehatan yang ada dalam UU 6 tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Dua cara mitigasi yang sudah banyak dibicarakan yaitu Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Presiden melalui PP 21 tahun 2020 telah menetapkan PSBB sebagai cara memitigasi COVID-19 ini. Seluruh komponen baik pemerintah pusat dan daerah, legislatif pusat dan daerah, dunia usaha, organisasi keagamaan, masyarakat sipil perlu memberikan dukungannya agar pilihan PSBB ini dapat dilaksanakan secara efektif untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19.
Walaupun pengambilan keputusan PSBB ada di tangan pemerintah pusat (Menteri Kesehatan), namun PSBB dalam PP 21/2020 ini sifatnya bottom up. Artinya pengusulan dari daerah. Pemerintah belum menganggap perlu adanya pemberlakuan PSBB secara nasional dan menyeluruh. Lokalitas atau regionalitas PSBB ini, menurut saya sangat tepat, karena Gubernur, Bupati atau Wali Kota yang mengusulkan sangat paham potensi permasalahan di wilayahnya, dan juga potensi untuk mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Mekanisme bottom up ini juga penting untuk membangun ownership terhadap permasalahan dan penanganannya. Pemberlakuan PSBB secara top down berpotensi terbatasnya rasa memiliki daerah untuk melaksanakan secara all out. Namun PP ini juga memberikan ruang bagi kepala satgas COVID-19 menyampaikan usulan PSBB di wilayah tertentu.
Memang sangat disayangkan, PP 21 tahun 2020 bukan PP sebagaimana yang dikehendaki pasal 60 UU No. 6 tahun 2018. Pasal 60 menyebutkan bahwa PP diperlukan untuk mengatur kriteria dan pelaksanaan jenis-jenis karantina (Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit) dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PP 21 tahun 2020 yang baru saja diberlakukan pemerintah hanyalah PP yang mengatur tentang PSBB. Kriteria dan Pelaksanaan PSBB pun secara umum hanya pengulangan dari UU No 6 tahun 2018. Bukan penjabaran dan pengaturan lebih lanjut dari UU itu secara kontekstual. Tetapi saat ini saya kira PP yang tidak sempurna harus dipahami dan tidak perlu diperdebatkan karena PP ini dibuat hanya dalam waktu yang teramat singkat.
ADVERTISEMENT
Bagi pemerintah daerah yang mengusulkan, dan Menteri Kesehatan yang memberikan persetujuan ada beberapa kriteria penting yang perlu dijadikan pedoman sebagai berikut:
(1) PSBB yang diusulkan tidak memberikan dampak yang terlalu besar terhadap kegiatan ekonomi masyarakat sehari-hari di wilayah yang diusulkan;
(2) Apabila PSBB yang diusulkan tidak bisa menghindari dampak ekonomi terhadap masyarakat, pengusul wajib menjelaskan kepada pemerintah secara detail upaya pengamanan sosial dan pengamanan ekonomi masyarakat sebagai mitigasinya;
(3) PSBB yang diusulkan harus mampu mencegah secara efektif meluasnya penyebaran penyakit yang sedang terjadi.
(4) PSBB yang diusulkan harus disertai strategi sosialisasi secara meluas kepada masyarakat;
(5) PSBB yang diusulkan harus memiliki jangka/masa pemberlakuannya;
(6) PSBB yang diusulkan harus menyertakan perencanaan kepatuhan (compliance) masyarakat, baik secara persuasif maupun melalui tindakan penegakan hukum
ADVERTISEMENT
(7) Setiap usulan PSBB harus menyertakan alasan dan pertimbangan sebagaimana diatur pasal 2 PP ini. Penjelasan terkait implikasi ekonomi, di dalam usulan PSBB harus dijelaskan sumber, ketersediaan dan alokasi anggaran yang ada dan biaya yang diperlukan.
Ilustrasi physical distancing. Foto: Indra Fauzi/kumparan
PSBB di wilayah tertentu pada akhirnya sangat tergantung pada pola kepemimpinan yang inklusif dari kepala daerah tersebut. Kepala daerah dalam mengusulkan harus didasarkan data data keilmuan, khususnya data epidemiologis. Oleh sebab itu kepala daerah di wilayah yang diusulkan perlu merangkul paling tidak beberapa kelompok pemangku kepentingan yaitu:
(1) perguruan tinggi dari bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, ekonomi, hukum, komunikasi. dan ilmu sosial lainnya.
(2) Tokoh Tokoh keagamaan, masyarakat, organisasi kemasyarakatan dan LSM;
ADVERTISEMENT
(3) Kepala daerah pengusul harus merangkul dan mendapatkan dukungan penuh dari DPRD, Kepolisian, TNI, Kejaksaan. Aparat Gakum daerah bisa melakukan penegakan hukum terhadap siapa pun yang melanggar kepatuhan terhadap program PSBB berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun demikian kunci kepatuhan di masa sekarang adalah dengan menerapkan pendekatan persuasif.
Penegakan hukum di masa epidemik ini sulit diterapkan dengan kendala dan keterbatasan sarana rumah tahanan (rutan) dan keterbatasan pelaksanaan proses pengadilan secara on line. Terkecuali terdapat konsensus nasional bahwa pelanggar aturan PSBB ini disediakan rumah tahanan tersendiri atau persidangan berlangsung ditempat dengan memberlakukan hukuman denda pidana sehingga penegakan hukum bisa memberikan pesan penjeraan kepada publik.
Akhirnya, kunci keberhasilan pimpinan daerah dalam menerapkan PSBB adalah merangkul berbagai stakeholders di atas untuk memberikan dukungan sepenuhnya. Apabila ketiga kelompok stakeholder di atas tidak dilibatkan secara aktif, sulit bagi daerah untuk melaksanakan PSBB dengan efektif.
ADVERTISEMENT
Oleh: Mas Achmad Santosa, Praktisi Hukum Publik