Raheem Sterling vs Everybody

Aditya wahyudi
Freelance Writer di rumah
Konten dari Pengguna
11 Juli 2021 21:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya wahyudi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: creative commons
zoom-in-whitePerbesar
sumber: creative commons
ADVERTISEMENT
Wembley mungkin jadi stadion impian di mana bocah-bocah Inggris ingin menginjakan kakinya di atas rumput hijau nanti, tanpa terkecuali Raheem Sterling. Sebuah stadion yang tidak cukup jauh dari rumahnya di barat laut London yang akan menjadi tempat laga puncak Euro 2020, stadion itu pun pernah mampir dalam mimpi masa kecil Sterling. Bahkan dia mengabadikan mimpi masa kecilnya di lengan kanannya dengan sebuah tato seorang anak laki-laki yang memegang bola, menatap lengkungan stadion Wembley. Mungkin ada juga yang belum mengetahui tentang sejarah tato senapan di betis kanannya.
ADVERTISEMENT
Kedua tato itu—dan tentang cerita yang diwakili—memberitahu kita tentang banyak hal perjalanan hidup Sterling dari seorang anak ajaib menjadi finalis kejuaraan eropa, sebuah perjalanan yang tidak mudah.
Itu adalah sebuah kisah kehilangan, rasisme, tuduhan, bakat, mimpi besar, dan kekuatan seorang pesepak bola untuk membuat perbedaan di luar dan di dalam lapangan. Dan sebuah fase bagi orang-orang yang meragukan kemampuannya.
Pada tahun 2018 ia mengalami sebuah insiden yang menceritakan banyak hal.
“Raheem menembak kakinya sendiri” teriak Sun di halaman depan surat kabarnya desertai dengan foto tato senapan M16 di kaki Steerling. Itu “gila” koran tersebut menambah.
Tapi ada banyak kisah yang tidak dapat dilihat mata bukan?
Seperti Ayah Sterling yang terbunuh di Kingston, Jamaika, saat ia berusia dua tahun.
ADVERTISEMENT
Dengan World Cup yang akan bergulir beberapa pekan lagi, ia harus menjelaskan dirinya. Menceritakan bahwa tato itu memiliki “makna yang dalam” itu mencerminkan sumpah yang dia buat untuk “tidak akan pernah menyentuh pistol” setelah ayahnya terbunuh.
Itu bukan hal yang pertama kali soal kehidupan pribadinya dibicarakan alih-alih fokus pada karir sepak bolanya.
Bocah dari Brent
Sterling tidak pernah mengenal ayahnya tapi dia juga tidak kurang perhatian dari orang tuanya. Ia pernah berucap kalau ibunya memiliki pengaruh yang besar dalam karir sepak bolanya.
Ibunyalah yang membawanya ke Inggris, sebuah kota di barat laut, saat ia berusia lima tahun. Ibunya mengenyam pendidikan sambil melakukan pekerjaan serabutan.
Sterling menghabiskan waktunya di Vernon House, sebuah sekolah khusus, di mana guru-gurunya membantu siswa yang memerlukan perlakuan khusus.
ADVERTISEMENT
Saat menulis untuk Players’ Tribune, Sterling bilang: “aku tidak suka mendengarkan ucapan orang lain kecuali ibu saya, dan itulah masalahku.”
“Jika kamu terus memilih jalan ini, pada saat berusia 17 tahun, kamu akan bermain untuk Inggris atau kamu akan berada di penjara,” gurunya Chris Beschi mengatakan pada Sterling yang saat itu berusia 10 tahun.
Ucapan gurunya akhirnya menjadi kenyataan. Pada 14 November 2012—24 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-18—Sterling membuat penampilan perdana untuk timnas Inggris.
Pada saat debutnya untuk Inggris, Sterling memiliki reputasi sebagai penyerang yang cepat dan menjanjikan.
Dia telah menjadi pemain temuda ketiga yang mewakili Liverpool di level senior, dan pemain termuda kedua yang mencetak gol untuk mereka di pertandingan kompetitif. Pencapaian ini baru sebuah awal.
ADVERTISEMENT
Dia segera menjadi salah satu pemain terpenting klub pada musim 2013-2014, membentuk trisula serang maut bersama Luis Suarez dan Daniel Sturridge, memunculkan harapan untuk mengakhiri puasa gelar Liga Inggris selama 34 tahun. Tapi kesalahan Steven Gerrard dan cidera membuatnya menjadi anti-klimaks. Penampilannya di Liga Champions pun sudah reguler. Tahun itu berkat penampilannya ia diganjar penghargaan Golden Boy, sebuah penghargaan yang diberikan oleh para jurnalis untuk pemain muda terbaik.
Namun di samping kesuksesan hadir sebuah hal yang menyeramkan, sesuatu yang sudah melekat sepanjang karirnya. Rasisme.
Pertama, pada juli 2015, menjadi sebuah titik balik untuk Sterling.
Bayangkan saat usia masih 20 tahun, ia menjadi pemain Inggris paling mahal dalam sejarah. Hal itu terjadi saat Manchester City mengontraknya seharga 49 juta pounds dengan durasi kontrak lima tahun.
ADVERTISEMENT
Bos City saat itu Manuel Pellegrini menggambarkannya sebagai “salah satu penyerang terbaik di dunia”
Menjadi sebuah momen besar dan penting dalam kariernya. Tapi kepindahan itu juga diiringi dengan gelombang kririk. Dia dituduh sebagai mata duitan. Kontraknya dengan Liverpool bernilai 35.000 pounds seminggu dan dia menolak tawaran perpanjangan kontrak sebesar 100.000 ribu pounds untuk tinggal dan memilih pergi.
Pada sebuah wawancara dengan BBC Sport, dia bilang “bicarah tentang memenangkan tropi” bukan uang.
Tropi terakhir Liverpool adalah Piala Liga. Menjuarai Liga Inggris? Emapat tahun sebelum dia lahir.
Saat sebuah surat kabar menuduhnya “rakus”, kritik tidak hanya datang dari pers. Mantan kapten Liverpool Steven Gerrard pun mengatakan dia “kecewa” dengan Sterling.
Dan kemudian pada Mei 2015, ia diejek oleh beberapa penggemarnya sendiri setelah memenangkan penghargaan Young Player of the Year. Mantan manajer Liverpool Graeme Souness mengatakan bahwa para pendukung “berhak untuk menolaknya”.
ADVERTISEMENT
Dikritik keras karena bersikeras untuk pindah ke Manchester City melalui sikapnya di luar lapangan, ia segera mendapati tindakan rasisme di dalamnya.
Saat Sterling tiba di tempat latihan Manchester City pada 9 Desember 2018, ia mengunggah postingan Instagram ke jutaan pengikutnya. Sebuah postingan yang memiliki konsikuensi luas. Menjadikan moment penting dalam kariernya, hidupnya, dan cara sepak bola menghadapi rasisme.
Malam sebelumnya, menjadi malam yang dingin di Stamford Bridge, dia pergi mengambil bola untuk segera bersiap menerima sepak pojok, Manchester City berusaha mencetak gol ke gawang Chelsea.
Seharusnya ini menjadi momen yang tidak terlalu berbahaya. Tapi kemudian terjadi sebuah insiden. Seorang kulit putih melontarkan caci maki terhadapnya, kejadian itu jelas tergambar sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Sebuah kado untuk ulang tahun Sterling yang ke-24.
Kemudian Manchester City melaporkan pelecehan tersebut sebagai tindakan rasis.
Bocah yang vokal
Pada Maret 2019, Inggris bermain melawan Montenegro di Podgorica pada kualifikasi Euro 2020, mengalahkan mereka 5-1. Pendukung Montenegro meneriakan kata-kata rasis sepanjang pertandingan, dan pada menit ke-81, Sterling mencetak gol kelima dan mendapatkan lebih banyak ejekan rasis dari tribun.
Sebagai balasan ia menangkupkan tangan ke telinga saat merayakan gol sebagai respon langsung terhadap para pelaku. Dan dia meminta otoritas sepak bola untuk mengambil sikap yang tepat.
Tujuh bulan kemudian Inggris menjalani pertandingan kualifikasi lainnya, kali ini kemenangan 6-0 di Sofia atas Bulgaria—dibayangi oleh rasisme yang menyebabkan pertandingan dihentikan dua kali. Pada menit ke-28 Sterling menjadi sasaran teriakan rasis membuat pertandingan dihentikan untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT
Dia mengutuk pelaku “idiot” setelahnya via akun Twitter pribadinya. Sekali lagi Sterling menegaskan posisinya.
Selama beberapa tahun belakangan disadari atau tidak sterling telah menjadi juru bicara melawan rasisme. Ia tidak hanya berbicara untuk dirinya tapi juga orang lain.
“Sepertinya ia telah melewati badai dan memainkan peran sebagai kakak laki-laki’ ungkap seorang jurnalis Musa Okwonga, berbicara mengenai unggahan Intagramnya kepada BBC Radio 5.
Pada tahun 2021, atlet yang berbicara tentang rasisme dan protes tentang ketidakadilan rasial adalah hal biasa. Pada musim panas 2020, olahragawan dan wanita diseluruh dunia bergabung dalam percakapan global menyoal pembunuhan George Floyd oleh seorang petugas polisi kulit putih di Minneapolis.
Namun, dalam konteks kisah Sterling, penting untuk diingat bahwa ketika ia menyuarakan pendapatnya terhadap pers terkait rasisme yang diterima pada Desember 2018, masih jarang seorang pesepakbola melakukannya dengan vokal melawan tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Semua orang di negara ini berhak mendapatkan “kesempatan yang sama”, dia bilang, tanpa memandang etnis.
Di tengah semua pelecehan, fitnah, dan tuduhan negatif, Sterling entah bagaimana bisa mengesampingkannya di atas lapangan.
Pada musim 2017-2018, ia memainkan peran penting dalam perebutan gelar Manchester City saat menjadi tim pertama yang mencatatkan poin 100 dalam satu musim Liga Premier. Itu adalah gelar liga pertama dari tiga gelar yang didaptnya bersama City.
Di bawah bimbingan Pep Guardiola ia berkembang pesat menjadi salah satu penyerang mematikan di Eropa. Ia mencetak masing-masing dua digit gol di empat musim terakhir Liga Premier, dan rekor golnya sepanjang karier telah melampaui 100 di semua kompetisi.
Setelah melalui itu semua muncul perasaan bahwa ia tidak dihargai di tingkat internasional seperti halnya yang didapat dari pendukung klubnya. Sampai sekarang?
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa hal, karier timnas Sterling seperti hidup dalam mikrokosmos—kritik yang berkesinambungn, diragukan dan pelecehan, tetapi membungkam semuanya dengan kemenangan. Sterling telah menjadi andalan timnas sejak debutnya sembilan tahun lalu, tetapi hubungan dengan manajer sebelum-sebelumnya tidak tercermin di lapangan. Karirnya di timnas Inggris dapat dibagi dalam dua fase yang sangat kontras.
Sterling mencetak dua gol dalam 45 penampilan pertamanya hingga Oktober 2018. Sejak itu, ia telah mencetak 15 gol dalam 22 penampilan, dalam kuran waktu itu ia menjadi kapten dua kali.
Mengapa berbeda?
Sterling terlibat dalam 15 dari 37 gol Inggris dalam kualifikasi Euro 2020 dan namun, setelah melewati musim yang mengecewakan bersama klub ketika ia absen dari beberapa pertandingan penting, tempatnya di tim Gareth Southgate untuk Euro 2020 menjadi bahan perdebatan sebelum turnamen.
ADVERTISEMENT
Tetapi jika ada keraguan, dia tidak akan ada diposisinya sekarang.
Sebuah ilustrasi sempurna muncul ketika dia ditanya, setelah mencetak satu-satunya gol kemenangan Inggris melawan Kroasia, apakah ia membenarkan keikutsertaannya. Reaksinya meaikan alis dan sedikit memiringkan kepala, menjelaskan lebih dari apa yang bisa diucapkan kata-kata.
Kurang dari sebulan ia telah berdiri di puncak kebesaran. Gol melawan Republik Ceko dan Jerman menyusul, menampilkan performa yang menonjol, semakin moncer setiap menitnya, saat Inggris mengalahkan Denmark di semi final.
Gerakannya menghasilkan di pinalti untuk Inggris terlepas kontroversi di luar sana yang menyebutkan bahwa ia melakukan diving.
Senin dini hari nanti (12/7) wib. Saat final Italia menanti di final Euro 2020, Sterling memiliki sejarah dalam genggamannya. Dia memiliki peluang yang kuat untuk menjadi pemain terbaik dalam turnamen. Sebuah prestasi yang akan diingat dari generasi ke generasi jika mampu membantu Inggris mengakhiri puasa gelar selama 55 tahun di turnamen besar. Mampukah Sterling?
ADVERTISEMENT
“biar kuat minum Kuku Bima, Roso!” sambil menyaksikan Raheem Sterling berlaga di atas lapangan hijau.
“biar kuat minum Kuku Bima, Roso!”