Local Strongmen dan Local Politics

Moh Rofiie
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta (PSIP UMJ)
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2023 10:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Rofiie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Local strongmen (orang kuat lokal) adalah orang yang memiliki pengaruh penting di aras lokal. Hal tersebut karena ia memiliki kelebihan daripada masyarakat pada umumnya, baik dalam pengaruh, fisik, maupun finansial. Karena kelebihan yang dimilikinya tersebut, local strongmen kemudian muncul ke permukaan sebagai aktor penting dalam perpolitikan.
ADVERTISEMENT
Zamroni dan Kosim (2007) berpandangan bahwa para orang kuat lokal muncul ke permukaan dan berperan aktif dalam kontestasi kekuasaan politik, baik elite formal maupun non formal dan elite struktural maupun kultural.
Pada era Orde Baru ruang gerak local strongmen terbatas, dan mereka bangkit kembali setelah lahirnya sistem desentralisasi. Dalam aktivitas politik di tingkat lokal, Pilkada misalnya, mereka tampil sebagai aktor yang mampu mempengaruhi dan mengarahkan masyarakat sebagaimana keinginannya untuk tujuan tertentu. Mereka terdiri dari berbagai latar belakang, seperti elite agama, elite ekonomi, dan elite-elite sipil lainnya (M. I. Zamroni, 2008).

Jenis-jenis Local Strongmen

Ilustrasi kunci jadi pemimpin. Foto: Shutterstock
Di daerah-daerah mereka dikenal dengan istilah yang beragam, serta dapat terdiri dari individu atau kelompok yang terorganisir. Di pulau Jawa dan Madura elite atau orang kuat lokal dengan latar belakang agama dikenal dengan istilah kiai, ajengan, lora, gus, dan bindereh. Mereka merupakan pemuka agama dan kebanyakan memiliki lembaga pendidikan Islam, yaitu pondok pesantren atau madrasah (Chalik, 2017; Patoni, 2019).
ADVERTISEMENT
Adapun elite ekonomi, merupakan orang kuat lokal dengan kelebihan penguasaan kapital. Mereka dikenal dengan beberapa istilah seperti cukong (As’ad, 2020), tauke, juragan, sentana atau ario, majikan (Zamroni, 2012), pangamba’ (Rivaldi, 2020), keda (Solissa, 2019), tuan tanah (Maftuchin, 2016) dan sebagainya.
Begitu juga orang kuat yang muncul dari pergerakan rakyat sipil, yang memiliki ketangkasan fisik melebihi orang-orang pada umumnya. Mereka dikenal dengan istilah preman (Sidel, 2005), jagoan di Betawi (Novytasari, 2019), bandit, bromocoroh di Jember–Jawa Timur, weri, dan dalam bahasa Hobsbawm–seorang sejarawan sosial berkebangsaan Inggris–disebut social bandits (Ham, 2018), jawara di Banten (Hudaeri, 2003; Saepudin, 2018), bejingan (Bahar, 2021), belater di Madura (Rozaki, 2012; Kosim, 2007; Zamroni, 2007; Ham, 2018), dan sebagainya.
ADVERTISEMENT