Konten dari Pengguna

Wajah Instrumen Lingkungan Hidup Versi UU Cipta Kerja

Mas Achmad Santosa
Praktisi Hukum Publik
10 Oktober 2020 12:12 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mas Achmad Santosa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi lingkungan hidup. pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi lingkungan hidup. pixabay.com
ADVERTISEMENT
Tata Ruang, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan dan Pelibatan Masyarakat adalah empat instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) dari 16 (enam belas) instrumen yang diatur dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keempat instrumen ini telah dikembangkan dan diterapkan hampir di seluruh dunia sejak Konferensi Stockholm 1972 tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang menyepakati bahwa pengambilan keputusan dalam pembangunan ekonomi perlu mempertimbangkan dengan kuat aspek lingkungan hidup dan keadilan sosial.
ADVERTISEMENT
Sejak Konferensi Stockholm yang diperkuat dengan Konferensi Rio 1992, kesadaran para pemimpin dan masyarakat dunia terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) semakin menguat. Konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development) secara politik dunia (global politics) juga telah diakui oleh ratusan negara dalam konstitusi, legislasi nasional, dan putusan pengadilan di tingkat internasional dan nasional. Tidak terkecuali Indonesia sebagai negara yang dikenal sangat aktif di kancah dunia ikut serta mengembangkan kesepakatan-kesepakatan global seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992.
Puncak legacy yang dibuat Indonesia post Stockholm dan Rio adalah pengakuan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam UUD Negara RI 1945 (pasal 33 ayat 4). Secara lebih konkret, konsep dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan diterjemahkan ke dalam paling tidak 16 (enam belas) instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Keenam belas instrumen PPLH tersebut antara lain inventarisasi lingkungan, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Penataan Ruang, Amdal, Izin Lingkungan, Pengawasan Kepatuhan, Penegak Hukum, dan peran serta/keterlibatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Keempat instrumen tersebut inilah yang diatur dalam UU Cipta Kerja (UU CK), yang telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah dalam Sidang Paripurna DPR-RI tertanggal 5 Oktober 2020, yaitu: Tata Ruang, Amdal, Izin lingkungan dan Pelibatan Masyarakat. Instrumen-instrumen tersebut yang diatur secara komprehensif dalam UU 32 tahun 2009 tidak berdiri sendiri sendiri, tetapi berkaitan erat antara satu instrumen dengan instrumen lainnya (interrelated).
Tata Ruang merupakan instrumen pencegahan terhadap gangguan ekosistem. Pasal 14 A ayat 1 UU CK (hasil perubahan terhadap UU Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007), menyebutkan pelaksanaan penyusunan tata ruang dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Ketentuan pasal tersebut mengakui bahwa KLHS sangat terkait dengan tata ruang. UU tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32 tahun 2009) menegaskan bahwa penyusunan tata ruang wilayah harus didasarkan pada KLHS. Di dalam UU CK, keterkaitan kedua instrumen ini dibuat lebih lunak, kata ‘didasarkan’ diganti dengan ‘memperhatikan’. Pasal 19 ayat 1 UU 32 tahun 2019 (tidak dicabut oleh UU CK) menegaskan bahwa, “untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada KLHS.” UU CK menghindari ketentuan "KLHS wajib dijadikan dasar bagi proses penyusunan rencana tata ruang".
ADVERTISEMENT
Pemilihan kata ‘memperhatikan’ lebih lemah dibandingkan dengan menjadikan KLHS sebagai ‘dasar’. Keterkaitan antara KLHS dengan Penataan Ruang merupakan hal penting karena keterkaitan kedua hal ini merupakan bagian dari integritas keilmuan (integrity of science). Sedangkan pemilihan kata ‘memperhatikan’ dipahami untuk by passing proses dalam mengantisipasi apabila dalam suatu wilayah belum ada KLHS. Di sini terlihat jelas kebutuhan investasi bisa mengorbankan integritas keilmuan. By passing ini banyak ditemukan di berbagai pasal terutama untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis nasional dan kegiatan pemanfaatan ruang laut dan pesisir oleh pemerintah.
Amdal sebagai salah satu instrumen PPLH tetap diakui dalam UU CK (sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Jokowi dalam keterangan pers tertanggal 9 Oktober 2020). Tetapi pertanyaannya adalah Amdal seperti apa yang diperkirakan akan dihasilkan dari UU CK?
ADVERTISEMENT
Mengapa pertanyaan ini harus diajukan. Ada dua alasan. Pertama, proses penyusunan maupun penilaian Amdal yang diatur UU 32 tahun 2009 diubah oleh UU CK. Perubahan meliputi subyek peran serta masyarakat dalam penyusunan Amdal yang membatasi pada masyarakat yang terdampak langsung saja. Dengan demikian, pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terpengaruh atas keputusan Amdal tidak lagi merupakan bagian dari subyek peran serta masyarakat dalam Amdal sebagaimana diatur dalam pasal 26 ayat 3 UU 32 tahun 2009. Kedua, penilaian Amdal yang dilakukan oleh Komisi Penilai Amdal yang terdiri para pemangku kepentingan, termasuk ahli independen, wakil masyarakat terdampak dan organisasi lingkungan hidup dihapus oleh UU CK. Model joint decision making seperti ini sesungguhnya merupakan hal positif dalam negara demokrasi sebagai upaya pencegahan dan resolusi konflik. Dukungan kelompok-kelompok kritis dan independen diperlukan dalam proses penilaian Amdal. Pola ini di samping memberdayakan masyarakat untuk menjadi mitra sejajar dalam pengambilan keputusan, sekaligus sebagai bagian dari membangun konsensus dalam merumuskan solusi bersama yang mengemas pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan secara bersamaan. Sayangnya pola ini tidak diinginkan oleh penggagas UU CK.
ADVERTISEMENT
Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen lingkungan yang berkembang di dunia, peran serta masyarakat yang riil (bukan peran serta yang bersifat proforma) dalam Amdal merupakan sebuah keniscayaan. Pelibatan masyarakat penting sebagai masukan bagi pertimbangan keadilan bagi masyarakat terdampak langsung maupun tidak langsung, dan dukungan masyarakat terhadap kegiatan ekonomi yang telah dinilai kelayakan lingkungan dan sosial-nya.
Hal penting lainnya dalam mencermati Amdal ini, Amdal disusun dengan mendasarkan salah satunya pada Rencana Tata Ruang (RTR). Apabila RTR tidak didasarkan pada KLHS (pengaturan dalam UU 32 tahun 2009 KLHS wajib menjadi dasar tata ruang, sedangkan UU CK hanya perlu diperhatikan saja) maka beralasan kiranya integritas keilmuan dari rencana tata ruang diragukan. Tata ruang seperti ini akan berpengaruh kepada penyusunan Amdal yang baik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, proses pelibatan masyarakat yang minimal dan tidak adanya kewajiban KLHS sebagai dasar penyusunan tata ruang wilayah sebagaimana diinginkan UU CK dapat berpengaruh terhadap kualitas Amdal yang dihasilkan.
Ilustrasi pembangunan di Jakarta. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Keterkaitan Amdal dan Izin Lingkungan

Izin lingkungan adalah salah satu instrumen penting PPLH. Mengapa penting? Paling tidak terdapat 3 alasan: (1) Amdal sebagai hasil studi/kajian tidak memiliki legal effect apabila tidak diintegrasikan atau ditindak lanjuti dengan instrumen hukum administrasi yang disebut dengan izin lingkungan;
(2) Izin lingkungan itulah yang membuat output akhir Amdal dalam bentuk Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dapat diimplementasikan (to be implemented) bahkan ditegakkan (to be enforced);
(3) Izin lingkungan sebagai keputusan tata usaha negara apabila terdapat kekeliruan dapat dibatalkan melalui keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagaimana dinyatakan dalam pasal 38 UU 32 tahun 2009.
ADVERTISEMENT
Izin lingkungan berdasarkan UU CK dihilangkan dan digantikan dengan persetujuan lingkungan yang tentu saja berbeda efek hukumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan sementara bahwa hasil akhir Amdal dalam bentuk persetujuan lingkungan dan RKL serta RPL merupakan dokumen dan persetujuan yang tidak memiliki legal effect (bahasa populer: menggantung). Lain halnya, apabila UU CK mengatur bahwa: (a) output Amdal wajib diintegrasikan ke dalam perizinan berusaha; (b) pengawasan kepatuhan dilakukan oleh Menteri teknis terkait (Menteri teknis memiliki perangkat teknis yang disebut pengawas/inspektur); dan (c) Pejabat pemerintah yang menerbitkan izin usaha wajib melaksanakan dan menindaklanjuti hasil pengawasan kepatuhan yang dilakukan oleh kementerian teknis. Masalahnya, ketiga hal penting ini tidak diatur dalam UU CK.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas terkait dengan wajah baru Tata ruang dan Amdal, pelibatan masyarakat dan penghapusan/peleburan Izin Lingkungan ke dalam perizinan berusaha, kualitas environmental safeguard dalam UU CK sangat berbeda dengan kualitas instrumen PPLH sebagaimana diatur dalam UU 32 tahun 2009. Pakem keilmuan pengelolaan lingkungan yang telah berkembang lama diganti dengan pakem baru, yaitu kemudahan investasi yang tidak mempedulikan implikasi jangka panjang dari hasil pergantian pasal-pasal di atas.
ADVERTISEMENT

Penutup

Mengapa pereduksian hakikat dan fungsi instrumen PPLH dilakukan oleh Indonesia melalui UU CK di tengah dunia sedang berpromosi tentang investasi yang ramah dan bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat? Tidak ada di dunia manapun, instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (environmental safeguard) dipersepsikan sebagai kendala investasi (investment barriers). Saat ini dunia secara riil sedang menghadapi krisis lingkungan yang diakibatkan oleh perubahan iklim, sehingga pemerintah dan pelaku usaha di negara-negara maju dan emerging countries sedang menuju kepada pengembangan investasi yang lebih bertanggung jawab terhadap daya dukung ekosistem untuk mempertahankan kualitas generasi saat ini dan generasi mendatang.
Apabila melihat 9 indikator East of doing Business (EODB), tidak ada satu pun indikator yang terkait dengan hambatan environmental safeguard. Trend dunia membuktikan justru investor dari negara-negara besar yang kini mulai meningkat kesadarannya tentang perlunya green investment tidak tertarik berbisnis dengan kelonggaran environmental safeguards.
ADVERTISEMENT
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, birokrasi yang lamban, dan perilaku korupsi dalam birokrasi membuat persyaratan lingkungan ini sering kali terhambat. Jadi, kuncinya: perbaiki governance-nya, bukan menghilangkan instrumennya. Dalam konteks Indonesia, peningkatan kualitas pelayanan publik, mengikis korupsi dalam politik, korupsi penegakan hukum serta korupsi pelayanan publik lebih prioritas dilakukan oleh Indonesia dalam mendorong investasi yang berbasis konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana dimandatkan oleh pasal 33 ayat 4 UUD 1945.
Dr. Mas Achmad Santosa., SH., LL.M (Pengajar Hukum Lingkungan FHUI)