Festival Kopi yang Menyedihkan

Mataharitimoer
senang jalan-jalan di sela kegiatan literasi digital, kopi, isu interfaith dan toleransi
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2017 0:09 WIB
Tulisan dari Mataharitimoer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Ikki loh! Festival kopi koq koyo ngene!" seloroh seorang petani kopi dari Jawa tengah pada hari pertama penyelenggaraan festival kopi nusantara bernama Industri Kreatif Kopi Indonesia (IKKI.LOH).
ADVERTISEMENT
Aku menghadiri kegiatan itu karena kenal dengan beberapa petani yang menjadi peserta festival tersebut. Sebagai teman yang kedatangan sekitar 6 orang petani kopi dari beberapa daerah, aku pun menyanggupi akan menemani mereka sejak H-1 hingga beberapa hari sampai kegiatan ini berakhir pada 8 Oktober 2017. Namun rencana tersebut tak terjadi karena menurutku, acara tersebut tidak dikelola dengan baik oleh panitia.
Malam hari sebelum hari pertama festival, beberapa petani kopi mengeluhkan penginapan yang dijanjikan oleh panitia. Pada grup whatsapp Peserta IKKILOH, mereka mengadukan nasibnya yang terlantar di Breeze BSDCity lantaran mereka tak bisa masuk penginapan yang dijanjikan. Beberapa orang petani yang datang dengan pendampingan dari BABINSA di Kodamnya masing-masing, ada yang bisa menginap di Mess TNI, tetapi beberapa petani yang tak "berbabinsa" benar-benar harus merogoh kocek sendiri untuk menginap.
ADVERTISEMENT
Memang festival kopi ini tak memungut biaya dari para peserta, tetapi coba bayangkan mereka yang datang dari luar Jabodetabek. Terutama mereka yang datang dari luar Pulau Jawa. Sudah tentu para petani kopi itu mengeluarkan tidak sedikit uang untuk biaya perjalanan.
Seorang petani kopi yang kutanya, "Kenapa mau datang ke festival ini?" menjelaskan bahwa ia dan teman-teman sejawatnya berani datang ke sini karena panitia menjanjikan akan memberikan penginapan gratis di Mess TNI. Mereka hanya diminta membawa greenbean sebanyak 50 Kg saja, untuk dilatih bagaimana meroasting dan mengepak kopi dengan baik. Sepertinya panitia ingin mengangkat martabat petani kopi, dengan cara mereka bukan dengan cara petani.
"Panitia ini merasa lebih pintar dari petani." samber salah seorang petani lainnya sambil menghisap rokoknya dan menghempaskannya sambil menghempas napas kekecewaan.
ADVERTISEMENT
Melihat gelagat semakin tidak jelasnya tanggung jawab panitia soal penginapan, akhirnya malam itu mereka mencari penginapan sendiri. Aku turut menginap bersama mereka di sebuah guest house tak jauh dari lokasi. Dalam sebuah kamar kecil itulah kami berenam berbincang tentang apa yang terjadi di grup whatsapp peserta festival kopi. Sebab kalau tidurpun tak leluasa karena sempit.
Hari pertama festival pada jam 8 pagi peserta sudah siap di lokasi, tetapi mereka belum dapat memasang atribut kopinya karena belum tahu akan ditempatkan di meja sebelah mana. Tidak seperti festival lain yang pernah mereka ikuti, di sini tak ada panitia yang mengarahkan booth peserta. Tak ada tulisan atau apapun sebagai tanda, misalnya petani dari Jawa Timur dapat lokasi di sebelah mana.
Pada surat undangan, panitia menjanjikan fasilitas gratis berupa mesin roasting, alat packing, gerobak, dan lainnya. Janji itu nol besar. Alhasil, petani hanya mendapatkan meja kecil untuk menaruh plastik green bean dan mau harus berbagi meja juga dengan rekan petani kopi lainnya. Apa yang tercantum dalam surat undangan tak ada.
Bagaimana tanggung jawab panitia? Pada grup whatsapp, tak jelas pertanggungjawabannya. Peserta tanya apa, jawabannya tidak tegas. Misalnya, yang bertanya soal penginapan, alat roasting, dan lainnya, dilemparkan jawabannya ke pihak sekopi. Padahal tinggal jawab saja ada atau tidak, dapat atau tidak. Petani yang protes disuruh bersabar tanpa kejelasan nasib mereka.
Melihat gelagat penyelenggaraan festival kopi yang menyedihkan ini, aku dan beberapa teman petani berusaha mencari solusi cepat. Kami mencari pembeli green bean di luar festival, menjual green bean mereka agar bisa kembali ke kampungnya masing-masing. Kenapa? Karena mereka tak diperkenankan berjualan di lokasi festival. Petani yang terlanjur kesal karena ketidakjelasan panitia, enggan berlama-lama di lokasi. Mereka lebih ingin kembali ke kampung tanpa membawa kembali greenbean yang mereka bopong ke lokasi.
ADVERTISEMENT
Syukurlah ada beberapa teman barista dan penyuka kopi yang mau membeli green bean dari 4 daerah. Selesai transaksi hingga malam, akhirnya para petani itu memutuskan kembali ke kampungnya pada hari kedua festival.
Beberapa teman penyuka kopi sampai geleng-geleng kepala saat kuceritakan nasib yang menimpa petani kopi. Apakah pantas seperti itu sikap panitia penyelenggara dalam menghormati para petani kopi?
Bahkan di hari kedua saat beberapa petani sudah minggat dari festival yang rencananya digelar hingga tanggal 8 Oktober itu, di grup peserta masih terjadi kesimpangsiuran informasi.
Begitulah festival kopi yang menurutku amat menyedihkan. Saat hari kopi sedunia, beberapa petani kopi merasa diterlantarkan nasibnya oleh panitia penyelenggara. Sementara itu ada juga peserta yang pindah lokasi menuju Istana Bogor, ngopi bareng bersama Presiden Jokowi di event yang berbeda. Beberapa petani yang kukenal dan tak mendapatkan undangan dari presiden, ya lebih baik pulang membawa uang hasil penjualan green bean.
ADVERTISEMENT
Begitulah pengalamanku menghadiri festival kopi yang singkatannya menjadi bahan canda para petani, "ikki loh..." sambil geleng-geleng kepala meninggalkan lokasi acara.