Konten dari Pengguna

Mana Ada Gen Z Nonton TV

Mataharitimoer
penulis, blogger, aktivis literasi digital
20 Mei 2025 22:40 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Kiriman Pengguna
Mana Ada Gen Z Nonton TV
sebuah esai tentang keterpurukan jurnalisme tv di era digital dan kemungkinan bertahan
Mataharitimoer
Tulisan dari Mataharitimoer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman yang disebut banyak orang sebagai senjakala jurnalisme. Media cetak, yang dulu jadi panglima kebenaran dan rujukan pemikiran, kini satu per satu meredup. Tak sedikit yang bangkrut, merger, atau sekadar hidup segan mati tak mau. Banyak halaman koran hanya tersisa untuk membungkus gorengan, bukan lagi untuk dibaca.
ADVERTISEMENT
Lalu muncul pertanyaan lanjutan yang masuk akal: Apakah senja ini juga menimpa televisi teresterial
Jawabannya: iya, tapi senjanya beda warna.
Kalau media cetak senjanya sunyi, senja televisi lebih mirip senja di tengah pasar malam. Ramai, gaduh, tapi pelan-pelan ditinggal juga. Anak muda tak lagi duduk manis di depan TV jam delapan malam menanti berita utama. Mereka lebih memilih membuka TikTok atau YouTube sambil rebahan, scroll video satu menit yang lebih seru dan lebih simpel dicerna.
Televisi tak lagi jadi rujukan utama, apalagi satu-satunya. Ia kini hanya satu dari sekian banyak sumber hiburan dan informasi di tengah lautan konten yang viral, cepat, dan bisa diputar ulang kapan saja.
Apakah ini artinya televisi mati?
ADVERTISEMENT
Belum tentu. Televisi masih punya daya. Ia punya infrastruktur, punya pengakuan legal, dan masih jadi saluran utama di banyak daerah. Tapi jelas, ini bukan zaman keemasannya. Ini adalah fase krisis dan reposisi.
Bukti paling nyata? Layoff. Pemutusan hubungan kerja massal di beberapa grup media besar adalah pertanda bahwa model lama sudah tidak relevan. Ketika iklan tidak lagi masuk sebanyak dulu, ketika rating tidak bisa dipertahankan, dan ketika orang-orang tidak lagi terikat pada jadwal siaran, maka televisi harus bertanya pada dirinya sendiri: siapa yang masih peduli padaku?
Di tengah pertanyaan besar itulah, muncul satu pertanyaan lain: Apakah aneh kalau ada yang bikin stasiun TV baru sekarang?
Kalau dilihat dari tren industri, ya, bisa dibilang nekat. Tapi kalau dilihat dari celah yang belum digarap, justru itu menarik. TV baru bisa lahir dari kesadaran bahwa media lama terlalu birokratis, terlalu sibuk memikirkan iklan, dan terlalu jauh dari publiknya sendiri.
ADVERTISEMENT
TV baru hari ini tidak perlu meniru model lama. Ia bisa lentur masuk ke platform digital, dari siaran ke TikTok tanpa merasa turun kasta. Ia juga bisa mengangkat suara komunitas, bukan sekadar menyorot elite yang itu-itu saja.
TV baru harus punya karakter dan identitas yang jelas, bukan cuma jadi panggung siapa yang bayar. Tentu saja, semua ini butuh perhitungan. Tapi bukan mustahil. Justru, saat televisi lain sibuk bertahan, TV baru bisa mulai membangun dari awal dengan fondasi yang lebih sesuai zaman.
Bagaimana strategi positioning-nya?
Pertama, pahami siapa yang ingin kamu ajak bicara. Bukan cuma umur, tapi juga pola pikir dan kebiasaan konsumsi kontennya.
Kedua, bangun kepercayaan lewat kejujuran dan otentisitas. Jangan sibuk tampil megah, tapi tak punya isi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kuatkan kehadiran lintas platform. Jadilah media yang hadir di tempat orang-orang berada, bukan memaksa mereka datang ke tempatmu.
Dan terakhir, pilih sisi yang benar, bukan yang paling aman. Karena dalam dunia yang penuh noise ini, media yang berani berbeda akan lebih diingat daripada yang sekadar ramai.
Senja memang datang. Tapi tak selalu berarti gelap. Kadang, senja adalah waktu terbaik untuk menyalakan cahaya baru. Yang penting tahu ke mana harus melangkah, dan tahu untuk siapa kita bicara.