Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Di Atas Lapangan, Kita Sendirian
14 Oktober 2018 21:13 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Masajeng Rahmiasri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepekan terakhir, kata-kata itu berputar di kepala saya. ‘Di atas lapangan, kita sendirian’.
ADVERTISEMENT
Rasanya, saya pertama mendengar ucapan ini dari pelatih semasa SD. Bisa jadi, dia mengutip perkataan orang terkenal. Bisa jadi, itu memang ucapannya sendiri. Yang jelas, itu yang berusaha diajarkannya kepada semua anak didiknya, termasuk kepada saya.
Maksudnya, kira-kira, begini. Kamu harus bersiap sebaik mungkin. Karena, di atas lapangan, kamu sendirian. Menang-kalahnya kamu, semua tergantung kesiapan dan keberuntunganmu.
Jadi, kamu harus benar-benar siap. Nanti, tidak akan ada orang yang bisa membantumu. Tinggal kamu dan mentalmu yang menentukan siapa juaranya.
Setelah lama melupakan kata-kata ini, saya kembali mengingatnya setelah sekali lagi 'turun ke lapangan'.
--
Minggu, 7 Oktober 2018. Menggunakan satu-satunya hari libur di pekan itu, saya berangkat ke Gelora Bung Karno bersama seorang sepupu.
ADVERTISEMENT
Sejak berhari-hari sebelumnya, saya sudah bertekad nonton pertandingan Asian Para Games. Entah apa motivasinya, tapi saya merasa harus mencoba menonton pertandingan ini.
Padahal, saya tidak se-kekeuh itu saat Asian Games. Orang-orang terdekat pernah mencoba meyakinkan untuk menonton pertandingan Asian Games secara langsung. ‘Kamu tidak tahu kapan lagi bisa nonton ajang olahraga internasional seperti ini’, kata mereka. Tapi, tentu saja itu tidak kejadian. Anggaplah saya berlindung di balik alasan 'kondisi yang tidak memungkinkan'.
Tapi, lain halnya dengan Asian Para Games. Bagaimana pun caranya, saya harus menyaksikan sendiri pertandingan ini. Ada dorongan yang membuat saya ingin melihat sepak terjang para atlet secara langsung, walau pengetahuan saya soal pertandingan ini sebetulnya nol besar.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, akhirnya, saya berangkat ke GBK.
--
Beberapa hari sebelum menonton pertandingan, saya sempat berbincang dengan Mbak Yani, seorang wartawan senior. Kepada beliau, saya bertanya, bagaimana caranya menonton pertandingan tanpa terpaku dengan pandangan ‘saya normal, mereka berbeda’?
Saya tidak tahu dengan kamu. Tapi, saya tidak nyaman dengan pandangan ini. Saya berusaha menghindarinya. Sebab, kalau saya adalah atlet yang sudah bertahun-tahun berjuang keras supaya bisa bertanding di lapangan itu, hal terakhir yang saya inginkan adalah dipandang dengan rasa iba.
Meski begitu, saya khawatir akan tetap melakukannya, sengaja atau tidak.
Beruntung, Mbak Yani menjawab kegundahan ini dengan sangat bijak. Beliau bilang, kalau mau saya memang begitu, “Fokus saja pada pencapaiannya”.
ADVERTISEMENT
Jangan lihat yang lain, lihat saja prestasi para atlet.
Oke. Saya sepakat.
Maka, dengan gamang, saya memasuki lapangan. Berbekal saran Mbak Yani, saya bertekad hanya akan melihat apa yang terjadi di lapangan, lengkap dengan segala dinamikanya. Saya akan berusaha tidak kehilangan fokus dan berpikir ke arah yang lain. Saya berusaha menjadi suporter yang baik.
--
Sudah sangat lama sejak saya terakhir kali menginjakkan kaki di gelanggang olahraga. Dulu, saya pernah datang sebagai atlet. Sekarang, saya suporter yang berusaha memberikan semangat kepada para pejuang di lapangan.
Ternyata, rasanya sangat berbeda. Dari bangku penonton, saya merasa seperti sedang disajikan miniatur dunia.
Setidaknya, ada tiga kategori orang dalam ruangan itu. Ada para penonton, termasuk saya, yang berusaha memberikan semangat kepada mereka yang sedang bertanding. Ada orang-orang yang bertugas menentukan apakah perjuangan para atlet membuahkan hasil atau tidak.
ADVERTISEMENT
Dan di atas lapangan, ada mereka yang sedang mempertaruhkan segalanya.
Ini membuat saya teringat dengan kata-kata: ‘Each to his/her own battle’. Tantangan dan kesulitan yang berbeda bagi setiap orang.
Kalau beruntung, akan ada orang-orang yang mendukung saat kita berjuang mati-matian. Kalau kurang beruntung, kita harus mengandalkan diri sendiri dan tetap bersemangat hingga akhir.
Memang, hidup bukan pertandingan olahraga yang harus berakhir dengan kemenangan atau kekalahan. Tapi, bukankah kita sering dipaksa mempertaruhkan segalanya dan hanya bisa berpegang kepada diri sendiri hingga saat terakhir?
Saat sedang melamun seperti itu, saya menyadari angin pertandingan yang mulai berubah. Ada seorang atltet andal yang mulai menyerah kalah.
--
Sejujurnya, saya tidak suka menyaksikan momen seperti ini. Sebelum hasil akhir diumumkan, saya sempat berharap dia tidak menyerah.
ADVERTISEMENT
Tapi, langkahnya mulai gontai, satu per satu tantangan yang seharusnya bisa dilewatinya, diabaikannya. Saya tidak bisa melihat langsung sorot matanya, tapi, dari gerakannya, saya tahu, dia sudah menyerah.
Saya berharap dia tidak melakukannya. Saya membatin, tidak ada atlet yang bertanding untuk kalah. Terlalu banyak peluh yang sudah diteteskannya untuk hanya datang dan kalah. Terlalu jauh langkahnya, kalau dia cuma datang ke tempat ini dengan terpaksa.
Apalagi, dia sebenarnya sangat mahir.
Tapi, tidak ada perubahan. Lama kelamaan, ia semakin abai di lapangan. Stadion itu terasa semakin sunyi karena penonton seolah menahan napas, dipenuhi dengan rasa cemas.
Di saat seperti itu, ada perkataan yang membuyarkan lamunan saya. Dari arah belakang, saya mendengar seseorang mengatakan, ‘Hei, sudah, kasihan’.
ADVERTISEMENT
Saya terdiam. Saya ingin menoleh ke arah pemilik suara itu dan menepis perkataannya, tapi saya menahan diri. Bukan, bukan karena saya setuju. Saya cuma jadi teringat sesuatu.
--
Kilas balik sedikit, saya pernah gagal menyelesaikan pertandingan olahraga yang saya ikuti dengan sok tahu. Faktanya, saya orang terakhir yang menyentuh garis finis di pertandingan itu.
Maunya, menyerah saja. Tapi, semua orang berkonsipirasi. Entah dari mana, muncul panitia yang meneriakkan, ‘kamu pasti bisa, kamu pasti bisa’. Pemegang garis finis sengaja menunggu agar saya tiba di tujuan, meski semua atlet lain sudah selesai bertanding. Menyebalkan, sebetulnya. Meski sudah kepayahan, saya dilarang menyerah. Akhirnya, dengan langkah ekstra payah dan kebanggaan yang sudah melayang jauh, saya menyelesaikan lomba itu.
ADVERTISEMENT
Tapi, itu jadi pertandingan terakhir saya. Tidak ada keinginan maupun keyakinan untuk ikut lomba olahraga lagi setelahnya.
Ingatan ini membuat saya bertanya dalam hati. Kira-kira, apakah atlet itu juga sebenarnya ingin menyerah saja? Iya ataupun tidak, apa yang menyebabkan dia berpikir seperti itu?
Separuh melamun, saya kembali melihat apa yang terjadi di lapangan. Saya menjadi sadar, ada sudut pandang lain yang bisa diambil dalam kejadian ini. Bisa jadi, saya kesal melihat apa yang terjadi di lapangan. Tapi, siapa yang tahu apa yang ada dalam batinnya?
Lagipula, kata menyerah sepertinya tidak tepat digunakan, Toh, pertandingan itu dilakoninya sampai akhir.
Maka, seusai pertandingan, kami tetap memberikan tepuk tangan meriah. Kami mengantar kepergiannya dengan tepuk tangan dan sorakan apresiasi. Bagi saya, saat itu, artinya sama dengan, "Kamu sudah melakukan yang terbaik.”
ADVERTISEMENT
--
Ini menyadarkan saya. Hal seperti ini terjadi setiap hari. Prinsipnya, semua orang memang berdiri sendirian di lapangan. Tidak ada yang bisa kita mintai pertolongan dan kitalah yang menentukan akan menang atau kalah (soal kalah pengalaman atau tidak, itu masalah lain).
Tapi, kalau pun di suatu titik kamu menyerah, bisa jadi, bukan tempat bagi saya untuk menghakimi kamu. Ini sepertinya bukan pola pikir yang tepat kalau kamu ingin jadi pemenang. Kamu tidak akan berkembang kalau terus memberikan ruang bagi kelemahan. Tapi, saya menulis bukan untuk para atlet yang harus menang di pertandingan.
Kalau kamu dan saya adalah atlet dan suporter yang ada di pertandingan. Saya mungkin geram kalau tahu kamu menyerah, padahal kamu bisa. Namun, itu tidak berarti saya boleh menghakimi kamu. Kamu lebih tahu apa yang kamu hadapi.
ADVERTISEMENT
Prinsipnya, sesederhana itu, kan?
Jadi, kepada semua yang merasa sudah berjuang dengan keras, saya cuma mau bilang. Kamu sudah melakukan yang terbaik.