Survei Politik vs Politik Survei

Konten dari Pengguna
23 Maret 2019 21:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mas Ton tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh : Masz Ton
PEMILU 2019 akan menjadi pertaruhan bagi lembaga survei. Pesta demokrasi serentak kali ini bisa jadi kuburan atau sebaliknya kebangkitan bagi para tukang survei. Kalau hasil-hasil survei yang rutin dipublikasikan selama musim kampanye 2019 ini melenceng jauh atau berkebalikan dengan hasil Pemilu, baik Legislatif maupun Presiden, maka, meminjam istilah milineal Betawi, kelar idup lo.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya kalau hasilnya sesuai atau mendekati hasil Pemilu, maka marwah lembaga survei akan kembali naik. Kembali mendapat kepercayaan publik.
Harap maklum, kepercayaan publik terhadap lembaga survei belakangan sangat rendah. Ini dampak dari melesetnya prediksi lembaga survei di sejumlah Pilkada. Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilkada Jawa Tengah dan Jawa Barat tahun 2018 acap dijadikan rujukan gagalnya lembaga survei memotret pilihan publik.
Sejatinya jika lembaga survei bekerja semata untuk memotret pilihan masyarakat, dengan metodologi yang benar, responden yang representatif, hasilnya tidak akan jauh berbeda dengan hasil perhitungan ril (real count). Namun jika kepentingan politik dan ekonomi ikut dalam survei, maka hasilnya boleh jadi berbeda dengan pilihan masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum, setiap musim Pemilu maupun Pilkada tiba lembaga-lembaga survei 'berburu' klien. Mereka menawarkan paket survei plus political marketing (pemasaran politik). Kenapa berburu klien? Karena biaya survei tidak murah. Muaahaaal. Mencapai ratusan juta rupiah untuk sekali survei dengan 400-500 responden. Makin banyak respondennya makin mahal.
ADVERTISEMENT
Adakah lembaga survei yang rela mengeluarkan biaya demikian besar dari kocek sendiri sekedar untuk memotret pilihan masyarakat? Di era pemilihan langsung, di mana survei politik menjelma menjadi industri, sulit menemukan lembaga survei yang mau merogoh kocek sendiri untuk membiayai survei yang mahal itu. Apalagi jika melakukan tracking survey, survei secara periodik untuk memotret perkembangan pilihan masyarakat dalam periode tertentu, misal bulanan, dwibulanan, atau triwulanan, biaya yang harus dikeluarkan lebih besar lagi.
Lembaga survei juga perlu penghasilan (income) untuk menghidupi perusahaan. Membayar gaji karyawan. Perlu untung guna mensejahterakan pemilik serta karyawan. Dan tentu saja perlu untung juga untuk menjaga agar tetap eksis.
Mereka butuh klien, butuh sponsor untuk bisa melakukan survei. Dan klien yang menerima tawaran mereka umumnya terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama yang ingin menjadikan survei hanya untuk kepentingan internal. Kepentingan ke dalam sebagai sarana evaluasi terhadap program kampanye. Jika hasil survei kurang baik, mereka akan memperbaiki program kampanye agar bisa maksimal mendulang suara. Klien yang seperti ini biasanya tidak ingin hasil survei yang diordernya dipublikasi. Cukup untuk kebutuhan internal saja.
ADVERTISEMENT
Klien tipe kedua sebaliknya. Survei digunakan untuk kepentingan eksternal. Sang klien ingin menjadikan survei sebagai sarana memengaruhi opini publik. Publik di sini terbagi dua, yakni publik pemilih dan publik investor. Untuk publik pemilih, klien ingin mendapatkan apa yang disebut sebagai bandwagon effect. Efek ikut-ikutan. Maklum, publik pemilih memang memiliki kecenderungan ikut arus yang sedang besar, Arus yang sedang banyak digemari orang.
Karena kepentingan mengejar bandwagon effect ini, survei dirancang dengan tujuan sebagaimana yang dikehendaki klien. Dan statistik yang menjadi alat ukur memungkinkan surveyor memenuhi keinginan klien, yang menginginkan hasil yang kinclong. Hasil yang harus baik, agar elektabilitas klien terlihat membumbung. Harapannya pemilih yang belum punya pilihan atau yang sudah punya pilihan tapi berbeda akan terpengaruh dan mengubah pilihannya.
ADVERTISEMENT
Sementara bagi publik investor, hasil survei akan berpengaruh terhadap sumbangan politik yang akan dikucurkan. Sebab kecenderungan investor adalah membantu kandidat yang memiliki peluang menang cukup besar. Yang tingkat elektabilitasnya tinggi. Jadi publik investor juga bisa dilanda bandwagon effect.
Namun di era media sosial saat ini, berharap bandwagon effect dari memoles hasil survei tidaklah efektif. Via media sosial publik dapat melaporkan setiap perkembangan yang ada di masyarakat, termasuk memotret kecenderungan pilihan masyarakat. Media sosial dapat melaporkan mana kandidat yang disukai masyarakat dan mana yang tidak. Mana kampanye kandidat yang banyak didatangi masyarakat, mana yang sepi. Mana jualan kandididat yang dibeli pemilih, mana yang diacuhkan.
Media sosial menjadi lawan tangguh yang tak mudah dikalahkan oleh para pelaku politisasi survei. Sebaliknya akan menjadi kawan seiring para perajin survei politik yang patuh pada ilmu statistik. Media sosial merekam dengan akurat hasil-hasil yang disajikan survei politik maupun politik survei. Media sosial bisa menenggelamkan politik survei dan membangkitkan survei politik.
ADVERTISEMENT
Nah, apakah hasil-hasil survei yang selama ini disajikan adalah murni survei politik atau politik survei? Mari kita tunggu hari pengadilan lembaga survei pada Rabu, 17 April 2019.
@masz_ton