Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Melihat Musisi Remix dalam Tinjuan UUHC
21 November 2022 17:26 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ahmad Mathori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Belantika musik Indonesia sedang menghiasi penjuru Tanah Air melalui gelaran konser secara langsung, tidak sedikit pula grup band/solo musisi lawas yang kembali memuncak beriringan dengan (musisi) pendatang baru dari berbagai genre, dan bahkan naik pula ke permukaan sekelompok muda yang hanya bermodalkan menyusun dan mengkombinasikan ulang lagu ciptaan orang lain atau biasa dikenal dengan istilah (me-remix).
ADVERTISEMENT
Fenomena yang menurut sebagian orang sebagai nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat, nampak belum sepenuhnya menutupi kebisingan penonton yang acuh untuk memantaskan keberlakuan peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang berlaku memayungi Hak Cipta tertuang dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dimana inisiasi dimulainya berlaku peraturan ini sebab meratifikasi hasil Konvensi Bern (1886) - perjanjian internasional yang tertua dibidang hak cipta dan terbuka bagi semua negara untuk di ratifikasi-, mengutip dari Jurnal Kencana Dua (Vol. 6 No.1, Maret 2016), sementara Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997 mengesahkan Berne Convention dengan reservation (persyaratan) atas Pasal 33 ayat (1) (Pasal 1 Kepres No. 18 Tahun 1997).
Diantara pokok pembahasan yang tertuang dalam UUHC, Pasal 1 poin 6 memaparkan terkait definisi Pelaku Pertunjukan, yang dimaksud Pelaku Pertunjukan adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan dan mempertunjukkan suatu Ciptaan (Lihat UUHC). Pada bagian inilah yang menjadi fokus penulis karena melihat geliat fenomena perhelatan pertunjukan musik yang menampilkan beberapa musisi dengan format menyusun dan mengkombinasikan ulang musik orang lain.
ADVERTISEMENT
Musisi remix dan Modifikasi Ciptaan
Musik dengan format remix mulai berkambang pada pertengahan abad ke-20, terinspirasi dari Dadais, Erik Satie coba menciptakan bentuk awal musik ambien/latar belakang yang kemudian dia beri label ‘musik furnitur’. Digambarkan sebagai jenis musik yang dapat dimainkan saat makan malam untuk menciptakan suasana latar belakang aktivitas itu, daripada berfungsi sebagai fokus perhatian (en.wikipedia.org, November 2022).
Pergerakan masif yang tercipta dari akar rumput hingga menjadi sebagai trendsetter menandakan format remix mulai diminati masyarakat. Di Indonesia sendiri, NET TV melalui program ‘The Remix’ (Oktober 2015) menjadi penyumbang menggeliatnya perkembangan musik dengan format seperti ini.
Perkembangan tersebut menyasar pada sebuah inovasi yang menghadirkan alternatif dari sebuah lagu, seperti misalnya, musisi remix akan membawakan sebuah lagu dari musisi A yang mempunyai genre jazz kemudian di remix menjadi genre techno, dinamika diskusi piublik berpendapat tentang keorisinalitasan musisi tersebut.
ADVERTISEMENT
Karena bagaimana hal tersebut tidak menuai diskusi panjang, sebab musisi dengan format remix ini terbuai oleh kerumunan penonton yang menyukainya, penonton dimanjakan dengan seubah lagu (yang hanya disukai) dari musisi aslinya, untuk kemudian menonton musisi remix yang hanya membawakan lagu tersebut.
Salah satu yang sedang menjadi trend adalah penampilannya ‘Feel Koplo’, grup musik duo asal Bandung yang memulai karirnya tahun 2018 digawangi oleh Tendi Ahmad dan Maulfi Ikhsan, dengan motivasi memeriahkan kerumunan penonton agar suasana kebahagiaan membanjiri setiap perhelatan yang digelar, dan mengingatkan banyak orang bahwa kita memiliki kekayaan budaya dalam belantika musik, yakni musik dangdut, dengan jargon ‘semua akan koplo pada waktunya -walau ada perbedaan antara format musik dangdut dengan format musik koplo- membuat grup musik duo itu kini diminati masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pola merubah format sebuah lagu itu masuk dalam kategori ‘modifikasi ciptaan’ menurut Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang dalam undang-undang memberi Batasan dengan syarat mencantumkan nama pelaku pertunjukan dan tidak boleh melakukan distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal-hal yang dapat merugikan kehormatan diri.
Hal mana Undang-undang memperhatikan nilai ideal yang berlaku di masyarakat terkait hak cipta, dipertegas dalam pasal selanjutnya terkait pembahasan Hak Ekonomi bagi Pelaku Pertunjukan, diantaranya: (a) penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; (b) Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan; (c) Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan (d) penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
ADVERTISEMENT
Dinamika Industri Musik
Pencipta ditempatkan di tempat yang tinggi dalam konteks Hak Cipta, hal demikian dituju agar siapapun wajib untuk menghargai jerih payah yang sudah dilakukan oleh Pencipta atas karya yang sudah diwujudkan tersebut, berkaitan dengan apa yang dilakukan ‘Feel Koplo’ secara garis besar telah membawa format musik berupa me- remix ciptaan orang lain tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana dalam setiap momentum panggung ‘Feel Koplo’ hanya menunaikan beberapa poin dalam pasal yang tertuang di UUHC.
Bahkan kalau kita amati sekilas saja, format me- remix musik ini tergolong ke dalam modifikasi juga mutilasi ciptaan, sehingga pada UUHC disebut sebagai sebuah pelanggaran.
Tapi industri musik melalui konser musik tanah air yang baru saja bangkit dari tidur panjangnya, menjadi jargon utama menutupi segala tindak kecurangan yang dilakukan oleh beberapa orang/kelompok musisi, alih-alih UUHC ditempatkan sebagai perlindungan kepada pencipta agar terciptanya iklim kesejahteraan yang dirasakan oleh banyak pihak, justru distorsi makna ‘demi kesejahteraan’ mendorong upaya menghalalkan segala tindak berjalannya sebuah pertunjukan musik.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, sebagai pembelajar, mempelajari nilai substantif yang terkandung dalam sebuah norma ataupun bentuk kerja sangat perlu mengenal setiap tiang-tiang yang menjadi penyanggahnya, seperti kita tahu geliat masif pertunjukan musik yang menghiasi industri musik pasca pandemi distatuskan menjadi epidemi, membawa sebuah pesan kegembiraan di akar rumput.
Tapi barangkali jika merunut pada peraturan perundang-undangan –tujuan terciptanya ideal-, maka hemat penulis jika format pembawaan musik seperti yang dimainkan oleh ‘Feel Koplo’ tetap perlu dipertahankan sebagai bentuk instrumen hiburan rakyat, maka hendaknya se pihak yang terkait dengan lahirnya penciptaan sebuah lagu harus dilibatkan (kalau dipaksakan).
Walau langkah ideal lainnya adalah dengan mendorong penghentian pertunjukan mereka -me-remix lagu orang-, tetapi dengan tujuan untuk menegakkan amanat perundang-undangan yang menjaga kehormatan (musisi) pencipta, dan juga agar band yang digawangi Tendi Ahmad dan Maulfi Ikhsan itu lebih meningkatkan lagi tingkat ciptaan yang secara otomatis kontribusi mereka akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dunia musik Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Undang-undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta