Jurnalisme Cantik dan Kenikmatan Mengeksploitasi Kulit Mereka Yang Lebih Merona

Mateus Situmorang
Manusia purna waktu. Desainer paruh waktu.
Konten dari Pengguna
3 Maret 2017 23:55 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mateus Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jurnalisme Cantik dan Kenikmatan Mengeksploitasi Kulit Mereka Yang Lebih Merona
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Entah cuma aku atau kamu juga. Pemberitaan cantik benar-benar membuat gerah. Mengeksploitasi kulit semata demi kepuasan indera sekejap saja. Suatu hari, lekukan hidung, mulusnya pipi dan rona merah pada bibir seorang polisi (yang ditakdirkan) wanita akhirnya jadi lebih penting ketimbang apa perannya hari itu di lokasi kejadian.  Menenteng kamera fancy yang sebesar bazooka, entah siapa yang mungkin bertanya padanya, bagaimana hasil fotonya? Kejadian apa yang telah diabadikannya dalam tombak digital yang kelewat mahal untuk sebagian besar orang itu? Adakah sang kamera turut mengejang saat tangan mungil nan lentik sang polisi wanita melepaskan perintahnya yang kemudian membuat kualitas fotonya jadi berbeda? Tak ada yang peduli, tak ada yang mau peduli. Pada akhirnya, segala eksistensinya selama dua dekade dipampatkan dalam untaian rekam momen dirinya yang tak bergerak. Segala intelejensia dan tingkah lakunya selama dia bernafas berebut oksigen dengan kita-kita tak lagi berarti. Dia cantik. Karenanya dia terkurung dalam jeruji emas yang kita berikan. Tapi dia terlihat senang. Begitu yang kulihat dari pemberitaan. Wajahnya terpampang dimana-mana. Pula diwawancara oleh televisi ternama. Dia nampak bahagia. Karena dia cantik. Bukan karena dia polwan, bukan pula karena dia telah terlibat dalam sebuah gerakan penumpasan teroris atau sekedar menjaga ketertiban dalam masyarakat.  Hari ini baru kulihat 600 orang calon polwan muda sekali, yang akan mendapat penugasan dalam tiga hari ke depan. Lalu mendadak usil kepalaku berpikir, jika apresiasi untuk polwan hanyalah putih kulitnya, berapa dari mereka yang kelak akan sibuk menabur-nabur bedak warna-warni di pipinya ketimbang membantu menyeberangkan nenek tua di bawah panas matahari? Berapa pula yang akan sibuk membuat video selfie bernyanyi-nyanyi ketimbang mengajarkan para awam untuk mengerti hukum dalam masyarakat yang paling dasar? Tentu bukan hak siapapun untuk menghakimi masa depan. Tapi siapa bisa menyanggah, bahwa pergeseran nilai idola tentu berakibat besar pada cita-cita anak muda? Sialnya semua itu di tangan kita. Lalu apa sebabnya?  Bisa jadi karena kita lelah. Dengan segala jenis berita absurd yang tak berkesudahan, dengan perang kata dan ejekan-ejekan kontraproduktif yang berseliweran dalam terowongan hitam dunia maya. Si cantik jadi pelarian. Dan polisi wanita yang amboi jelita itu bukan dalam posisi ideal untuk bisa menolak segala puji-puji-romantis-sekali yang singgah pada diri.  Dan polisi wanita setelah dirinya tak akan kuasa pula untuk tak mengingini segala puja puji yang (mungkin) bisa diterimanya. Hanya jika, dan hanya jika, dia cantik. Ah, duhai Rembulan, sungguh dia manis dilihat. Namun aku ragu, apakah dia pantas diingat.
ADVERTISEMENT