Konten dari Pengguna

Saat Pejabat Halu AI

Mataharitimoer
penulis, blogger, aktivis literasi digital
3 Mei 2025 15:32 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mataharitimoer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari ini, Google Alert menyetorkan informasi ke surel saya, tentang pernyataan pejabat soal kecerdasan buatan alias AI. Saya membaca 3 pejabat yang membahas AI.
ADVERTISEMENT
Wapres Gibran bicara soal pentingnya AI diajarkan sejak SD hingga SMK, Menko Pratikno mewanti-wanti bahwa manusia tanpa AI bakal kalah dibandingkan dengan yang memakai AI, dan Wamen Komdigi Nezar Patria yang bilang Indonesia jangan hanya menjadi pengguna, tapi juga developer dan episentrum rantai pasok AI global.
Kedengarannya canggih, ambisius, dan mungkin bikin rakyat nganga sesaat. Tapi begitu ditimbang lebih realistis dan melihat kenyataan di lapangan, apakah ini visi yang realistis atau cuma halu?
Pernyataan Gibran tentang memasukkan AI ke kurikulum dari SD sampai SMK sebenarnya cukup progresif. Anak-anak memang harus dibekali sejak dini dengan pemahaman teknologi, terutama yang akan mendominasi masa depan kerja dan kehidupan sosial. Tapi di balik ide bagus ini, ada PR besar yang belum dibereskan: kesiapan guru, infrastruktur sekolah, dan literasi digital tak masuk kurikulum, dan teknologi pendidikan masih timpang di berbagai daerah. Banyak guru masih gagap membuka Google Drive, dan sebagian sekolah di pelosok belum punya akses internet dan listrik yang stabil. Ada lagi yang paling nggak stabil yaitu penghasilan mereka. Jadi memasukkan AI ke kurikulum tanpa memastikan ekosistem pendukungnya, ya halu.
ADVERTISEMENT
Coba lihat dulu pemerataan hak pendidikan di pelosok. Gak usah di daerah 3T deh. Di beberapa provinsi yang dekat dengan pusat pemerintahan aja masih banyak ketimpangan infrastruktur dan literasi.
Coba belajar dari program Makan Bergizi Gratis. Program yang maksain banget dan banyak persoalan. Saya malas bahas MBG. Lanjut!
Lanjut ke Pratikno, yang menyebut manusia tanpa AI akan kalah dengan yang menggunakan AI. Pernyataan ini nggak salah. AI memang mempercepat produktivitas, pengambilan keputusan, dan efisiensi di banyak sektor. Tapi kalau kita mikir lagi, apakah semua orang harus pakai AI? Apakah AI diciptakan untuk mengalahkan? AI cuma alat bantu. Ibarat kata, meskipun ada orang yang bisa pakai AI tapi kalau cuma jago nge-prompt video iklan animasi, kualitasnya tetap di bawah anak yang tanpa AI tapi punya skill animasi video yang ditempanya dengan kuliah dan banyak berkarya. Jadi, jangan terlalu mandang tinggilah sama AI.
ADVERTISEMENT
Pratikno juga menyebut pentingnya membangun AI yang sesuai dengan budaya dan ideologi nasional. Ini keren sih, tapi budaya atau kebudayaan?
Kadang pejabat kita anggap budaya itu cuma kesenian dan pakaian adat. Padahal budaya lebih dari sekadar nada dan ornamen. Budaya merupakan cara hidup dan berpikir masyarakat yang dinamis dan adaptif. Budaya jauh lebih luas daripada kebudayaan yang sering dipersempit maknanya jadi warisan seni tradisi. Budaya mencakup nilai, pola pikir, sistem kepercayaan, bahasa, perilaku sehari-hari, cara kerja, cara belajar, bahkan cara manusia merespons teknologi dan kekuasaan. Dari sini terbayang kan apa yang kita cerna saat ada yang bilang “AI yang berbudaya nasional”? Belum soal ideologi, tapi skiplah bahas ideologi di sini.
ADVERTISEMENT
Jadi selama pemerintah lebih rajin bikin peraturan dan seminar AI ketimbang mendanai riset independen, ya pernyataan Pratikno bakal jadi halu aja.
Pernyataan Nezar Patria mungkin yang paling futuristik. Ia bilang Indonesia harus jadi developer AI, bahkan jadi episentrumnya.
Kenyataanya jadi developer AI kelas dunia itu perlu modal jumbo: riset kuat, talenta unggul, ekosistem industri yang mendukung, dan tentu saja regulasi yang memberikan kebebasan berinovasi, bukan regulasi yang menghambat inisiatif karena takut sama kritik.
Sementara kita masih struggling dengan riset terbatas, SDM nguli ke luar negeri karena nggak dihargai di dalam negeri, dan kampus-kampus riset kita belum masuk peta AI dunia. Jadi kalau Indonesia mau masuk ke arena pengembangan AI, kita mesti jujur bahwa kita baru bisa mulai dari level basic dulu, bukan langsung nyebut diri episentrum. Meratakan saja dulu infrastruktur dan akses internet dari pusat kota hingga ke pelosok 3T, siapa tahu dari pelosok itulah muncul talenta digital yang bisa menciptakan solusi AI untuk masyarakatnya. Inisiatif lokal saya percaya lebih tepat guna dan tepat sasaran dibandingkan proyek pusat.
ADVERTISEMENT
Kalau mau dihitung pakai pendekatan realistis, dengan semua catatan PR yang harus diberesin, Indonesia baru bisa mewujudkan mimpi-mimpi pejabat tadi paling cepat di tahun 2035 sampai 2045. Itu pun kalau kita serius membangun infrastruktur digital secara merata, menyiapkan guru dan dosen, investasi riset yang tidak tanggung-tanggung, serta membangun regulasi dan sistem etika yang kuat. Tapi kalau semua ini cuma jadi bagian dari euforia tren AI, ya jangan harap bisa nyalip negara lain yang sudah jauh di depan. Pada saat kita baru siap jadi developer AI di tahun 2045, bayangkan negara lain yang saat ini menjadi pemain AI sudah seperti apa.
Namun menurut #imho, Indonesia sebenarnya tidak perlu berkompetisi di jalur yang sama dengan raksasa teknologi dunia. Kita bisa dan sebaiknya memilih jalur spesialisasi yang sesuai dengan kekuatan dan kebutuhan kita sendiri. Salah satunya adalah AI untuk pengolahan bahasa lokal. Dengan ratusan bahasa daerah yang kaya dan dinamis, Indonesia bisa menjadi pionir dalam Natural Language Processing (NLP) berbasis budaya. Bayangkan AI yang bisa bantu revitalisasi bahasa daerah, atau chatbot cerdas yang bisa mengajar bahasa Jawa, Batak, Bugis, atau Sunda, dan lain-lain di sekolah-sekolah. Jadi pengembangan AI sejalan dengan misi budaya.
ADVERTISEMENT
Bidang lain yang bikin keren Indonesia adalah pengembangan AI untuk penanggulangan bencana. Sebagai negara rawan gempa, tsunami, dan banjir, Indonesia punya kebutuhan mendesak untuk menciptakan sistem AI yang bisa mendeteksi, memprediksi, dan merespons bencana secara cepat. AI yang dibangun dengan pemahaman lokal, pola geografis unik, dan karakter sosial masyarakat bisa lebih efektif daripada teknologi generatif AI buatan luar. Di sinilah kita bisa menciptakan keunggulan yang relevan dan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Terakhir (karena kereta saya sudah mau sampai stasiun tujuan), mimpi pejabat kita soal AI bukan hil yang mustahal, tapi butuh komitmen jangka panjang, kerja keras lintas sektor, dan kesadaran untuk membumikan ambisi sesuai dengan kenyataan. Kalau tidak, ya kita akan terus jadi penonton di tribun digital, bersorak saat dunia mencipta platform AI baru, sementara kita masih sibuk urus tender fasilitas dasar sekolah yang macet di birokrasi.
ADVERTISEMENT