Jika Demokrasi Tanpa Oposisi

Konten dari Pengguna
4 Juli 2019 13:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mas Ton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi demokrasi. (pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi demokrasi. (pixabay)
ADVERTISEMENT
Oleh: Masz Ton
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dalam sidang pleno, resmi menetapkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai Presiden RI terpilih Pilpres 2019, Minggu (30/6). Dengan penetapan ini, pasangan Jokowi-Ma’ruf makin leluasa menjalin komunikasi politik dengan kekuatan-kekuatan politik di luar partai pendukungnya guna menjalankan roda pemerintahan lima tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Sejatinya sebelum KPU ketuk palu mengesahkan kedua pasangan ini, komunikasi politik dengan kubu pasangan Prabowo-Sandi sudah coba dijalin. Dengan modal kemenangan dari hitung cepat dan situng KPU, mereka mengajak partai-partai di kubu 02 untuk bergabung dengan koalisi mereka. Tidak tanggung-tanggung Gerindra pun, yang notabene partainya Prabowo diajak menjadi sekutu dalam pemerintahan.
PKS yang dianggap mewakili kubu Islamis, yang selama ini selalu menjadi sasaran serangan para pendukung Presiden terpilih, karena dianggap sarang kaum radikal, pun tidak ketinggalan di lobi agar mau ‘membantu’ pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat (PD) jauh-jauh hari sudah menunjukkan sikap kompromistis terhadap ajakan bergabung dalam koalisi pemenang Pilpres. Gerindra juga memberikan sinyal akan bergabung. Meskipun keputusan bergabung tidaknya masih melihat situasi politik.
ADVERTISEMENT
Tinggal PKS yang belum memberikan jawaban terhadap ajakan masuk dalam koalisi 01. Jika PKS pun melebur, meskipun kecil kemungkinan itu terjadi, maka lima tahun ke depan kita tidak akan menyaksikan keasyikan berdemokrasi.
Demokrasi akan kehilangan rohnya karena tidak ada kekuatan penyeimbang. Tidak ada oposisi yang melakukan check and balances terhadap kebijakan pemerintah. Bayangkan apa asyiknya demokrasi kalau semua kekuatan politik masuk dalam kandang bebek. Sudah pasti akan selalu membebek terhadap kemauan penguasa. Apa asyiknya jika semua menjadi anggota paduan suara, yang kata penyanyi balada Iwan Fals, hanya tahu nyanyian lagu setuju.
Tanpa oposisi, demokrasi kehilangan makna. Demokrasi butuh oposisi untuk penyeimbang. Demokrasi butuh oposisi sebagai pupuk untuk menyuburkan demokrasi itu sendiri. Tanpa oposisi apa bedanya Indonesia dengan RRC dan Korea Utara, atau dengan negara kerajaan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa oposisi, Indonesia akan kembali pada masa lalu. Mundur 50 tahun ke belakang. Dan yang mengenaskan, ketiadaan oposisi menghilangkan dengan sengaja kesempatan untuk menjadi negara demokrasi yang maju.
Tanpa oposisi siapa yang akan membela rakyat dari kesewenangan-wenangan penguasa. Siapa yang akan menjaga negara dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Siapa yang mengawal kepentingan rakyat dalam kehidupan bernegara.
Tahun 1971, penyair Burung Merak, WS Rendra lewat puisi berjudul Hak Oposisi mengingatkan pentingnya oposisi. Tanpa oposisi demokrasi akan sepi dan onani, katanya. Sepi karena pikiran-pikiran kritis tidak lagi mendapat tempat. Forum-forum ilmiah di mana kaum intelektual mendiskusikan kebijakan pemerintah akan hilang.
Para cendikiawan, para guru besar, kaum cerdik pandai akan mandul. Berhenti memproduksi dan mendiskusikan pikiran-pikiran kritis yang tidak sejalan dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, selama ini mereka mengamati, yang tidak sejalan dengan pemerintah akan mendapat label seram: pelaku makar, radikal, anti Pancasila, anti NKRI, dan tudingan seram lainnya. Tudingan yang cukup membuat nyali ciut.
Masyarakat akan kehilangan bacaan kritis karena para penulis buku maupun artikel juga berhenti memproduksi tulisan-tulisan kritis yang membangun. Para jurnalis takut mengkritisi kebijakan penguasa. Media, karena kepentingan bertahan hidup, juga akan menceritakan hal-hal yang baik-baik saja dari penguasa agar iklan pemerintah mengalir deras mengisi kas mereka.
Tanpa oposisi seperti onani. Pemerintah akan asyik dengan diri sendiri. Asyik dengan puja-puji. Tak ada mitra tanding yang sejajar, yang bisa mengoreksi pikiran dan kebijakan, yang boleh jadi tidak sejalan dengan kepentingan rakyat.
ADVERTISEMENT
Demi demokrasi kita berharap masih ada ruang untuk oposisi. Pemerintah juga butuh oposisi untuk mengingatkan agar jangan salah jalan. Bukankah kawan yang baik adalah yang selalu mengingatkan jika ada kesalahan. Bukan teman yang selalu memuji-muji apa pun yang kita lakukan, entah itu baik atau benar.
Kita berharap ada oposisi tapi bukan oposisi yang asal beda dengan pemerintah, yang apapun kebijakan pemerintah dilawan. Kita butuh oposisi yang jika pemerintah benar didukung, jika melenceng diluruskan.
Namun jangan kemudian mereka yang ada di barisan oposisi dipersekusi. Beda dengan pemerintah dituduh menyebar hoax. Menentang kebijakan pemerintah dituduh makar, radikal, dan tuduhan-tuduhan lain yang selama ini dijadikan alat pukul lawan politik.
Jika itu yang terjadi, ada atau tidak ada oposisi sama juga, sami mawon. Demokrasi jadi terasa hambar. Demokrasi jadi barang palsu. Sekedar kosmetik untuk memperindah pemerintahan. Padahal aslinya jauh dari nilai-nilai yang diagungkan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Penting membaca lagi puisi Hak Oposisi sebagai bahan renungan untuk penguasa dan kekuatan-kekuatan politik lainnya yang akan mengambil sikap.
Hak Oposisi
Aku bilang tidak,
aku bilang ya,
menurut nuraniku.
Kamu tidak bisa mengganti
nuraniku dengan peraturan.
Adalah tugasmu
untuk membuktikan
bahwa kebijaksanaanmu
pantas mendapat dukungan.
Tapi dukungan –
tidak bisa kamu paksakan.
Adalah tugasmu
untuk menyusun peraturan
yang sesuai dengan nurani kami.
Kamu wajib memasang telinga,
– selalu,
untuk mendengar nurani kami.
Sebab itu, kamu membutuhkan oposisi.
Oposisi adalah jendela bagi kamu.
Oposisi adalah jendela bagi kami.
Tanpa oposisi: sumpek.
Tanpa oposisi: kamu akan terasing dari kami
Tanpa oposisi, akan kamu dapati gambaran palsu
tentang dirimu.
Tanpa oposisi kamu akan sepi dan onani.
ADVERTISEMENT
Jogja, 10 Oktober 1971
***