Konten dari Pengguna

Mendisrupsi Standar Ganda dengan Basis Produktivitas

Ahmad Mathori
Pemerhati Hak Kekayaan Intelektual
27 Juni 2023 22:19 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Mathori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Saat sedang asik-asiknya melakukan kegiatan atraktif menggulirkan jemari tangan di atas ponsel pintar guna mengarungi lautan maya, muncul satu poster iklan yang memuat informasi lowongan kerja di sebuah perusahaan akomodasi. Kemudian saya membacanya, mulai melihat persyaratan dan kebutuhan perusahaannya –bagi saya tidak penting akhirnya saya ingin melamar di sana atau tidak. Tapi sebentar, kok, kaya ada yang kurang sreg, dimana terdapat poin dalam persyaratan yang menyebutkan “Berpenampilan Menarik”.
ADVERTISEMENT
Setelahnya segera saya mengintip isi obrolan pada kolom komentar unggahan iklan tersebut, ramai sekali keriuhan yang tercipta dari para netizen untuk mengeluarkan opininya tentang salah satu syarat berbunyi, “Berpenampilan Menarik”.
Seolah memberi tanda bahwa kehidupan di dunia modern seperti sekarang ini, rasa-rasanya pemberlakuan standarisasi atas berbagai hal kerap santer terjadi, salah pengertian sedikit, dapat membuat kita terjerumus dalam perilaku ketidakadilan, misalnya; standarisasi yang nggak fair, yakni standar ganda.
Di Indonesia sendiri fenomena standar ganda kerap cukup sering terjadi, di berbagai level dan segmentasi, standar ganda hidup bagai hal transenden yang powerfull, sebagai bentuk analogi, kalau boleh saya menyisipkan tambahan kata lain, yakni; ‘hantu standar ganda’. Imbasnya, hantu standar ganda ini kerap kali menyeret persoalan-persoalan krusial seperti politik, hukum, sosial dan khususnya ekonomi -yang paling sering memotret penampakan hantu standar ganda.
ADVERTISEMENT
Seperti yang belum lama terjadi di kawasan industri wilayah Bekasi yang mengungkap bahwa ada seorang karyawan perempuan yang ingin memperpanjang kontrak kerjanya dengan syarat harus staycation bersama atasannya, -selain memang hal tersebut sudah tergolong perilaku pelecehan seksual.
Hemat penulis, hantu standar ganda ini sepertinya merupakan proyeksi dari budaya untuk saling mengungguli, umumnya terjadi karena tidak stabilnya pemerataan hak. Hak atas ekonomi khususnya.
Di ranah yang lebih praksis, hantu standar ganda telah lebur dan membudaya. Misalnya; “keadilan sosial bagi masyarakat yang good looking,” yang sempat ramai jadi perbincangan hangat di jagat media sosial karena melahirkan riuh asumsi warganet yang menilai berpotensi timbulnya ketimpangan secara umum dalam kehidupan sosial. kemudian di dunia kerja, seperti beberapa pembukaan lowongan pekerjaan oleh sebuah perusahaan yang mencantumkan “good looking” sebagai salah satu prasyaratnya.
ADVERTISEMENT
Tapi pertanyaannya, hantu standar ganda yang kemudian kita anggap sebagai sebuah ketimpangan sosial ini apakah sepatutnya dihilangkan? Dan kalau iya, bagaimana mentransformasikan standar ganda menjadi standar tunggal berdasarkan produktivitas?
Penulis menggunakan produktivitas sebagai indikator standar tunggal sebab kematangan mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah dengan optimalisasi produktivitas masyarakat.
Kemudian, dalam hemat awam penulis, segmentasi paling dekat ialah segmen optimalisasi infrastruktur rezim hak kekayaan intelektual sebagai sebuah telaah komparasi. Terang saja, di dunia ketenagakerjaan yang seringkali santer membahas good looking sebagai salah satu prasyarat untuk direkrut oleh sebuah perusahaan jelas berbanding terbalik 180 derajat jika kita lihat di dunia industri naungan rezim hak kekayaan intelektual. Pasalnya, dalam rezim hak kekayaan intelektual yang kemudian kita sebut rezim HKI menjadikan standar tunggal -produktivitas manusia- yang termanifestasi dalam bentuk karya seni, sastra, teknologi dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sebagai informasi, rezim HKI merupakan sebuah sistem yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual.
Boleh dibilang, nyaris tak berdengung secara masif fenomena ‘standar ganda’ dalam rezim HKI jika kita bandingkan dengan dunia kerja di Indonesia yang menjadi tempat bersemayam hantu standar ganda. Karena semua aspek yang berada di bawah rezim HKI tunduk pada satu standar baku yakni, produktivitas menelurkan inovasi-inovasi kebaruan.
Contoh lagi, hantu standar ganda lekat dikaitkan dengan diskursus gender antara laki-laki dan perempuan, misalnya perempuan dianggap lebih lemah dari laki-laki. Namun, di bawah rezim HKI hal itu tidak berlaku, karena kembali, ukurannya hanya satu, yakni standar tunggal berbasis produktivitas.
Untuk menguji hipotesa di atas, penulis dapat memberi gambaran yang dilakukan rezim HKI dalam perayaan Hari Kekayaan Intelektual se-Dunia yang dirayakan setiap tanggal 26 April, yang pada tahun 2023 ini mengusung tema; “Women and IP: Accelerating Innovation and Creativity”, hal mana kental sekali dengan pesan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Begitupun saat diimpor ke Indonesia, oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, temanya disesuaikan menjadi; “Perempuan Indonesia Kreatif dan Inovatif: Ekonomi Tangguh”.
Digambarkan secara singkat, tajuk utama dalam perayaan Hari Kekayaan Intelektual se-Dunia yang mengaitkan perempuan dengan kreativitas dan inovasi, menunjukkan bahwa peran perempuan sangat signifikan dalam memperkokoh sebuah peradaban. Lantas, di mana lagi kita semua dapat menyaksikan pemandangan seperti itu kalau bukan (salah satunya) di rezim HKI.
Artinya, indikasi yang menunjukkan bahwa baik dari kalangan birokratik maupun aktor-aktor di bawah naungan rezim HKI, telah secara sadar mengedepankan produktivitas sebagai pakem utama dalam upaya mendisrupsi standar ganda berdasar pada buah karya karsa manusia.

A Knowledge Based Nation

Untuk mengetahui apakah hantu standar ganda dapat terdisrupsi secara efektif, perlu kiranya kita melihat ambisi komunal yang tumbuh di masyarakat, serta peran negara dalam mengupayakan kehidupan bangsa yang lebih unggul.
ADVERTISEMENT
Sebab, nampaknya tak terelakkan mengatakan bahwa untuk mendisrupsi standar ganda, kita butuh menjadi bangsa yang lebih maju.
Hal tersebut dapat kita telaah melalui visi Indonesia Emas 2045, yang menyebutkan pilar utama yang penting untuk ditegakkan, yakni; pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Boleh dibilang, salah satu alat untuk mencapai kemajuan kualitas bangsa guna mendisrupsi fenomena standar ganda ialah; optimalisasi infrastruktur dalam rezim HKI, dimaksimalkannya pemerataan hak-hak masyarakat, dan yang tidak kalah penting, menumbuhkan iklim kreativitas dan inovasi yang masif.
Maka, seperti dalam buku berjudul “Pengantar Pemahaman Konsepsi Dasar sekitar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI)” karangan Bambang Kesowo menyebutkan tentang cita-cita negara dengan bangsa yang ingin memperkuat basis sumber daya manusia dan IPTEK, HKI menjadi tekad paling fundamental yang tidak terlepas dalam a knowledge based nation (Bambang Kesowo 2021:109).
ADVERTISEMENT
walau tak bisa dipungkiri, memang tidaklah mudah untuk mencapai level tersebut. Bukan tanpa alasan saya menuliskan kalimat tersebut, karena sistem di dalam rezim HKI ini hampir seluruhnya diimpor dari sistem global yang membuat bangsa kita secara tanggung renteng diperlihatkan oleh fenomena megahnya rezim HKI yang berlaku di negara lain.
Misalnya saja di Amerika Serikat yang sedari awal meneguhkan komitmennya menjadikan pembangunan sistem HKI dimaktubkan ke dalam Undang-undang Dasar mereka (Bambang Kesowo 2021:171). Maka jangan heran, kalau anggaran riset yang digelontorkan oleh Amerika angkanya cukup jumbo. Dilansir dari katadata.co.id yang merilis laporan tentang besaran anggaran riset Amerika sebagai indikator cara untuk memajukan negara mereka dengan basis riset yang kuat. Angkanya mencapai US$679,4 miliar, dengan rasio (anggaran riset Amerika Serikat) yang diperkirakan mencapai 3,07% terhadap PDB (Amerika) pada 2022.
ADVERTISEMENT
**
Sebab, manusia sebagai makhluk yang pada dasarnya kreatif, kekayaan intelektual dapat disifati sebagai hal paling integral dengan tingkat produktivitas masyarakat.
Maka, atas dasar itu semua, di momentum bulan lahirnya Pancasila yang merupakan falsafah negara, manifestasi nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila hendaknya dapat terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh kemudian jika pesan tersebut dikatakan sebagai pesan normatif yang mungkin menyimpan makna ‘semua orang juga tahu’.
Tapi alih-alih kita ngotot mengaku telah bernegara sesuai dengan porsinya namun masih tetap melakukan pengabaian terhadap eksistensi hantu standar ganda yang berkelindan di masyarakat, justru kita dapat memilih untuk mengarusutamakan basis kemampuan kreativitas dan inovasi (kemampuan intelektual) manusia sebagai jalan ninja guna menunjang kehidupan bernegara yang ideal dengan melibatkan fokus mendisrupsi standar ganda.
ADVERTISEMENT
Sebagai alinea yang mungkin akan mengakhiri artikel ini, melihat Indonesia 22 tahun ke depan dalam visi Indonesia Emas 2045 dapat kiranya terlebih dahulu mewujudkan ambisi komunal masyarakat kita pada titik yang diharapkan. Serta penulis kira, menggunakan hak kekayaan intelektual sebagai alat untuk mendisrupsi standar ganda merupakan hal yang lazim terpenuhi. Karena dari masa ke masa, dikotomi populis masyarakat tak pernah berujung indah dalam sejarah.