Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Potensi Konflik dari Implementasi Perlindungan Hak Moral bagi Musisi
25 Oktober 2022 16:41 WIB
Tulisan dari Ahmad Mathori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan, “Hak Moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta”
ADVERTISEMENT
Artinya, setiap Pencipta (dalam konteks UU Nomor 28 Tahun 2014) yang menciptakan suatu ciri/khas, secara otomatis mendapatkan hak moralnya.
Hal ini dijelaskan juga dalam Pasal 57 ayat (1) yang berbunyi; “Hak Moral Pencipta sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 berlaku tanpa batas waktu.”
Secara sederhana dapat ditarik kesimpulan mengenai Hak Moral menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 adalah tentang hak yang melekat dalam diri Pencipta dan berlaku selamanya.
Berkaitan dengan konteks fungsi Hak Moral, diterangkan kembali melalui yang terkandung dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e, bahwa Pencipta berhak untuk “mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.”
Memaknai bunyi Pasal 5 ayat (1) huruf e di atas, menandakan bahwa negara menjamin perlindungan Hak Moral bagi Pencipta, karena Hak Moral juga merupakan apa yang dikatakan oleh para ahli merupakan sesuatu yang paling dalam, valid dan mendasar.
ADVERTISEMENT
Sehingga pengantar yang sangat singkat di atas membuat penulis menjadi tertarik untuk melihat lebih jauh bagaimana implementasi perlindungan terhadap Hak Moral, dalam hal ini terkhusus musikus.
Kita tahu betul selama digitalisasi mulai menguasai pangsa pasar Ekonomi, lebih jelas Ekonomi Kreatif, fenomena membawakan ulang karya milik orang lain menjadi hal yang biasa bagi banyak kalangan. Seperti misalnya musikus cover kalau orang bilang.
Pupulasi musikus cover ini seakan-akan pertumbuhannya berjalan secara organik dan sangat masif, seolah dengan cukup mencantumkan nama pencipta selesai sudah beban moral yang melekat dalam dirinya. Padahal, kalau kita menilik Pasal 44 ayat (1) huruf e UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan “Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan; (d) Pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana bentuk ideal dari sumber yang disebutkan atau dicantumkan secara lengkap?
Mengingat, format karya musik di kancah digital tentunya tidak hanya terdiri dari kumpulan lirik dan nada-nada, melainkan unsur lain seperti koreografi, artis, atau animasi sekalipun turut melekat pada sebuah video musik yang kemudian dibawakan ulang oleh artis lain hanya pada bagian lirik dan nada-nadanya saja.
Kita sama-sama tahu, kasus terakhir yang melibatkan Andika Kangen Band dengan Tri Suaka, ataupun lebih jauh dan sempat sangat naik ke permukaan juga adalah kasusnya mantan vokalis Payung Teduh, Is dengan penyanyi wanita muda bernama Hanin Dhiya, serta masih banyak deretan kasus yang terjadi di antara kalangan musikus Pencipta dengan musikus yang membawakan ulang karya dari Pencipta.
ADVERTISEMENT
Potensi konflik semacam ini hemat penulis adalah implikasi dari proses implementasi perlindungan hak moral yang belum jelas panduan teknisnya, alih-alih Pencipta mendapatkan perlindungan yang berkaitan dengan reputasi dan kehormatan dirinya, justru karena kekuatan hukum yang bersifat reaktif, para Pencipta memilih mengalah untuk membiarkan fenomena cover lagu menjamur.
Penulis kira perlu dikawal dengan sungguh-sungguh pada hal yang terkait dengan bentuk ideal dari menyebutkan sumber secara lengkap, sehingga minim potensi masalah yang timbul dikarenakan debat panjang antara Pencipta karya dengan orang lain yang mempertunjukkan karya.