Pilkada dan Pandemi: Antara Indonesia dan Amerika

Moh Rofiie
Peneliti pada Pusat Studi Islam dan Pancasila Universitas Muhammadiyah Jakarta (PSIP UMJ)
Konten dari Pengguna
5 November 2020 6:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moh Rofiie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia tercatat memiliki kasus tertinggi negara terdampak virus corona (corona virus disease 2019/Covid-19) di Asia Tenggara, dan merupakan tertinggi ke-18 peringkat dunia dengan mencapai 410.088 total kasus per 31 Oktober 2020 (covid19.go.id). Angka yang tinggi dan terus meningkatnya penyebaran covid-19 merupakan nilai minus sikap pemerintah dan peran masyarakat dalam upaya memutus mata rantai penyebaran covid-19. Respon pemerintah yang telat, kebijakan pemerintah yang tidak tepat, serta tidak sinkronnya kebijakan pemerintah daerah dan pusat merupakan sebab-sebab covid-19 dapat menyebar dengan cepat. Karena hal itu, apapun kebijakan pemerintah, khususnya terkait pandemi covid-19 dan kegiatan-kegiatan yang akan dilangsungkan selama musim krisis ini akan selalu disorot oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemerintah yang disorot dan menimbulkan kontroversi di antaranya adalah terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang diputuskan oleh Komisi II DPR RI bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu digelar pada 9 Desember 2020, walaupun disertai syarat penerapan protokol kesehatan yang ketat selama pelaksanaannya. Berbagai elemen masyarakat, termasuk ormas, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama telah mengeluarkan pernyataan kepada pemerintah agar Pilkada 2020 ditunda dengan pertimbangan keselamatan masyarakat perlu diutamakan, mengingat kondisi penyebaran Covid-19 di Indonesia sedang dalam keadaan darurat.
Pemerintah merespon desakan masyarakat untuk menunda Pilkada dengan menjelaskan pertimbangan-pertimbangan, di antaranya: Pelaksanaan Pilkada untuk menjamin hak konstitusional rakyat; agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan di daerah, mengingat jika sekalipun mengangkat pelaksana harian (Plh) atau pelaksanan Tugas (Plt) kewenangannya terbatas; tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi Covid-19 berakhir. Dalam hal ini, pemerintah mengacu kepada negara – yang terdampak Covid-19 lebih parah daripada Indonesia – yang tetap melaksanakan pesta demokrasi, yakni Amerika. Sehingga menurut pemerintah Pilkada tidak perlu ditunda.
ADVERTISEMENT
Total kasus Covid-19 di Amerika, per 31 Oktober 2020, mencapai angka 9.123.035, yang merupakan tertinggi di dunia (nytimes.com). Namun, Amerika tetap akan melangsungkan pesta demokrasi pada 3 Novermber 2020 kendati penyebaran Covid-19 belum melandai. Kondisi Amerika yang berstatus negara terdampak Covid-19 tertinggi, namun tetap akan melaksanakan Pemilu menjadi kiblat negara-negara berkembang, khususnya Indonesia untuk melaksanakan Pilkada 2020 secara serentak di 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.
Sebagai langkah antisipatif pemerintah Indonesia mengklaim telah mengatur strategi pelaksanaan Pilkada selama pandemi melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan Pilkada dalam kondisi bencana non-alam Covid-19. Dalam peraturan itu berisi penegasan terhadap pemilih dan para kandidat untuk mematuhi protokol kesehatan selama Pilkada, mulai dari pengecekan suhu tubuh, menggunakan masker, menjaga jarak (tidak berkerumun), menggunakan hand sanitizer, hingga pemberian sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Para kandidat kepala daerah juga diharuskan menandatangani pakta integritas kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
ADVERTISEMENT
Langkah pemerintah Amerika berbeda dengan Indonesia dalam upaya menangani potensi penularan Covid-19. Amerika tidak hanya menekankan pentingnya mematuhi protokol kesehatan selama masa pemilihan, tetapi juga telah mengatur sistem untuk menghindari terjadinya kerumunan. Lembaga penyelenggara pemilihan di Amerika (United States Electoral College) mengatur sistem pemilihan secara langsung dan melalui pos (voting by mail). Pemilihan secara langsung dilaksanakan pada 3 November 2020, sementara bagi pemilih melalui pos dikirimkan surat suara mulai pertengahan September 2020. Pemilih dapat menentukan pemilihan sejak dikirim surat suara hingga batas terakhir 3 November 2020. Surat suara dapat diserahkan secara langsung atau dikirim melalui pos.
Indonesia, Amerika, dan Corona
Pada awal terdeteksinya kemunculan virus Corona (Covid-19) di Wuhan, Cina pada Desember 2019 telah memunculkan berbagai respon di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Ada negara yang langsung ambil langkah antisipatif, ada pula yang menganggapnya hoaks, dan bahkan ada yang percaya kemunculannya namun tidak atau telat dalam mengantisipasi penularan Covid-19 ini. Pemerintah Indonesia dan Amerika termasuk negara-negara yang telat dalam menyikapi munculnya Covid-19 dan menganggapnya remeh. Telatnya respon Indonesia dalam menanggulangi bencana Covid-19 telah menuai kritik tidak hanya dari berbagai elemen masyarakat Indonesia tapi juga dari elemen masyarakat luar.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia mengkrtitik pemerintah yang terkesan meremehkan keberadaan wabah Covid-19. Pada awalnya pejabat-pejabat pemerintah Indonesia berargumen bahwa rakyat Indonesia kebal virus Corona lantaran mempunyai kekuatan doa tertentu. Bahkan pihak yang menyebarkan informasi terkait Covid-19 awalnya dianggap sebagai penyebar berita hoaks. Namun, pada akhirnya pemerintah menyatakan sikap darurat Corona, bahkan mengakui tidak terbuka tentang wabah Covid-19 dengan alasan tidak ingin menimbulkan kecemasan dan kepanikan di tengah masyarakat. Pemerintah Indonesia pertama kali mengumumkan telah terdeteksi dua kasus pasien positif Covid-19 pada 2 Maret 2020, padahal menurut pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono menyatakan virus Corona telah masuk Indonesia sejak Januari 2020.
Indonesia juga mendapat kritik dari media luar, misalnya The New York Times, The Guardian, SBS News, dan The Sydney Morning Herald (SMH). Kritik terhadap pemerintah Indonesia terkait telatnya Indonesia tanggap corona. Indonesia baru berhasil mendeteksi pasien Covid-19 pada awal Maret 2020, sementara negara-negara Asia lainnya, tetangga Indonesia, seperti Malaysia dan Singapura sudah melaporkan kasus pertama sejak akhir Januari 2020. Indonesia dinilai gagal menjalankan upaya mengendalikan Covid-19.
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap pemerintah Indonesia tidak hanya karena lambannya respon terhadap Covid-19, tapi juga terjadinya inkonsistensi kebijakan pemerintah. Pada awalnya masyarakat mengapresiasi langkah pemerintah dalam upaya melawan Covid-19, bahkan masyarakat sudah terlihat solid untuk bersama-sama melawan penyebaran Covid-19, misalnya dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 yang dikeluarkan pada 31 Maret 2020. Namun ketika pemerintah mengambil kebijakan untuk memulai kenormalan baru (new normal) pada 1 Juni 2020, solidaritas masyarakat menjadi buyar sehingga penularan Covid-19 menjadi meningkat.
Seperti halnya di Indonesia, pemerintah Amerika lamban dalam menyikapi wabah Covid-19. Sejak awal merebaknya Covid-19, Donald Trump menganggap remeh virus ini. Bahkan pada 28 Februari 2020, Trump menyatakan bahwa Covid-19 akan hilang seperti Mukjizat, dengan spekulasi bahwa cuaca panas akan mampu mambunuh virus ini. Namun pada akhirnya Trump sadar spekulasinya salah, sehingga pada 16 Maret 2020 baru menunjukkan upaya serius untuk menghadapi pandemi Covid-19. Trump kemudian menjalin hubungan bilateral dengan Cina dan bahkan membicarakannya secara langsung melalui telepon dengan Presiden Cina, Xi Jinping untuk menangani Covid-19.
ADVERTISEMENT
Sikap Trump terhadap Covid-19 memunculkan berbagai tanggapan. Sekelompok ahli epidemiologi Imperial College London telah memaparkan studi tentang proyeksi penyebaran Covid-19 di Amerika. Para ahli itu memprediksi Covid-19 dapat dengan cepat membunuh hingga 2,2 juta orang jika pemerintah Amerika tidak segera mengambil langkah serius untuk melawan Covid-19. Namun, Trump menyebut studi para ahli itu sebagai hoaks baru. Pemerintah negara bagian juga merespon sikap Trump dengan mengatakan bahwa Amerika tidak memiliki prosedur resmi dalam menghadapi Covid-19 yang bisa diterapkan hingga ke berbagai negara bagian.
Pilkada Indonesia dan Pemilu Amerika
Di tengah semakin meningkatnya penularan Covid-19, Indonesia tetap pada keputusannya untuk melaksanakan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Pilkada di tengah pandemi ini disambut berbagai kritik karena memunculkan kebingangan di kalangan masyarakat. Di satu sisi pemerintah melarang kegiatan yang mengandung kerumunan, namun di sisi lain tetap akan melaksanakan Pilkada yang sulit untuk terhindar dari kerumunan orang. Masyarakat dan kalangan ormas justru mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dan fokus untuk menangani Covid-19. Namun pemerintah menegaskan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 akan tetap digelar.
ADVERTISEMENT
Sikap pemerintah Indonesia yang bersikeras untuk melaksanakan Pilkada serentak 2020 menimbulkan spekulasi masyarakat terkait kepentingan dinasti politik elite pemerintah, mengingat banyak kandidat kepala daerah yang berstatus sebagai kerabat dekat pejabat pemerintah pusat maupun daerah, misalnya Gibran Rakabuming Raka, calon wali kota Solo, yang merupakan putra Presiden Jokowi; Bobby Nasution, calon wali kota Medan, menantu Jokowi; Siti Nur Azizah, calon wali kota Tangerang Selatan, putri Wakil Presiden Ma’ruf Amin; Rahayu Saraswati, calon wakil wali kota Tangerang Selatan, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto; Pilar Saga Ichsan, calon wakil wali kota Tangerang Selatan, putra Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah.
Momentum Pilkada 2020 di Indonesia menjadi sorotan publik bukan hanya pelaksanaannya di masa pandemi Covid-19, namun penilaian masyarakat bahwa ada kepentingan elite pemerintah seperti gayung bersambut jika didasarkan pada temuan Nagara Institute, di mana terdapat 124 kandidat kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yakni terdiri dari 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota, serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Nagara Institute juga mengklasifikasikan calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik berdasarkan gender, yakni terdapat 67 kandidat laki-laki dan 57 kandidat perempuan. Dari 57 kandidat perempuan tersebut sebanyak 29 orang merupakan istri dari kepala daerah sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pilkada di Indonesia yang akan tetap digelar meski di tengah pandemi sering dikaitkan dengan negara-negara lain yang tetap melaksanakan Pemilu, khususnya Amerika karena merupakan negara terdampak Covid-19 tertinggi di dunia. Namun Pemilu di Amerika berbeda dengan Indonesia. Walaupun Pemilu di Amerika dijadwalkan pada 3 November 2020, tapi rakyat Amerika dapat memberikan suara sebelum tanggal yang ditentukan, baik secara langsung atau melalui pos. Pemungutan suara yang dapat dilakukan lebih awal diberlakukan untuk seluruh 50 negara bagian. Dengan sistem yang diterapkan tersebut, partisipasi pemilih dalam Pemilu Amerika 2020 mengalami peningkatan yang drastis. Per 30 Oktober 2020 telah tercatat sekitar 85 juta jiwa yang telah memberikan suara lebih awal pada Pemilu 2020 di Amerika, baik secara langsung atau melalui pos. Jumlah pemilih awal sudah mencapai 62% dari total jumlah pemilih pada Pemilu 2016, dengan jumlah pemilih awal sekitar 47 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Analisis dan Kesimpulan
Pilkada di Indonesia dan Pemilu di Amerika memang sama-sama dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19, namun terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak bisa dijadikan acuan pemerintah Indonesia dalam Pemilu di Amerika. Walaupun berstatus negara paling tinggi terdampak pandemi, namun Amerika lebih siap dalam menyelenggarakan Pemilu di masa pandemi. Amerika telah mengatur sistem dalam Pemilu untuk mengantisispasi dan tetap bisa mengendalikan penyebaran Covid-19. Antisipasi yang dilakukan Amerika adalah dengan memberikan opsi-opsi kepada pemilih. Warga Amerika di seluruh negara bagian dapat memilih dengan dua cara, yaitu secara langsung atau melalui pos. Warga yang akan memilih langsung akan hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 3 November 2020, sementara pemilih tidak langsung (voting by mail) dikirimkan surat suara ke kediaman masing-masing, kemudian setelah memilih surat suara dikirim melalui pos maksimal pada 3 November 2020. Warga juga diperbolehkan untuk memilih Presiden Amerika sebelum hari pemilihan yang telah ditentukan (3 November 2020), karena itu banyak kalangan, khususnya pemuda, di berbagai negara bagian yang telah memilih sejak Oktober 2020. Dengan sistem ini telah meningkatkan jumlah partisipasi pemilih awal dibandingkan pada Pemilu 2016. Jadi, warga Amerika tidak khawatir dengan potensi peningkatan kasus Covid-19.
ADVERTISEMENT
Adapun di Indonesia, tidak ada sistem baru untuk mengantisipasi gejolak peningkatan kasus Covid-19 yang diterapkan oleh pemerintah, selain hanya mematuhi protokol kesehatan. Padahal, hingga saat ini, khususnya di pedesaan banyak sekali masyarakat yang belum percaya adanya Covid-19 – misalnya di Bogor, yang menurut survei Dinas Kesehatan Bogor hanya 15 persen masyarakat yang percaya adanya Covid-19 – sehingga protokol kesehatan akan sangat mudah dilanggar. Buktinya, pada saat proses pendaftaran, didapati 316 bakal pasangan calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan. Jika bakal calon kepala daerah saja banyak yang berani melanggar apalagi rakyat. Jumlah pasangan bakal calon yang tercatat sebanyak 678, sementara yang melanggar sebanyak 316 bakal calon, itu menunjukkan hampir 50 persen sudah melanggar. Tidak hanya itu, pelanggaran itu terjadi di 243 daerah, sementara Pilkada dilaksanakan di 270 wilayah seluruh Indonesia, itu berarti pelanggaran terjadi di 90 persen daerah penyelenggara Pilkada serentak. Dapat dibayangkan jika dari 100.359.152 pemilih tetap sebanyak 50 persen pemilih melanggar atau sebanyak 90 persen daerah terjadi pelanggaran protokol kesehatan seperti proses pendaftaran bakal calon, itu berarti menimbulkan potensi yang sangat besar peningkatan kasus Covid-19, dan tentu mengancam keselamatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia juga mengaharuskan pasangan calon menandatangani pakta integritas kepatuhan terhadap protokol kesehatan, namun justru itu bisa menambah timbulnya dinamika buruk di kalangan pasangan calon. Bukan tidak mungkin jika antar pasangan calon justru akan saling berupaya menjatuhkan dengan adanya pakta integritas dan ketentuan pemberian sanksi kepada calon yang melanggar protokol kesehatan.
Ketetapan pemerintah terkait penyelenggaraan Pilkada 2020 merupakan bentuk inkonsistensi pemerintah dalam mengambil kebijakan, di saat rakyat diatur untuk tidak melakukan kegiatan berkerumun justru pemerintah menyelenggarakan Pilkada yang tentu tidak luput dari kerumunan. Bahkan pemerintah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, yakni Pasal 59 Undang-Undang Karantina Kesehatan. Dalam pasal itu dijabarkan tentang PSBB. Tujuan PSBB untuk mencegah Covid-19 menyebar secara luas.
ADVERTISEMENT
Berbagai elemen masyarakat dan kalangan ormas seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah dengan tegas mendesak pemerintah untuk menunda pelaksanaan Pilkada 2020 dengan alasan mengutamakan keselamatan masyarakat, namun pemerintah tidak peduli dengan desakan tersebut. Melihat dua ormas yang memiliki pengaruh besar di Indonesia – ditambah dengan banyaknya elemen masyarakat yang menginginkan ditundanya pelaksanaan Pilkada 2020 – diabaikan oleh pemerintah, lantas bagaimana jika rakyat banyak yang enggan hadir ke TPS untuk memilih sehingga pastisipasi masyarakat di bawah 50 persen dalam Pilkada? Tentu Pilkada tidak legitimate. Apalagi tidak terlihat langkah terbaik pemerintah untuk menjamin masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu 2020 ini.
Atas sikap pemerintah yang ngotot untuk melaksanakan Pilkada 2020 menjadi hal wajar jika masyarakat mencurigai pemerintah dan mengaitkannya dengan politik dinasti. Banyaknya kerabat pemerintah pusat yang maju pada Pilkada 2020 berpotensi menang karena mendapat dukungan mayoritas partai, misalnya Gibran Rakabuming yang didukung 8 partai; Bobby Afif Nasution didukung 8 partai; Rahayu Saraswati Djojohadikusumo didukung 5 partai. Bahkan terdapat calon yang melawan kotak kosong, misalnya Hanindhito Himawan Pramono, calon Bupati Kediri, yang merupakan putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung; Ony Anwar Harsono, calon Bupati Ngawi, yang merupakan anak mantan Bupati Ngawi periode 1999-2010. Dalam hal ini rakyat sudah sepatutnya mengkritisi dan mencurigai setiap kebijakan pemerintah karena cenderung mengarah kepada terciptanya oligarki politik, kekuasaan ada pada segilintir orang. Hal ini tidak dapat dibiarkan. Mengutip pernyataan Leslei Lipson, bahwa ketika terjadi oligarki politik, dan kekuasaan ada pada segelintir orang saja maka hak-hak rakyat yang dapat terjamin hanya segelintir juga.
ADVERTISEMENT
Pilkada di Indonesia dan Pemilu di Amerika tentu berbeda. Warga Indonesia bersikap skeptis terhadap pemerintah karena dianggap memiliki tujuan tertentu dalam pelaksanaan Pilkada 2020. Sementara warga Amerika menjadikan Pemilu 2020 sebagai momentum perlawanan rakyat atas sikap remeh dan kegagalan Donald Trump dalam menangani pandemi Covid-19. Dengan dilaksanakannya Pemilu 2020 warga Amerika berharap menjadi masa transisi menuju kondisi yang lebih baik di negaranya.
*) Moh Rofiie (Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia)