Konten dari Pengguna

Mengikis Beras Sentris

Nadia Larisa
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
7 Oktober 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nadia Larisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras sebagai bahan makanan pokok sudah menjadi rahasia umum. Dominasi nasi putih sebagai sumber karbohidrat membuat banyak orang terbiasa baru merasa kenyang setelah mengonsumsinya. Lambat laun kebiasaan tersebut mendatangkan mimpi buruk bagi ketahanan pangan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini sekaligus mengindikasikan bahwa Indonesia sulit mengembangkan diversifikasi pangan yang seharusnya sudah diseriusi beberapa tahun belakangan. Masalahnya bukan sekadar ketidakmampuan produksi beras lokal memenuhi permintaan, tetapi komitmen
Gambar Beras. Sumber: Pixabay
pemerintah dan sumber daya manusia yang patut dipertanyakan.
Jika ditarik lebih jauh, beras memiliki keterikatan emosional dengan masyarakat Indonesia. Banyak hidangan khas nusantara yang menjadikan olahan beras sebagai primadona, baik sebagai menu utama maupun pelengkap. Namun, perlu digaris bawahi Indonesia memiliki beragam pangan lokal dengan nutrisi tak kalah kaya yang dapat menggantikan beras, seperti singkong, jagung, ubi, dan lainnya.
Letak geografis yang strategis tak heran membuat Indonesia diperebutkan sedari lama. Dahulu belenggu perbudakan menghantui rakyat jelata, termasuk paksaan untuk menanam padi. Oleh karena itu, perjalanan historis beras yang membekas membuat rakyat Indonesia rutin mengonsuminya. Bahkan, sejarah mencatat program swasembada beras selalu menjadi salah satu prioritas rezim yang berkuasa.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pertanian mencatat poduksi beras nasional per Januari sampai Oktober 2024 mencapai 26,93 juta ton. Di sisi lain, meningkat dari tahun sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan dari Januari sampai Agustus 2024, Indonesia melakukan impor beras dengan total 3,05 juta ton. Angka yang fantastis untuk negara yang dijuluki negara agraris. Siklus ini merupakan buah dari kompleksnya masalah beras yang melibatkan hajat hidup orang banyak.
Sampai kini, upaya serius pemerintah terus dinantikan agar Indonesia mampu keluar dari bayang-bayang masalah pangan. Contohnya dalam mengatasi rendahnya pendapatan petani padi karena kontradiktif dengan harga beras yang cenderung mahal. Padahal, produksi beras yang berasal dari padi adalah hasil tangan dingin kaum petani.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, tahun ini pemerintah Indonesia menggelontorkan anggaran sebesar 108,8 trililun untuk ketahanan pangan. Rencananya tahun 2025, anggaran akan ditingkatkan menjadi Rp124,4 triliun. Angka ini masuk akal jika dikaitkan dengan berbagai aspek guna mewujudkan ketahanan pangan di tengah ancaman krisis pangan global.
Obsesi terhadap beras melekat kuat dalam keseharian masyarakat Indonesia. Akibatnya timbul berbagai masalah berkepanjangan, seperti ketimpangan gizi, diversifikasi pangan rendah, dan lainnya. Hal ini kemudian berimbas terhadap kualitas sumber daya manusia, terlebih zaman sekarang kekayaan alam tak lagi menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa. Asupan gizi beragam yang bernutrisi menjadi kunci penting untuk menciptakan manusia yang sehat dan bermutu. Selain itu, masyarakat tidak bisa konsisten bergantung pada satu poros pangan, mengingat situasi zaman yang sulit diprediksi.
ADVERTISEMENT
Tingginya permintaan nasi membuat impor beras sulit dihindarkan sehingga ekonomi Indonesia belum mampu stabil. Pemerintah cenderung menyelesaikan hal-hal depan mata dengan cara instan, sehingga akar permasalahannya tidak tersentuh. Salah satu yang perlu mendapatkan atensi lebih adalah kesejahteraan petani.
Banyak negara lain yang menghargai jerih payah petani sehingga profesinya tak dipandang sebelah mata. Realita ini berbanding terbalik dengan Indonesia, dalam kalangan anak muda, profesi petani identik dengan kemiskinan sehingga keberagaman produksi pangan sulit dikembangkan karena pelaku yang sedikit.
Permasalahan diversifikasi pangan erat kaitannya dengan inovasi pangan. Indonesia memiliki bermacam-macam olahan kearifan lokal yang dapat menggeser nasi sebagai makanan pokok. Di era modern, teknologi dapat menunjang pengolahan makanan menjadi beraneka cita rasa sehingga lebih mudah digemari.
ADVERTISEMENT
Mengulik lebih dalam, singkong adalah salah komoditas pangan yang berpotensi tinggi menjadi alternatif pengganti nasi. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil singkong yang diperhitungkan dunia. Data Kementerian Pertanian Indonesia mengungkapkan pada tahun 2023 produksi singkong di Indonesia mencapai 18,28 juta ton. Pemerintah bisa mulai menyeriusinya dengan target-target pendek yang berkelanjutan.
Tradisi bergantung pada nasi harus dihilangkan demi terciptanya variasi produk pertanian dan keseimbangan pasokan yang terjaga. Dinamika zaman dan perubahan iklim bukan tidak mungkin membawa beras pada keterbatasan, ujung-ujungnya impor kian membengkak dan mengancam perekonomian bangsa.
Kerangka masa depan pertanian Indonesia semestinya dirancang dengan pendekatan yang berorientasi pada gerakan gotong royong. Dalam konteks ini, kesehatan lingkungan dan kepentingan orang banyak harus diutamakan. Namun, dalam hal teknologi, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan modern guna menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam proses produksi.
ADVERTISEMENT
Diversifikasi pangan yang rendah disebabkan kurangnya wawasan. Pemerintah terus berusaha mendobraknya melalui berbagai program unggulan dan kampanye, contohnya Gerakan Diversifikasi Pangan Lokal yang digalakkan di berbagai daerah. Akan tetapi, efektifitas masih menjadi persoalan. Dibutuhkan konsistensi penyuluhan yang adaptif karena latar belakang masyarakat Indonesia yang majemuk. Mengandalkan nasi untuk kenyang adalah pola pikir yang harus diperbaiki step by step. Tentu membutuhkan proses untuk mengubah doktrin dan kultur yang sudah didapatkan sejak dini. Selain betujuan menyehatkan tubuh diri sendiri, diversifikasi pangan menjadi modal besar untuk meningkatkan pendapatan negara. Dengan produksi pangan yang beragam, Indonesia dapat meminimalisir impor dan membuka keran ekspor. Salah satu penyebab tidak terciptanya keberagaman pangan adalah kusutnya sistem politik. Kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam mengendalikan sistem pangan. Pemerintah memiliki kuasa untuk menata wajah pertanian. Oleh karena itu, pemerintah harus memperluas ruang-ruang edukasi dan memiliki target-target yang realistis. Untuk menciptakan diversifikasi pangan, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri dan harus berkerja sama dengan stakeholder, contohnya menggandeng pihak kampus untuk mengembangkan teknologi. Pemerintah tidak cukup sekadar memberikan himbauan agar masyarakat tak melulu mengonsumsi nasi. Sektor pertanian membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan orang-orang berkapabilitas yang berkecimpung di dalamnya. Di era digitalisasi, pemerintah dapat berfokus merancang program pangan berbasis teknologi untuk memudahkan implementasi produksi, distribusi, dan edukasi. Selain itu, pemerintah juga harus membiasakan diri untuk berkolaborasi. Hal ini bertujuan merealisasikan kesadaran diversifikasi pangan tiap individu di seluruh pelosok negeri.
ADVERTISEMENT