Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Bully Politik di Sekitar Jakarta 1
5 Januari 2020 16:53 WIB
Tulisan dari Mas Ton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Masz Ton
Jembatan Hutan Kota Kemayoran di Kawasan Pademangan, Jakarta Utara ambruk. Media heboh. Publik heboh. Maklum peristiwa robohnya jembatan seharga Rp 5 miliar itu hanya selang sehari setelah diresmikan penggunaannya oleh Kementerian Sekretaris Negara RI. Sabtu (21/12/2019) diresmikan, Minggu (22/12/2019) ambyaar.
ADVERTISEMENT
Runtuhnya jembatan itu ternyata berdampak pada runtuhnya kredibilitas dan integritas sejumlah orang, terutama seleb dan aktivis media sosial. Hanya karena ada kata ‘kota’ di jembatan itu, sejumlah orang, sejumlah pihak, sejumlah seleb dan aktivis medsos mengarahkan jari telunjuknya ke Anies Rasyid Baswedan.
Kata ‘kota’ di jembatan itu rupanya membuat otak mereka langsung memerintahkan jempol untuk membagikan (share) berita-berita media daring (online), yang mewartakan pertistiwa itu dengan bumbu penyedap agar Anies lebih gurih digarap.
Sindiran, bully-an, juga cacian ditimpakan ke Anies, tanpa menelisik atau cek en ricek siapa sejatinya pemilik proyek pembangunan jembatan itu. Anies atau Pemprov DKI Jakarta tak perlu repot-repot buat klarifikasi untuk meluruskan pikiran mereka yang tersesat di jalan kebencian. Karena sang pemilik proyek, dalam hal ini Kemensetneg cepat turun menjelaskan situasinya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang kadung nyinyir kepada Anies, ada yang punya malu kemudian meralat postingnya dan membantu klarifikasi. Tapi ada juga yang bablas saja tak peduli. Seperti buta dan tuli atas apa yang sejatinya terjadi. Yang penting sudah ada kesempatan mem-bully Anies. Benar atau salah tidak penting buat mereka.
Tapi apa pun sikap mereka, baik yang melakukan ralat atau cuek saja atas posting gegabahnya, mereka telah meruntuhkan bangunan kredibilitas dan integritas yang selama puluhan tahun mereka tegakkan dengan susah payah. Patut disayangkan memang karena akibat kebencian yang menggunung rusak integritas yang menjulang tinggi menembus angkasa. Kebencian telah membakar kredibilitas dan integritas mereka seperti api membakar kayu. Luluh semua jadi abu.
Suka tidak suka harus diakui, meski Pilkada Jakarta sudah selesai, Pilpres 2019 sudah rampung, residunya masih sangat terasa hingga hari ini. Dan suka atau tidak suka juga, Anies adalah pihak yang paling kerap menikmati residu politik Pilkada Jakarta 2016 dan Pilpres 2019 itu.
ADVERTISEMENT
Sejak memutuskan ikut kontestasi Pilkada Jakarta 2016 hingga hari ini Anies terus digarap oleh lawan-lawan politiknya. Apakah ini ada kaitannya dengan nama Anies yang masuk playlist utama kontestasi kepemimpinan nasional 2024? Bisa jadi. Yang jelas hingga detik ini Anies tak henti dirundung political bullying (intimidasi politik).
Di jagat per-bully-an, menurut pakar pencegahan bully dari AS, Sherri Gordon, setidaknya ada lima model bully. Pertama adalah blame shifting atau pengalihan kesalahan. Kesalahan pihak lain coba digeser atau dialihkan kepada orang yang menjadi sasaran perundungan. Tujuannya untuk meragukan kemampuan pihak atau individu yang menjadi sasaran.
Kasus robohnya jembatan hutan kota yang coba ditudingkan ke Anies bisa jadi contoh hal ini. Atau kasus anggaran lem di draf Rencana APBD Jakarta 2020. Ketika upaya penyisiran anggaran-anggaran aneh tengah dilakukan Anies, tetiba dengan mengatasnamakan transparansi ada yang membocorkan. Frame pun dibuat Anies main-main dengan uang rakyat Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kedua, name calling, menciptakan sebutan-sebutan atau panggilan yang merendahkan sasaran. Ini merupakan model intimidasi paling tua yang pernah dikenal manusia. Kita tentunya acap mendengar orang disebut pecundang, si keras kepala, bodoh, dan sebutan merendahkan lainnya. Untuk Anies, gabener, yang merupakan bahasa gaul dari tidak benar, acap dipakai para hater-nya sebagai panggilan favorit.
Ketiga, reputations bashing (menghantam reputasi). Ini juga taktik bully politik kuno yang hingga kini masih terus digunakan untuk menjatuhkan reputasi orang. Dalam kasus Anies, kejadian banjir di awal tahun 2020 bisa dijadikan contoh. Betapa hebatnya serangan kepada Anies dalam peristiwa banjir itu. Laman media sosial penuh dengan cercaan kepada Anies.
Anies dianggap tidak becus mengurus air hujan sehingga mengakibatkan banjir di sebagian wilayah Jakarta. Beberapa di antaranya minta Anies meletakkan jabatan atau mundur.
ADVERTISEMENT
Padahal data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta menunjukkan, jumlah kelurahan yang terkena banjir di era Anies menurun. Februari 2017, Djarot mewariskan 67 kelurahan di Jakarta yang terdampak banjir. Setahun berikutnya, Anies berhasil menurunkan menjadi 40 kelurahan yang terdampak banjir.
Taktik menghantam reputasi ini juga digunakan dalam kasus pemberian penghargaan Adikarya Wisata 2019 kepada Diskotek Colosseum. Pemberian penghargaan itu ingin menjatuhkan reputasi Anies di mata masyarakat, khususnya para pendukungnya di Pilkada Jakarta lalu.
Betapa tidak, Anies yang di awal-awal karir gubernurnya menutup diskotik Alexis, di tengah perjalanan karirnya kok malah memberi penghargaan kepada tempat yang serupa tapi tak sama dengan Alexis.
Kesan yang ingin ditimbulkan dari pemberian penghargaan itu sikap Anies berubah atau bergeser terhadap keberadaan diskotik. Anies ingin dikesankan mulai kompromistis dengan dunia malam Jakarta.
ADVERTISEMENT
Keempat, rumor spreading. Yakni taktik bully melalui penyebaran isu, desas-desus, atau menanamkan gosip (planting gossip) di tengah masyarakat. Dalam kasus ini, rumor yang coba diedarkan adalah Anies memiliki tim khusus yang bertugas mengumpulkan pundi-pundi sebagai bekal untuk maju dalam kontestasi politik 2024.
Kosongnya kursi wakil gubernur sejak ditinggalkan Sandi Uno hingga kini menjadi pupuk penyubur penanaman gosip itu. Anies disebut ingin kursi Wagub tetap kosong agar tidak ada yang mengganggu agenda timnya mengumpulkan bekal dimaksud.
Dan model bully kelima adalah making veiled threats atau membuat ancaman terselubung. Sementara pihak sangat berani dan langsung dalam mengintimidasi. Namun yang lain jauh lebih terselubung dalam tindakan mereka. Ancaman model begini biasanya tidak terpublikasi ke publik. Diam-diam. Dan sering hanya orang yang diancam yang mengetahui.
ADVERTISEMENT
Sejak menduduki tampuk DKI 1, Anies terus menerima kelima model bully-an itu. Namun anehnya hal itu tidak membuat pamor Anies anjlok. Sebaliknya pelan tapi pasti popularitas juga elektabilitas Anies malah merayap naik. Sejumlah polster menyebut Anies adalah kandidat paling kuat untuk mengganti Jokowi. Bahkan ada yang menyebut, jika Pilpres dilakukan saat ini Anies pepenangnya.
Kenyataan ini sudah barang tentu membuat para hater fanatik Anies kebakaran jenggot. Proyek ‘menggarap’ Anies yang tujuannya menaikkan angka ketidaksukaan publik kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2014-2016 ini, hasilnya justru berkebalikan dengan apa yang mereka harapkan. Makin digarap, Anies justru makin merayap naik.
Video pertemuan para hater Anies yang tersebar di awal 2020 menunjukkan betapa gelisahnya mereka. Mereka merasa perlu merumuskan taktik baru untuk mengadang Anies.
ADVERTISEMENT
(Penulis Praktisi Media dan Komunikasi Politik)