Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Terbakar Foti di Nusa Lontar
4 Desember 2017 12:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Mateus Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Deretan pohon lontar menjadi saksi bagaimana Ba’i Marthen menaklukkan malam. Kakinya menggeliat liar, menerabas pasir halus yang berserakan sementara tangannya mengencangkan ikatan selimut Rote yang melingkar di pinggang. Dentuman tambur dan gong turut beriringan mengaum kencang, merayap ke ubun-ubun, lantas meledak di lautan bintang yang akbar. Orang tua itu menggila sembari foti.
ADVERTISEMENT
---
Jika kau sempatkan waktu ke Pulau Rote, jangan biarkan dirimu terlelap saat malam tiba. Sebab jika kau beruntung, kan kau dapatkan kemeriahan pesta di hampir setiap sudut desa.
Well, karena di sini, pesta apa saja ada. Mulai dari pesta ulang tahun, kelahiran, perkawinan, kematian, hingga pesta perayaan naik kelas anak sekolah. Pesta khas orang timur yang penuh dengan musik yang riuh, tari yang menghentak dan tak lupa, sopi — sajian arak dari pohon lontar.
Dua tahun lalu, aku berkesempatan merantau ke sana. Pesta, kujadikan momentum untuk berbaur dengan orang Rote. Ramah benar mereka. Berdansa dan bernyanyi bersama, mulai siang hingga sering sampai gelap malam menghampiri. Namun dari semuanya itu, tak ada yang menarik hatiku lebih daripada foti, tarian kemenangan Rote Ndao.
ADVERTISEMENT
---
Tarian foti hanya dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan perempuan, akan melakukan lendo — yang artinya juga menari. Dua jenis tarian ini biasanya ditampilkan bergantian, sehingga sering disebut foti lalendo.
Jika lendo ditarikan perempuan berjumlah genap, dua sampai enam orang bersamaan, maka foti hanya bisa dilakukan satu orang pria saja dalam satu waktu. Itu pun tak sembarang.
Dalam acara adat, maneleo (pemimpin suatu marga) akan membagikan ti’ilanga, topi unik rajutan dari daun lontar, dan tenun Rote pada pria-pria yang dipercayakan untuk melakukan tarian ini. Ti’ilanga sendiri adalah simbol kepemimpinan, jadi menerima ti’ilanga seharusnya dianggap sebagai kebanggaan. Penolakan pada akhirnya jarang (atau tak boleh) terjadi.
Semarak bunyi gong kei daek yang khas menjadi pertanda bahwa foti segera dimulai. Karena foti harus dilakukan sendiri, maneleo akan memberi isyarat jika giliranmu tiba. Dan saat itu terjadi, kau harus pastikan tenunmu sudah terikat kuat di pinggang dan kepalamu sudah mantap bermahkotakan ti’ilanga. Beri hormat sekali pada penonton dan berjayalah dirimu di arena.
ADVERTISEMENT
Menari foti, sesungguhnya susah-susah gampang. Sebab tarian ini tak punya pakem yang jelas selain mengikuti pukulan tambur dan gong. Mayoritas penari akan mempermainkan hentak kakinya sembari memutar pinggul, bahu bahkan kepala. Membiarkan tubuhnya dikontrol oleh adrenalin yang membuncah.
Semua ini dilakukan sambil menjaga keseimbangan ti’ilanga, sekaligus mengibaskan tenun di pinggang. Selintas seperti ayam jantan hendak kawin. Tapi itu tak mesti, beberapa pria menari foti dengan anggun saja.
Semenjak pertama mengenal foti, aku lalu menarikannya di hampir setiap kesempatan. Jam terbangku jadi tinggi, karena muka asingku menarik perhatian para tua-tua (di pesta biasa, maneleo dapat digantikan orang lain, biasanya orang yang dituakan untuk membagikan ti’ilanga). Aku juga kadang memilih tempat yang dekat dengan “panggung”, yah agar kebagian jatah foti tentunya. Jadilah aku hampir selalu kebagian giliran.
ADVERTISEMENT
Gayung bersambut. Orang-orang desa, tentu saja senang bukan main melihat seorang pendatang memainkan tarian mereka dengan lebih belingsatan pula. Foti bagaikan salam persahabatan, yang meleburkan sekat antara pendatang dan empunya tanah. Malam demi malam di mana aku foti, mereka turut eki — meneriakkan kata-kata khas (Koa! Ihiy!) dengan nada yang tajam melengking — seperti seringai kuda betina yang memanggil jantannya. Alhasil, aku semakin gila saja.
Sensasi menari foti tak hanya dirasakan oleh orang dewasa. Anak-anak SD setempat pun turut melakukannya. Mereka kerap mempertontonkan tingkahnya foti saat jam istirahat atau saat kelas kosong ketika guru tak masuk. Tentunya tanpa atribut lengkap. Hanya seragam putih merah dan kaki ayam modalnya.
Untungnya, pemerintah daerah sadar akan pentingnya kearifan lokal ini. Foti dan tarian tradisional lain masih sering diperlombakan. Tarian foti pun acap kali menjadi ujian praktek pelajaran seni budaya di sekolah-sekolah dasar di Rote Ndao.
ADVERTISEMENT
Saranku, sekali saja dalam hidup, cobalah foti. Karena lewat foti, kejantananmu benar diadu. Menghentak tanah, menari sendirian di tengah kepungan massa, dentuman gong dan tambur yang bergantian, mentalmu haruslah sekuat-kuatnya baja.
Itulah kenapa, Ba’i Marthen tak hendak menolak foti. Dengan pipi yang kempot dan tubuhnya yang renta, malam itu dia buktikan diri. Rentetan umur yang panjang tak akan sanggup memaksanya duduk diam di sebuah pesta. Dia pilih terbakar foti di bawah kilau cahaya.