Konten dari Pengguna

Bahasa Gaul, Ekspresif atau Destruktif?

Nadia Larisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
15 Desember 2024 1:30 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Larisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Kala perkembangan zaman membuat bahasa semakin beragam. Terdapat hal yang kadang tak terpikirkan, bagaimana dampaknya terhadap nilai-nilai kehidupan? Apakah sebatas kebetulan yang tak direncanakan, ingin menyampaikan maksud dengan diksi yang anti mainstream, sengaja mengemas ekspresi yang tak bisa diutarakan secara blak-blakan. Atau kebalikannya, perlahan mengikis kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.
ADVERTISEMENT
Perkembangan zaman yang pesat telah membawa perubahan pada gaya berbahasa dalam setiap kelompok generasi. Bahasa gaul muncul seiring dengan menggilanya modernisasi. Umumnya bahasa gaul digunakan oleh kalangan remaja yang aktif bermain media sosial. Bahasa ini bersifat non formal dan hanya berseliweran dalam interaksi kawula muda.
Tentu penciptaan bahasa gaul adalah bagian dari bentuk kebebasan berekspresi. Dalam realitasnya, bahasa gaul dapat merekatkan hubungan dan sebagai tanda identitas diri dalam sebuah kelompok.
Format bahasa gaul juga bermacam-macam, contohnya akronim seperti ytta (yang tau tau aja), fomo (fear of missing out), fyi (for your information); gabungan kata seperti gercep (gerak cepat), mantul (mantap betul), jamber (jam berapa); kata dibalik seperti sabi (bisa), kuy (yuk), ngab (bang); kata plesetan seperti santuy (santai), gemoy (gemas), nolep (no life), salty (kesal).
ADVERTISEMENT
Maraknya penggunaan bahasa gaul merupakan buah dari terbukanya ruang teknologi dan informasi. Di dunia maya, setiap individu dapat berkreasi maupun mengadopsi sesuatu yang sedang tren. Hal ini memungkinkan cepatnya penyebaran bahasa gaul. Terlebih bagi anak muda saat ini, mengikuti arus tren seperti keharusan agar diakui oleh kelompoknya.
Generasi muda di era digital identik dengan karakteristik yang fleksibel, kreatif, dan menghindari hal-hal yang bersifat formal. Hal ini tercermin dari bahasa gaul yang umumnya bertujuan untuk efisiensi kata agar lebih mudah diucapkan atau diketik. Selain itu, bahasa slang atau gaul digunakan agar terlihat kekinian dan modern.
Namun, kekhawatiran muncul karena bahasa gaul dianggap potensial memudarkan bahasa Indonesia yang baku. Individu akan terbiasa menggunakan bahasa gaul dan mengesampingkan kata formal yang sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentu hal ini akan terjadi jika rendahnya rasa nasionalisme. Bahasa gaul tak akan menghancurkan bahasa luhur bangsa secara radikal. Kemunculannya tak terelakkan, sekadar menjadi hiasan perbincangan. Penggunaannya sah-sah aja asal tidak bertentangan dengan norma sosial. Namun, adanya peluang merusak tetap harus diwaspadai sebagai bentuk upaya mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia.
Semua kembali pada kesadaran individu untuk mengontrol diri dari ketergantungan pemakaian bahasa gaul. Kita bisa memulainya dengan melihat situasi untuk berbicara dengan bahasa gaul dan formal, serta memperdalam wawasan tentang kosa kata bahasa Indonesia dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.