Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Menakar Aksi-aksi Hari Ini
8 Mei 2017 11:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
Tulisan dari Matahari Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menakar Aksi-aksi Hari Ini
Oleh: Janeska Mahardika*
“Jangan pikirkan benih-benih yang tersebar ke mana-mana, coba saja pikirkan bagaimana nantinya mereka akan tumbuh. Hari ini jalanmu mungkin terhalangi oleh duri dan bebatuan, namun esok hari kau akan memanen ara dan kurma dalam jumlah yang sangat banyak! Dimana ada kuncup bunga hari ini, esok hari akan ada sekuntum mawar yang merekah. Jangan lupakan ini” (Leila Majnun)
ADVERTISEMENT
“Tidak masalah seberapa kecil dirimu, selama kau punya keyakinan dan rencana untuk beraksi” (Julian Assange)
Teori tanpa Aksi adalah mustahil!,.
Apalagi kalau bukan penakut namanya. Rasa takut yang mendalam semakin mengkristal. Nyaris, keberanian itu semakin terperosok masuk kelubang yang kelam. Dalam berbagai sudut kita dikepung oleh ketakutan. Tidak di kampus, di media, di komunitas, di organisasi, di tempat kerja, di ruang karya, di warung kopi, dan di ruang manapun itu. Ketakutan bagai tirani yang keji. Karena keberanian sekarang ini hanyalah milik fasis, oligarki, dan kapitalis. Sedangkan kita? Berselimutkan ketakutan yang panjang. Yang setiap gerak, jantung kita berdebar kencang dibayangi kecemasan yang membuncah. Saat-saat ini adalah waktu yang tepat untuk menyelamatkan diri sendiri. Bukan kepentingan orang banyak.
ADVERTISEMENT
Jangan biarkan militansi kita rubuh seperti revolusi mental yang ciut yang tidak memberi perubahan mental sama sekali. Yang terbukti memberikan imajinasi palsu dan harapan kampanye imitasi. Selongsong kepercayaan diri telah menjadi puing-puing, ditambah lagi jika dipertontonkan bagaimana kemelut rakyat Venezuela yang begitu deras membanting tembok-tembok kepemimpinan Maduro dan dinamika gerakan kiri latin lainya. Begitupun bila ingin memandang kondisi kekinian “demokrasi kiri” kita hari ini. Rakyat terus mengalami paranoid akut, takut, dan tidak sedikit dari mereka mengalami sakit pikun tingkat stadium kritis. Gembar-gembor atas sanjungan kejayaan empire Orde baru memasuki babak baru. Akal semakin dikalahkan oleh dogma yang membabi-buta. Para elit baik yang kanan maupun ‘agak kiri’ sibuk bereksperimentasi tentang politik hampa. Yang tak menyentuh perkara sesungguhnya. Yang menyingkirkan pokok persoalan kemanusiaan dan kemiskinan. Senada seperti Noam Chomsky katakan; “Pada kenyataannya, jika mereka melihat terlalu banyak realitas, mereka berpotensi ingin melakukan perubahan—dan hal itu sama sekali tak dikehendaki”.
ADVERTISEMENT
Kita seakan kehilangan daya dan karya yang mengguncang. Semuanya mandek dimeja debat. Semuanya berhenti pada ruang diskusi. Semuanya terlupakan saat forum juga ikut selesai. Dan semuanya hilang disaat kita tamat membaca. Namun tak semuanya berhasil dikebiri oleh penguasa. Meskipun seakan semua gerakan telah lahap dimakan kekuasaan, paling tidak kita masih punya Ibu-ibu Kendeng yang merelakkan kakinya dibenam oleh semen karena menuntut perusahaan semen segera hengkang. Mereka (ibu-ibu Kendeng) berhasil masuk dalam Istana dan melakukan perundingan bersama Presiden. Meski hanya sebatas bertatap muka, tapi tidak lebih dari itu. Untuk sebuah tuntuttan yang sesungguhnya. Membebaskan tanahnya dari cengkraman eksplorasi perusahaan PT. Semen Indonesia (yang sampai detik ini menunggu kepastian kebijakan pemerintah terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis KLHS). Tapi paling tidak, inilah sisa-sisa bentuk kecil perlawanan yang luput untuk dieksploitasi besar-besarran oleh kawan-kawan, media, mahasiswa, dan gerakan—hingga menghasilkan keguncanggan yang berefek panjang. Sebagaimana pula kasus terbunuhnya pejuang agraria Salim Kancil yang berhembus bagai angin berlalu.
ADVERTISEMENT
Akal harusnya mencair. Meski tubuh dikerangkeng ke-ju-mud-an gagasan. (1) Kisah-kisah itu bisa sangat terhayati bila melihat aksi "lava la bandera". Sebuah tindakan begitu menawan untuk dijadikan rujukan. Yang memberi secercah ide bagaimana membuat penguasa tak berkutik ketika ribuan orang mengambil kesempatan untuk bersolidaritas. Aksi yang datang dari Peru tersebut adalah sederet aksi-aksi kreatif yang pernah tertorehkan. Dimulai pada bulan Mei 2000 setiap hari Jumat, sejak siang hingga pukul 3 sore ribuan orang berkumpul di Plaza Mayor di pusat ibukota Peru, Lima. Kegiatan mereka mencuci bendera nasional yang berwarna merah-putih-merah. Pesan dari aksi itu ingin menunjukan betapa Peru beserta bendera nasionalnya sudah sangat kotor. Dikotori oleh kepemimpinan Alberto Fujimori setelah berkuasa lebih dari satu dasawarsa. Fujimori terkenal dengan kepemimpinannya yang kaku, korupsi dan kejam. Meski aksi tersebut mendapat tekanan dan ancaman juga dicap sebagai tindakan teroris, tetap saja ribuan masyarakat yang tak tahan dengan kotornya belenggu itu terus menjalankan aksinya. Lima bulan setelah aksi itu digelar, Fujimori akhirnya tumbang juga. Pada tahun 2009, Fujimori dinyatakan bersalah atas sederet kasus pembunuhan sepanjang kepemimpinannya, dan dijatuhkan hukuman seberat dua puluh lima tahun.
ADVERTISEMENT
Politik penuh drama, kepalsuan dan penuh sampah berhasil dipertontonkan. Kita masih butuh aksi yang dosisinya melampaui dari yang sudah-sudah. Sebuah aksi dengan perhitungan momentum yang matang. Yang didukung penuh pada pengeksploitasian media masa menggerakan manusia tumpah. Sebagaimana aksi dari dunia Arab yang sangat inspiratif sekaligus menyayat hati. Yang membuat gelombang gerakan Revolusi Tunisia tiba pada klimaksnya. Ialah kisah Mohamed Bouazizi seorang pedagang asongan yang nekat membakar dirinya ketika polisi menyita daganganya berupa buah-buahan dan sayur-sayuran yang menjadi satu-satunya gantungan hidupnya. Dan berakhir memaksa Presiden Zine al-Abdine Ben Ali kocar-kacir meninggalkan tanah kekuasaannya. Ada banyak kisah yang sudah tertulis pada lembar sejarah. Masing-masing menghasilkan buah perubahan, siapapun bisa memetiknya.
ADVERTISEMENT
Sayang bila aksi mengecor kaki dengan semen itu hanya sepintas datang dan lalu pergi, tak mengendap lama hingga menumpahkan didih perlawanan yang berarti. Aksi eksotis tersebut memang luar biasa gagasanya meski berlangsung pendek. Meski sebelumnya telah dimulai dengan aksi jalan kaki dari Rembang-Semarang. Dan membangun tenda perjuangan. Sekalipun sempat mendapat dukungan aksi serupa dibeberapa tempat diluar pulau Jawa (Sumatera dll). Namun lagi-lagi, semuanya dengan gampang tergulung oleh isu-isu yang begitu seksi datang silih berganti dilayar televisi dan di media massa mainstream. Tentu, mereka bagaikan membuang ampas, kita kian menuainya.
Pertarungan itu masih terus jalan meski tersendat-sendat. Meski hari ini jauh dari sorotan media mainstream yang bermaksud ingin mem-blow-up barisan tuntuttan. Namun bukan pula aksi kelas menangah ngehek yang memarkir bunga trotoar ataupun bunga-bunga palsu lainya. Aksi ini tak sekedar menyandarkan karangan bunga, namun bunga yang bertabur bagi ‘kematian kepedulian’ kepada kelas tertindas. Seperti aksi para petani Telukjambe Karawang yang mengubur dirinya didepan Istana karena persoalan ajek. Perampasan lahan oleh korporasi. Atau juga, aksi-aksi petani Urut Sewu yang setiap harinya penuh was-was dan terus menumpukkan mental karena berhadap-hadappan dengan bedil militer bengis. (2) Dan aksi masyararakat adat Suku Marind Papua, yang terekam dalam film The Mahuzes terlihat sangat akrab dengan alamnya tanpa harus dipaksakan untuk menerima pola perubahan sosial yang ditawarkan melalui program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Mereka menghalang korporasi masuk mengganggu hutan dengan patok dan kepala babi. Dan tentu masih ada banyak lagi aksi-aksi perjuangan agraria lainya. Sebuah catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria mengklaim terjadi 450 konflik sepanjang tahun 2016 dengan total luas lahan berkonflik; 1.265.027,39 Ha yang terdiri dari perkebunan 36,22%, properti 26,00%, infrastruktur 22,22%, kehutanan 5,56%, pertambangan 4,67%, pesisir dan kelautan 2,22%, migas 1,56%, pertanian 1,55%. Jika melihat data dari KPA tersebut, daftar konflik begitu panjang, luas lahan tiada tara, harusnya teriring dengan aksi-aksi yang panjang pula.
ADVERTISEMENT
Begitupun permasalahan perburuhan. Selang beberapa hari perhelatan May Day yang berakhir pada atraksi kebudayaan damai, pun tak luput untuk terus didiskusikan, seberapa seriuskah negara melegitimasi politik buruh hari ini? seberapa penting negara mempersilahkan kekuatan buruh mengorganisir dirinya sebagai kontestan mandiri bertarung dalam agenda-agenda politik elektoral? Dan seberapa banyak yang tersadarkan akan kebutuhan kaum buruh merebut pembebasan tanpa syarat. Karena betapa tidak, kekuatan tuntutan buruh saat ini kian rubuh kala pemerintah mengeluarkan regulasi yang bertolak belakang dengan realitas tuntuttan itu sendiri. Seperti protes atas pencabutan PP 78 dan penghapusan outsoursing.
Disini, masih dalam sebuah ketakutan yang mengerikan. Sejak pembantaian masal 1965/1966 dan tahun-tahun sesudahnya di negeri ini, upaya pemenuhan rekonsiliasi pun tak luput dari pergerakkanya yang merayap-rayap. Sembunyi-sembunyi dan terkadang muncul tenggelam. Hal ini bisa dimaklumi, ya, karena apalagi kalau bukan kesintingan penguasa yang dikelilingi barisan fasis anak cucu Orba dan kepentingan para Oligark, yang dengan mudahnya menaklukkan rezim saat ini pada genggamannya yang berlumuran darah, dengan menakut-nakuti masyarakat pakai cara irasional; propaganda isu kebangkitan KGB (Komunis Gaya Baru) adalah sebagai “kebangkitan setan-setan dan macam-macam ketidakwarassan”. Maka mobilisasi masa kelompok keagamaan yang berjilid-jilid dan bernomor cantik itupun tak luput oleh sorottan investigasi Alan Nairn yang diterbitkan oleh The Intercept ( Trump’s Indonesian Allies in Bed with ISIS Backed Militia Seeking to Oust Elected President) atau sudah dalam terjemahan tirto.id dengan judul (Investigasi Allan Nairn: Ahok hanyalah Dalih untuk Makar) sebagai rencana aksi besar terselubung, yang sebagai batu loncattannya penuntuttan Ahok sebagai penista Agama. Namun gagasan sesungguhnya mengkudeta kepemimpinan Jokowi karena terlihat begitu longgar memberikan jalan symposium kasus; pelanggaran HAM 1965 yang didalam kasus tersebut banyak para militer Indonesia dan pemerintah AS terlibat. Allan membongkar rencana kawanan jahat yang nama besarnya ialah; Prabowo, SBY, Hary Tanoe dan Donald Trump sebagai penggerak dibalik Aksi Bela Islam. Dan juga keterlibatan lainya; para Jendral yang aktif maupun pensiunan, termasuk yang ada di kubu rezim Jokowi saat ini. Lucunya, nasib busuk ini mesti ditanggung oleh tirto.id dan Allan Nairn karena telah dilaporkan oleh konsultan hukum HT sebagai tindakan pencemaran nama baik.
ADVERTISEMENT
Upaya rekonsiliasi 65, perjuangan agraria, dan segala macam tuntuttan buruh tercermin dalam bingkai aksi-aksi kita hari ini. Setiap lekukkan wajah aksi bisa kita sadari, bisa kita sentuh, bisa kita resapi dan bisa kita refleksikkan. Namun, sudah semesti-nya-kah seperti yang kita harapkan? Saudaraku, Assange pernah bilang kalau “seungguhnya keberanian itu mewabah”. Dia bagaikan virus mematikan, yang gampang menular melalui persetubuhan. Rajam merajam, dan melalui persentuhan darah. Seperti itulah keberanian. Menjalar kemana-mana dengan gampang, dimulai dengan keintimman antara; “persetubuhan pemikiran dan sikap kita”.
Sesungguhnya aksi-aksi hari ini belumlah menyentuh jantung birahi kelas yang jelas, bisa membedakan dengan serius mana aksi perjuangan kelas dan mana aksi kelas menengah populis. (3) Oleh sebab itupula, mungkin agak berlebihan jika pesan dari semua ini bisa terwakili dalam sebuah sajak, tentang sebuah kelompok yang lalai akan sebuah tujuan dan kelalaian maksud, serta kelemahan daya yang dipunyai. Muhammad Iqbal menyitir:
ADVERTISEMENT
Pemetik melodi kehidupan meniup
Tanahpun menjadi kehidupan yang terbangkitkan
Dari jiwanya tersebar jiwa dan dengan pialanya
Meriahlah pertemuan itu
Bibir yang merangsang dan mata yang menggairahkan
Keduannya tersatukan oleh tuntuttan ini
Dari padanya umatpun berjalan penuh semangat dan gelora
Percikan-percikan kalbunya membara
Dan tanahpun menjadi menyala
Sajak Iqbal diatas ingin menjemput mimpi, tentang pembebasan yang bersinar, yang ingin kita jemput bersama didalam sebuah labirin kelabu. Bukan menjemput Aksi Bela Ilusi yang berjilid-jilid itu?
*Penulis, Pekerja Informal berdomisili di Jogja.
Catatan:
1. Dicukil dari buku, “Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan: Bagaimana Keberanian, Ketegaran, dan Kecerdikan Dapat Mengubah Dunia” Steve Crawshaw & John Jackson. November 2015 INSISTPress (Hal 16-17).
2. Didi Haryadi dalam https://indoprogress.com/2017/02/the-mahuzes-manifestasi-cultus-cargo-untuk-generasi-di-papua/
ADVERTISEMENT
3. Pengutipan sajak ini setelah melalui pemilahhan sajak-sajak pilihan dari buku: Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Syi’ruh, Dr. ‘Abdul Wahab’ Azzam, 1373 H – 1954 M, terbitan Math bu’at Pakistan. Dan telah diterjemahkan oleh Penerbit PUSTAKA Perpustakaan Salman Institut Teknologi B
andung 1405 – 1985 M.