Konten dari Pengguna

Melankolis 17 Agustus

Nadia Larisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
29 Agustus 2024 12:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Larisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun ini Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaan dengan setumpuk realitas yang masih jauh dari tujuan bangsa, sebagaimana isi Undang-Undang Dasar 1945. Tulisan yang dirumuskan susah payah, tetapi harus puas patah, hanya kokoh terucap saat massa tumpah ruah. Agustus bukan lagi tentang hari kemerdekaan, tetapi catatan sejarah terhadap pembangkangan, kelompok yang payah dan sesungguhnya tak punya daya, mengandalkan keberuntungan yang siapa sangka dijegal oleh suara tuhan.
ADVERTISEMENT
Nada-nada agustus semakin menyedihkan. Bagian mana yang dibahas? Korupsi, perpecahan, kemiskinan, adalah sedikit dari banyaknya isu 'usang' yang selalu meramaikan media massa. Rasanya terlalu normatif jika berbicara refleksi 17 agustus, kita bukan harus sekadar mengenang, tetapi bergerak untuk membuat perubahan substansial bagi Indonesia. Tentu perubahan tak bisa dimulai oleh satu dua orang, tetapi melalui semangat kolektif yang seharusnya dipimpin oleh seorang yang bijaksana. Tujuh belas agustus mengajarkan kepada kita betapa pentingnya memulai perubahan untuk Indonesia, negara yang lama berada ditangan bangsa lain, dan memutuskan tegak tanpa harus tunduk pada para penjajah. Namun dinamika yang terjadi tak selamanya membawa kita pada semangat yang sama, kepentingan-kepentingan politik menggerogoti cita-cita mulia, melahirkan ketidakadilan yang merusak kesakralan proklamasi. Hari kemerdekaan menjadi bukti betapa perkasanya golongan muda untuk memperjuangkan kebebasan. Keinginan Sutan Sjahrir agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan ditolak, hingga akhirnya ia dan golongan muda lain menculik dua tokoh bangsa tersebut ke Rengasdengklok. Sepucuk perlawanan yang akhirnya membuka rentetan peristiwa untuk membebaskan merah putih berkibar. Haru biru peristiwa proklamasi tak sebanding dengan harapan para tokoh agar bangsa ini tumbuh lebih baik serta mampu merangkai kehidupan yang adil dan makmur. Perjuangan mati-matian yang bangsa Indonesia dulu lakukan layaknya diikuti oleh generasi selanjutnya. Tetapi mengapa kini rasanya kemerdekaan menjadi hal yang mahal? Saudara kita di timur sana menjadi salah satu yang menanti pemerataan, ditengah fondasi kemerdekaan yang harusnya menyentuh seluruh sudut bangsa. Tetapi ketimpangan malah tak main kian terasa, justru lahan bagi 'mereka' untuk meraup kekuasaan. Sedih. Tentu. Persatuan yang susah payah dibangun hancur dirusak segelintir orang, bodohnya banyak dari kita yang sadar dan memilih diam. Indonesia kaya hanya omong kosong belaka, tak ada gunanya diagung-agungkan jika rakyat masih sengsara. Di depan mata kita masih mengandalkan tenaga kerja asing, lalu menyalahkan rakyat yang tak mampu bekerja, seharusnya berkaca sejauh mana negara hadir untuk memberikan pendidikan yang layak. Bahkan titik ketidakpercayaan sudah bermuara kepada mereka yang berjejer di kursi pemerintahan, paham prioritasnya bukan kepentingan rakyat, tetapi dirinya dan lingkarannya, layaknya drama politik yang hari-hari ini tersaji. Entah mereka yang terlalu cerdas atau kita yang terlalu culas, semua dipertontonkan secara telanjang. Kita dianggap bodoh, pun kita memilih diam. Betapa 17 agustus penting untuk membuka mata, tentang harapan dari perjuangan yang menghabiskan jutaan nyawa, bukan malah melanggengkan praktik korupsi apalagi menghancurkan demokrasi. Kemerdekaan bukan definisi tentang duit yang dipakai untuk antar-jemput para pejabat, menyambut insan berprestasi untuk kepentingan pribadi, dan suka-suka menumbuhkan intoleransi dalam pengibaran merah putih. Kemerdekaan adalah memberikan hak yang sama kepada semua orang, tanpa adanya kelas, apalagi batasan yang diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Indonesia bukan dibentuk untuk memerdekakan satu golongan dari keberagaman yang ada, bukan pula hanya untuk segelintir orang dan sisanya hanya menunggu belas kasihan, dimanfaatkan sebagai media pencitraan. Negara harus hadir untuk kesejahteraan rakyat, bukan dengan sekadar memberi materi, lebih penting dari itu menyediakan jalan untuk meraih kemakmuran, jangan hanya diperas pajaknya. Kualitas tercipta dari rencana yang serius, proses yang panjang, perjuangan yang berat, dan pengorbanan yang besar. Bisakah sistem politik kita herorientasi demikian? Faktanya puncak kekuasaan masih memperebutkan hal-hal tak perlu, jelas siapa yang untung, entah kapan berlalu. Jika hal mendasar dalam definisi kemerdekaan saja belum dipahami, bagaimana bisa kita merayakan 17 agustus dengan sukacita. Sedangkan para terdahulu yang tak gentar melawan penjajah menahan gentar menyaksikan Indonesia kembali dijajah, bahkan oleh bangsa sendiri. Memulai kembali yang telah hilang bukan pekerjaan mudah, pun melanjutkan sesuatu yang bermanfaat ditengah dinamika zaman. Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang bukan lahir dari rahim kecurangan, tetapi murni dari perjuangan yang panjang, yang teruji, melapangkan dada untuk dicaci, menuntun bangsa menuju gerbang kemerdekan. Sampai kapan kita kembali menemui hari kemerdekaan dengan rasa yang sama, rasa takut dan ketidakadilan. Terlalu panjang untuk Indonesia tak lepas dari belenggu penjajahan, bukan sekadar merah putih yang semaunya berkibar, tetapi keadilan yang tak pandang bulu untuk seluruh lapisan masyarakat.
ADVERTISEMENT