Konten dari Pengguna

Amazing PKS

18 April 2019 17:45 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mas Ton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Masz Ton
ADA yang menarik dari hitung cepat Pilpres dan Pileg 2019 beberapa lembaga survei yang disiarkan televisi. Yakni masuknya PKS dalam the big five atau lima besar parpol dengan perolehan suara terbesar. Menurut hitung cepat Litbang Kompas saat suara masuk sudah mencapai 88,10 persen pukul 14.30 (Kamis 18/4/2019), PKS memperoleh 8,54 persen suara, di bawah PDIP 20,19 persen, Gerindra 12,81 persen, Golkar 11,76 persen, dan PKB 9,34 persen.
ADVERTISEMENT
Banyak yang menduga, dan ada juga yang berharap suara PKS ambrol di Pemilu 2019 ini. Namun dugaan itu meleset. Harapannya ke laut. Persentase suara PKS justru naik dibanding Pemilu 2014, yang hanya memperoleh 6,79 persen.
Capaian ini sungguh menakjubkan. Amazing. Betapa tidak, sepanjang 2014-2019 boleh dibilang partai berlogo bulan sabit kembar mengapit padi ini seperti tak habis dirundung badai. Badai datang dari luar dan dalam partai.
Dari luar, badai yang rajin menghantam adalah selalu dikait-kaitkannya PKS dengan HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Yang ingin mendirikan khilafah. Anti Tahlil, anti Maulid, anti ziarah kubur, dan anti-anti yang lainnya. Tujuannya jelas ingin membenturkan PKS dengan NU, organisasi massa Islam yang selalu mengamalkan tahlil, maulid, juga ziarah kubur.
ADVERTISEMENT
Padahal PKS sangat berbeda dengan HTI. HTI mengharamkan politik. Mengharamkan demokrasi. Sebaliknya PKS justru terlibat aktif dalam politik. Ikut dalam kontestasi demokrasi lima tahunan yang diharamkan HTI. Ikut dalam kontestasi Pilkada di seluruh Indonesia.
Meski HTI sudah dibubarkan pemerintah, oleh kalangan yang tidak senang atau para pembencinya (haters) PKS masih terus saja dikait-kaitkan dengan aktivitas HTI. Setelah dibubarkan, HTI disebut-sebut bersembunyi di balik PKS.
Mereka yang menyamakan PKS dengan HTI mungkin hanya melihat tampilan fisik dari luar, termasuk melihat cara-cara HTI mengekspresikan sikapnya melalui kegiatan unjuk rasa atau demonstrasi yang masif dan teratur. Kader HTI memang sepintas tampilan fisiknya mirip dengan kader PKS. Berjenggot, senang berbaju takwa (baju koko) yang laki-laki, berjilbab panjang yang perempuan (jilbab syar’i), rajin ke masjid, ke mana-mana menenteng kitab suci Al Quran, serta tampilan fisik lainnya.
ADVERTISEMENT
Jika melihat tampilan fisik kader PKS dan HTI memang sulit dibedakan. Tapi begitu masuk urusan pandangan politik jelas sekali bedanya. Yang satu menghalalkan pohon dan buahnya. Yang satu mengharamkan pohon tapi menghalalkan buahnya. Politik itu pohon, dan kebijakan adalah buahnya.
Dari dalam, badai yang menghantam PKS tak kalah hebatnya. Sejumlah kader senior PKS yang dimotori mantan Presiden PKS Anis Matta hengkang dari rantai komando Markaz Dakwah Simatupang, kantor pusat PKS. Sebagian kecil kader dan pengurus daerah hampir di seluruh Indonesia ada yang ikut serta dalam barisan baru yang dibentuk Anis, Garbi -- yang benderanya muncul saat kampanye Prabowo-Sandiaga maupun saat kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin di Gelora Bung Karno (GBK) 7 dan 13 April 2019.
ADVERTISEMENT
Badai Garbi ini jauh lebih dahsyat ketimbang badai serupa tapi tak sama tahun 2007, saat sejumlah kader senior PKS dari kalangan ustad mendeklarasikan Forum Kader Peduli (FKP). FKP muncul sebagai protes atas sikap fragmatisme PKS dalam politik, terutama di Pilkada DKI Jakarta 2007. Pengaruh FKP boleh dibilang lumayan besar, banyak kader yang antifragmatisme bergabung dalam gerakan ini.
Namun Garbi pengaruhnya lebih besar dari itu. Narasi Anis nampaknya memesona banyak kader PKS, sehingga di antara mereka, baik senior maupun junior kepincut dan masuk dalam barisannya. Ketidakpuasan sebagian kader atas pemecatan Fahri Hamzah dari PKS ikut memicu mereka bergabung dalam barisan, yang sering diplesetkan sebagai gerakan Anismisme ini.
Badai Garbi sempat membuat PKS agak kerepotan. Betapa tidak, sejumlah kader yang bergabung dengan Garbi tercatat sebagai calon anggota legislatif untuk Pemilu 2019, baik di pusat maupun daerah. Mereka menyatakan mundur jelang waktu pendaftaran. Ini tentu merepotkan karena PKS harus mencari ganti sementara waktu pendaftaran sudah mepet. Sebagian bisa diatasi, tapi ada juga yang tidak. Itu sebabnya di sebagian daerah pemilihan (Dapil), PKS tidak ikut Pemilu karena tidak ada calegnya.
ADVERTISEMENT
Gerakan Garbi, yang konon manargetkan menarik 40 persen kader PKS itu ternyata tidak berhasil mengerdilkan partai ini sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya PKS justru bangkit dan menanjak. Jumlah kader PKS mungkin berkurang karena kehadiran Garbi. Tetapi jumlahnya tidak sebesar yang ditarget para Anismisme.
Selain itu simpati masyarakat kepada PKS justru makin meningkat. Karena hadirnya Garbi dianggap sebagai proses seleksi alami untuk membersihkan PKS dari anasir-anasir fragmatisme, yang selama ini dikenal publik sebagai Faksi Kesejahteraan. Faksi inilah yang membuat PKS acap mendapat stigma negatif dari publik. Kini Faksi itu sudah menjelma menjadi organisasi baru di luar PKS.
Beban PKS atas stigma itu agak berkurang. Dan simpati publik pun mulai mengalir. Bahkan FKP yang menyatakan keluar barisan karena menganggap kekentalan fragmatisme di tubuh PKS saat itu sudah melampui ambang batas, sebagian mulai kembali pulang.
ADVERTISEMENT
Ini boleh jadi salah satu faktor yang menyebabkan naiknya dukungan publik kepada PKS. Faktor lain tentu banyak. Bisa karena faktor dukungan di Pilpres. Bisa karena konsistensi PKS yang terus bekerja di daerah-daerah bencana. Bisa juga karena jualan PKS yang cukup mengena di Pemilu 2019 ini, yaitu bebas Pajak Kendaraan Bermotor dan SIM seumur hidup jika PKS menang Pemilu.
Namun apa pun faktor penyebab kenaikan suara PKS di Pemilu 2019, yang jelas PKS tercatat sebagai partai yang tak lepas dirundung badai, tetapi selalu berhasil melewati badai itu. Bahkan bisa lepas dari badai yang ditimbulkan oleh pihak yang dulu disebut-sebut sebagai nakhoda yang berhasil membawa kapal PKS melewati badai.
PKS emang Amazing.
ADVERTISEMENT
Penulis, Pemerhati Media dan Komunikasi Politik