Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hoaks dan Permainan Buzzer Politik
23 April 2018 0:15 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Mataharitimoer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hoax (ho•aks) menjadi arus yang kuat di Indonesia saat ini. Saking kuatnya arus isu hoaks, sampai pemerintah menyikapi dengan berbagai kebijakan dan program. Polri belum cukup, ditambah BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) yang memulai kerjanya dengan kontroversi Hoaks Membangun. Alhasil, arus hoaks ini berhasil menggiring fokus Pemerintah, tergiring konsentrasinya oleh sebaran hoaks di media sosial.
ADVERTISEMENT
Siapa penyebar hoaks? Belakangan media memberikan perhatian pada sekelompok orang yang disinyalir sebagai penyebar hoaks di media sosial. Mereka disebut atau menamakan diri sebagai MCA (Muslim Cyber Army). Apakah MCA satu-satunya penyebar hoaks? Di sini kita bisa lihat penyataan melalui status facebook dari seorang yang mengaku sebagai anggota dan pembela MCA.
Tangkapan gambar ini menjelaskan bagaimana seorang yang mengaku anggota MCA di Facebook menjelaskan tentang siapa MCA dan cara kerja kelompoknya melalui postingan di Facebook plus kenapa mereka terbentuk, yaitu untuk mengimbangi Jasmev.
Menurutnya, kehadiran MCA adalah untuk melawan kedzaliman dan untuk mengimbangi sebaran hoaks yang dilakukan oleh para pendukung Jokowi, dalam hal ini disebut kelompok jasmev.
ADVERTISEMENT
Apakah situasi ini mengancam kesatuan negara republik Indonesia? Apakah situasi ini akan berpengaruh pada pemilihan presiden 2019?
Saya pikir, baik pendukung Jokowi maupun pembenci Jokowi, sedang saling serang di media sosial. Mereka sama-sama membuat media sosial di Indonesia riuh dan kadang ricuh. Kaitannya dengan pemilihan presiden 2019 ya jelas ada, sebab kegiatan mereka memang –menurut saya- sebagai bagian dari proyek kampanye politik kekuasaan. Saya menduga mereka masing-masing mempunyai kontrak politik dengan para kontestan pemilihan umum.
Mereka bukan netizen biasa yang biasanya membuat status tentang jalan-jalan, makan-makan, menyebar quote inspiratif, kisah lucu, dan segala foto-foto selfie. Mereka adalah netizen yang menyebarkan pesan untuk memenangkan jagoannya dalam merebut perhatian dan dukungan publik. Dalam bahasa kiwari disebut buzzer politik.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanannya yang namanya “perang media sosial” sudah tentu ada kondisi emosional sehingga beberapa postingan mereka dipicu bukan oleh akal sehat, tetapi oleh kemarahan. Dari situlah boleh jadi -karena kesal dan marah- mereka menghalalkan hoaks dan fake news sebagai cara untuk menyerang lawan.
Pada akhirnya apa yang mereka kerjakan mempengaruhi sebagian masyarakat. Dengan sukarela masyarakat bukan sekadar menjadi pendukung tokoh politik, bahkan sekaligus menjadi penyebar hoaks dan fake news.
Dampaknya bisa dirasakan sendiri, banyak yang konflik antar keluarga dan teman gara-gara sebaran hoaks dan fake news. Tidak sedikit netizen yang secara terang-terangan saling memaki dan akhirnya memutuskan pertemanan. Mereka menjadi pelaku penyebar hoaks sekaligus menjadi korban proyek politik ini.
Padahal ini adalah arena politik, bukan agama, suku, dan ras. Kekisruhan ini hanya berujung pada perebutan kekuasaan politik saja. Dan yang menyedihkan adalah, untuk kesekian kalinya, dalam setiap pemilihan kepala daerah (gubernur/bupati) dan pemilihan presiden, rakyat Indonesia mudah dipertentangkan hanya untuk kepentingan politik. Padahal mereka sadar bahwa kemenangan politik tak mengubah nasib mereka. Mereka tetap saja hidup miskin.
ADVERTISEMENT
Meskipun lapar, mereka tetap rela membela kandidatnya karena bukan karena program kerjanya tetapi karena semangat mengatasnamakan agama, ras, dan suku. saya berharap, pada akhirnya masyarakat indonesia mengerti bahwa mereka hanya dibohongi oleh para politikus, tim kampanye, makelar politik, dan buzzer politik.
Tapi entah kapan. Menyedihkan memang menyaksikan demokrasi kita masih seperti itu, masih sering jadi mainan makelar dan buzzer politik yang tentunya mendapatkan imbalan, untuk menggiring masyarakat secara sukarela dan militan dalam mendukung keberhasilan proyek politik mereka.