Konten dari Pengguna

Dagang Sapi Niretika

10 Juli 2019 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mas Ton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Masz Ton
@masz_ton
BULAN Juli-Agustus ini perdagangan sapi sangat marak. Maklum selain ada momentum Idhul Adha, yang menurut penanggalan nasional jatuh pada 11 Agustus 2019, ada juga perdagangan sapi dalam dunia politik. Yang disebut terakhir ini riuh rendah atau berisiknya mengalahkan perdagangan sapi di pasar tradisional, yang mulai semarak jelang hari raya kurban ini.
ADVERTISEMENT
Lebih berisik karena perdagangan sapi politik saat ini benar-benar mengabaikan etika dagang sapi, yang selama ini dijunjung tinggi oleh para pedagang sapi tradisional. Padahal istilah dagang sapi dalam dunia politik dipungut atau mengambil contoh dari model dagang sapi di pasar tradisional, khususnya pasar sapi di Sumatera Barat, utamanya di Payakumbuh dan Kabupeten Limapuluh Kota.
Di tanah Minang ini perdagangan sapi dilakukan dengan etika yang sangat tinggi. Sangat luhur. Masyarakat setempat sangat kuat memegang prinsip karena yang diperjualbelikan mahluk hidup, maka mahluk yang diperdagangkan itu harus dihormati. Jangan sampai pihak ketiga atau bahkan mahluk sapi yang dijual mengetahui peristiwa transaksional itu.
Karena itu tawar menawar sapi dilakukan secara sembunyi. Sapi memang dibawa ke pasar. Tapi begitu ada peminat, tawar menawar dilakukan secara sembunyi, senyap. Mereka tidak ingin ada orang mendengar atau mengetahui harga sapi. Transaksi benar-benar dilakukan secara rahasia. Bahkan sang sapi yang ditraksaksikan pun tidak boleh tahu harga dirinya.
ADVERTISEMENT
Penjual dan pembeli pergi ke satu tempat di sudut pasar, biasanya di bawah pohon rindang. Lantas sehelai kain sarung, yang selalu dibawa penjual sapi dibentangkan. Tawar menawar pun dimulai. Tangan pembeli dan penjual masuk ke dalam sarung. Tangan mereka berpegangan (barosok). Tidak ada satu kalimat pun keluar dari keduanya. Tawar menawar tidak dilakukan secara verbal. Semuanya menggunakan bahasa isyarat atau kode.
Penjual memberi tahu harga sapi dengan kode jari. Pembeli pun menawar dengan kode jari. Jika deal salaman pun dilakukan di balik sarung itu. Tak ada suara yang keluar dari keduanya. Benar-benar senyap. Tak ada yang tahu harga sapi itu, kecuali penjual, pembeli, dan tentu saja Allah yang Mahatahu.
ADVERTISEMENT
Jagat politik nasional mengadopsi model ini untuk tawar menawar posisi politik. Dari situ muncullah istilah Politik Dagang Sapi. Namun sayangnya hanya metodenya saja yang diadopsi. Etika perdagangannya dilanggar, bahkan ditinggalkan. Tanpa ragu-ragu. Tanpa malu-malu. Etika tidak lagi penting, yang penting sapinya laku. Inilah perdagangan sapi niretika alias tanpa etika.
Etika dagang sapi yang ditinggalkan inilah yang membuat jagat politik nasional selalu riuh rendah sebagaimana kita saksikan belakangan ini. Tengok saja, praktik dagang sapi pasca penetapan pemenang Pilpres 2019. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pagi-pagi sudah ribut minta jatah 10 kursi menteri karena merasa berjasa ikut ‘menyumbang’ Wapres KH Ma’ruf Amin sebagai Cawapres dari PKB.
Partai Nasdem tak mau kalah. Atas nama keadilan dan asas proporsional minta jatah 11 kursi. Alasannya kursi Nasdem di parlemen hasil Pemilihan Legislatif 2019 lebih banyak dari PKB. Nasdem mendapat 59 kursi sementara PKB mendapat 58 kursi.
ADVERTISEMENT
Kalau Nasdem dan PKB meminta jatah kursi kabinet masing-masing 11 dan 10 kursi, atas nama keadilan dan proporsionalitas berapa jatah kursi untuk PDIP dan Golkar yang masing-masing memiliki 128 dan 85 kursi di parlemen? Jika memakai rumus PKB dan Nasdem berarti setiap kelipatan 50 kursi parlemen mendapat 10 kursi kabinet, maka PDIP mendapat jatah 25 kursi. Kemudian Golkar mendapat 17 kursi. Rumusnya: 20% x Jumlah Kursi Parlemen.
Jika ini yang terjadi, untuk empat partai saja jumlah kursi kabinet yang harus disediakan mencapai 54 pos. Belum jatah untuk PPP, Hanura, dan PBB. Ditambah jatah untuk partai parlemen yang baru gabung ke koalisi, makin banyak kursi menteri atau perjabat setingkat menteri yang harus dialokasikan untuk politik balas jasa.
ADVERTISEMENT
Sudah barang tentu postur kementerian tidak mungkin dibuat setambun itu. Dengan 34 pos kementerian plus delapan pejabat setingkat menteri di periode 2014-2019 saja sudah terasa tambun. Jika Presiden terpilih menambah pos kementerian hanya untuk memenuhi desakan partai pendukung dampaknya akan makin memberatkan anggaran negara, yang saat ini saja sudah berat.
Tinggal bagaimana Presiden menggunakan hak prerogatifnya untuk mengakomodir barisan partai pendukungnya, baik yang lama maupun yang baru. Boleh jadi ada yang tidak puas. Tapi langkah tegas harus dipilih. Apalagi jika ingin membentuk zaken cabinet, kabinet yang jajaran menterinya diisi para ahli dan profesional.
Kabinet Zaken hanya akan terbentuk jika kabinet disusun tidak atas dasar politik dagang sapi. Apalagi dagang sapi yang mengabaikan etika. Karena menteri-menteri hasil dagang sapi biasanya akan kerja untuk kepentingan partai, ormas, atau sponsor yang menyorongnya. Yang model begini biasanya susah diharapkan bekerja untuk kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Rakyat praktis tidak akan mendapat manfaat dari perdagangan sapi politik. Dagang sapi qurban jelas rakyat dapat manfaatnya. Setidaknya ada daging yang dibagi rata takarannya. Sebaliknya dalam dagang sapi politik, rakyat hanya akan jadi korban karena hanya akan kebagian limbahnya saja. Bisa berupa limbah keributan sesama pedagang sapi, keributan antara pedagang dan pembeli, bahkan keributan antara pedagang dan sapi yang akan dijualnya.
***
Penulis Praktisi Media dan Komunikasi Politik