Konten dari Pengguna

Menakar Potensi Indikasi Geografis Negara Maritim

Ahmad Mathori
Pemerhati Hak Kekayaan Intelektual
13 April 2023 17:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Mathori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ikan dan terumbu karang warna-warni menghias alam bawah laut Raja Ampat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ikan dan terumbu karang warna-warni menghias alam bawah laut Raja Ampat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
“Nenek moyangku seorang pelaut...”
Penggalan lirik yang membuat kita teringat akan masa kecil saat diajarkan untuk menyanyikan lagu tersebut oleh bapak/ibu guru kita di sekolah dasar. Sekilas makna yang tampak dari lagu tersebut merupakan penggambaran identitas dari bangsa ini yang dulunya adalah seorang pelaut.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, selain penggambaran identitas dari bangsa ini. Hemat saya, makna lain yang cukup relevan adalah kita hidup di negara yang didominasi oleh wilayah laut, makanya banyak literatur yang mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara maritim.
Penyematan negara maritim juga membangun komunikasi implisit yang arahnya pada kekayaan sumber daya alam laut kita. Membentang seluas 3.257.357 km2, kekayaan laut Indonesia diperkirakan mencapai 20.000 T menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Besaran angka potensi yang mampu dicapai RI agaknya belum disadari sepenuhnya oleh masyarakat kita, karena ternyata jumlah nelayan di Indonesia hanyalah 5,23 juta jiwa saja. Padahal kekayaan sumber daya alam laut merupakan salah satu instrumen peningkatan nilai ekonomi melalui hak kekayaan intelektual komunal dengan cara melakukan pencatatan indikasi geografis kepada Kemenkumham.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh; Kopi Gayo asal daerah berjuluk serambi makkah itu, mereka berhasil memaksimalkan potensi alam menjadi sebuah kekayaan komunal dan berhasil menembus pasar global. Sebenarnya tidak hanya Kopi Gayo, banyak contoh lain dari kekayaan intelektual komunal yang berhasil menaikkan nilai ekonomi daerah tertentu. Seperti; Nanas Subang, Bandeng Asap Sidoarjo, Mebel Ukir Jepara, dan lain-lain.
Namun, dari arsip elektronik kemenkumham yang menyebutkan jumlah indikasi geografis, kekayaan laut nampak belum terekspos secara maksimal. Pasalnya hanya produk serupa garam dan juga budidaya ikan air payau yang ada.
Tidak hanya itu, belum lama dikabarkan bahwa BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) mengelola sebanyak lebih dari 2500 kekayaan intelektual. Namun lagi, indikasi geografis tidak tersebut dalam laporan tersebut.
ADVERTISEMENT

Katanya Negara Maritim

Nelayan mengangkat ikan hasil tangkapan di Pelabuhan Dadap, Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/1/2023). Foto: Dedhez Anggara/Antara Foto
Belum dapat maksimalnya potensi kekayaan alam laut negara kita barangkali disebabkan oleh sumber daya manusia yang kurang mumpuni. Khususnya dalam merespons kelambatan proses pemaksimalan potensi kekayaan laut yang berpotensi menjadi kekayaan komunal serta masuk dalam kategori indikasi geografis.
Hemat saya, dengan menambahkan fokus pada peningkatan SDM di kantor wilayah kemenkumham daerah pesisir agaknya akan dapat berpotensi menaikkan nilai tambah di sektor ekonomi. Sebab, berbicara kekayaan intelektual komunal, tentu berbicara juga tentang hak ekonomi yang didapatkannya.
Peran penting dari kanwil kemenkumham perlu ditingkatkan ke ranah yang lebih teknis, sehingga kasus seperti yang terjadi di NTB tidak lagi terulang. Sebagai informasi, beberapa tahun lalu, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB mendorong Mutiara Lombok sebagai komoditas indikasi geografis. Namun saat dilakukan pengecekan lebih dalam terkait dengan berkas deskripsinya, pihak terkait yakni Kemenkumham harus menyerahkan kembali berkas tersebut karena terdapat beberapa kesalahan.
ADVERTISEMENT
Barangkali karena ruang lingkup kemenkumham yang sifatnya hanya sebagai pencatat aset dan memastikan perlindungan hukumnya saja, sehingga tidak cukup tepat jika memberi mandat kepada Kemenkumham untuk melakukan pengawalan yang lebih teknis.
Lalu agar tidak hanya utopis, pengawalan lebih rigid pada sektor peningkatan potensi indikasi geografis melalui kekayaan alam laut kita dapat dicapai dengan cara Kemenkumham menyambung kerja sama dengan pihak lain yang sesuai dengan kompetensinya di bidang kelautan dan perikanan.
Berbicara dampaknya, kita berandai-andai tentang skema bola salju dalam konotasi positif. Pertama, jika konstruksi konsep peningkatan potensi nilai tambah dari indikasi geografis berhasil direalisasikan secara matang, maka akan tercipta iklim kepedulian terhadap sumber daya alam laut.
Kemudian di ranah sosial kemasyarakatan, dari berhasil diangkatnya nilai-nilai setiap wilayah pesisir, akan mendorong pilihan menjadi nelayan bukanlah hal yang bersifat mendesak saja, namun dicitakan guna membangun ketahanan ekonomi negara. Apalagi beberapa kabar yang menggambarkan kehidupan nelayan tidaklah menarik, selain faktor kesejahteraan, kepastian perlindungan diri mereka juga tidak ada yang mampu memastikan, buktinya beberapa kali terdengar kabar tentang beberapa nelayan yang ditangkap oleh keamanan perairan pihak asing.
ADVERTISEMENT
***
Terlebih, pesan luhur “gemar mengarungi luas samudera,” mencerminkan peranan nelayan kita yang cukup signifikan dalam membentuk peradaban bangsa ini.
Maka, ketahanan laut dapat menjadi prioritas gerak pemerintahan. Hal tersebut juga sangat berkorelasi dengan kampanye, “one village, one brand”, yang diinisiasi oleh Kemenkumham sebagai roadmap di tahun 2023 ini.