Konten dari Pengguna

Segala Rupa Kebenaran

Matias Filemon Hadiputro
Mahasiswa Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
12 Januari 2023 21:35 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Matias Filemon Hadiputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kebenaran. Sumber: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebenaran. Sumber: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suatu kali di saat anak saya yang kedua berusia hampir tujuh bulan, dia mulai belajar berdiri. Dia mulai meraih pinggiran box tempat tidurnya untuk membantunya berdiri. Isteri saya terkejut melihatnya, sebab anak kami yang pertama dulu belajar berdiri saat berusia kurang lebih sembilan bulan.
ADVERTISEMENT
Di dalam kebingungan, kami bercerita kepada salah satu teman yang memiliki anak dengan usia sepantar dengan anak kedua kami, berusia tujuh bulan. Rupanya teman kami juga mengalami kejadian yang sama– ketika anaknya sudah mulai belajar berdiri– dan berkonsultasi ke dokter anak.
Dokter anak tersebut berpendapat bahwa usia tujuh bulan terlalu dini untuk belajar berdiri, sehingga teman kami disarankan agar kembali memposisikan anaknya dalam posisi duduk setiap kali mulai berdiri.
Sementara itu, isteri saya juga bertanya kepada dokter anak yang selama ini memeriksa kedua anak kami. Dokter anak langganan kami malah berpendapat sebaliknya, bahwa setiap anak memiliki perkembangan yang tidak sama, sehingga kami disarankan untuk mengikuti saja perkembangan yang terjadi pada anak kedua kami ini. Jika memang sudah belajar berdiri, maka tidak perlu dicegah dan tidak usah diposisikan untuk kembali duduk.
ADVERTISEMENT
Selama ini saya berasumsi bahwa ilmu kedokteran– termasuk pediatri– tergolong ke dalam kelompok ilmu eksakta yang bersifat pasti kebenarannya. Akan tetapi pengalaman dua dokter anak memberikan saran yang berbeda terhadap kasus serupa menggugah rasa penasaran saya: apakah ada kebenaran objektif yang berlaku sama di mana saja dan kapan saja?
Saya lantas bertemu dengan buku, A Short History of Truth: Consolation for a Post-Truth World, yang ditulis oleh Julian Baggini pada tahun 2017. Baggini menunjukkan di bagian pendahuluan bukunya bahwa apa yang kebanyakan kita pikirkan tentang cara kerja dunia ini adalah keliru, bahkan cara berpikir kita selama ini salah. Oleh karenanya berbicara tentang kebenaran, masalahnya bukan pada pengertian kebenaran itu sendiri, melainkan bagaimana dan siapa yang menetapkan kebenaran itu. Kita tidak sedang berada dalam situasi hilangnya kebenaran, melainkan kebenaran itu melimpah ruah.
ADVERTISEMENT
Ada 10 macam kebenaran, menurut penelusuran Baggini, yaitu:

1. Eternal Truths

Kebenaran abadi bersumber pada wahyu Ilahi yang tertuang ke dalam Kitab Suci. Permasalahannya, ada berbagai macam Kitab Suci dari tiap-tiap agama dan kepercayaan. Masing-masing agama mempercayai Kitab Suci-nya sendiri sebagai kebenaran, tetapi sekaligus menolak kebenaran dari Kitab Suci agama yang lain. Selain itu, ajaran dalam Kitab Suci dapat juga bertentangan dengan teori-teori sains. Salah satu contoh yang mengemukakan dengan jelas adalah ajaran tentang penciptaan alam semesta yang dituliskan dalam Kitab Suci dengan teori evolusi yang terdapat pada sains.

2. Authoritative Truths

Klaim kebenaran seringkali bergantung pada otoritas yang mengatakannya. Ada dua cara seseorang mendapatkan otoritas epistemik, yaitu: keahlian dan keilahian. Baggini memberi contoh otoritas epistemik berdasarkan keilahian yaitu, pemilihan Paus dalam Gereja Katholik. Asap putih yang muncul dari Vatikan menandakan bahwa Roh Kudus telah berkenan menetapkan seorang Paus dan kuasa Ilahi turun kepadanya. Sedangkan otoritas epistemik berdasarkan keahlian yaitu, guru spiritual. Orang-orang mempercayai bahwa seorang guru spiritual dapat menjadi mediator untuk berkomunikasi dengan Tuhan melalui keahlian tertentu yang hanya dimilikinya. Berhadapan dengan otoritas yang diklaim memiliki kebenaran, kita perlu melakukan triase pengujian epistemologis: (1) Wilayah keahliannya. Seorang guru spiritual hanya dianggap memiliki otoritas kebenaran sepanjang ia berbicara pada ranah yang menjadi keahliannya dan ada orang-orang yang mempercayainya. (2) Sumber keahliannya. Latar belakang keahlian yang dimiliki oleh seorang yang mengklaim kebenaran dapat memberikan gambaran untuk dapat mempercayai kebenaran yang disampaikan. (3) Memeriksa klaim kebenaran yang disampaikan. Di sinilah kita perlu melatih keberanian untuk berpikir kritis.
ADVERTISEMENT

3. Esoteric Thruths

Kebenaran esoterik bersifat terbatas, sebab hanya dimiliki sebagian kecil dari masyarakat umum. Salah satu contohnya adalah teori konspirasi yang mengatakan bahwa dunia ini dikendalikan oleh organisasi rahasia bernama Iluminati. Kebenaran esoterik ini cukup menarik perhatian, sebab memainkan ide bahwa kebenaran selalu bersifat tersembunyi. Para ahli teori konspirasi biasanya membuat dua asumsi dasar sebagai berikut: (1) kebenaran penting terkadang disembunyikan dibalik kebohongan yang disengaja; (2) ada kelompok yang sengaja menyebarkan kebenaran palsu demi mengamankan kepentingannya. Berhadapan dengan kebenaran esoterik, kita perlu membangun argumentasi yang kuat dan masuk akal.

4. Reasoned Truths

Dalam filsafat modern, Rene Descartes dikenal menggunakan metode penalaran murni. Bagi kaum rasionalis, nalar jauh lebih unggul daripada pengamatan menggunakan panca indera, karena dunia yang tertampakkan dapat saja mengecoh kita. Descartes menempuh upaya penyelidikan yang dinamakannya “keraguan metodis.” Yang ditemukan dengan metode keraguan adalah kebenaran dan kepastian yang kokoh, yaitu “cogito” atau kesadaran diri. Semua hal dalam dunia ini nampak meragukan, kecuali aku yang sedang berpikir itu tidak mungkin bisa diragukan. Descartes dengan “keraguan metodis”nya berhasil menyingkap bahwa dirinya yang sedang berpikir tidak mungkin dapat diragukan lagi. Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada).
ADVERTISEMENT

5. Empirical Truths

Pengalaman (empeiria) adalah jalan memperoleh kebenaran pengetahuan. Nalar sesungguhnya dapat bekerja dengan baik dengan melibatkan pengalaman, bukti-bukti, penilaian, kehalusan pemikiran, dan kepekaan terhadap ambigiuitas. Oleh karenanya, hanya mengandalkan nalar tidaklah cukup untuk mendapatkan klaim kebenaran. John Locke menolak anggapan para filsuf rasionalis yang mengandaikan bahwa ide-ide tentang kenyataan itu sudah kita miliki sejak lahir. Pengandaian itu tidak terbukti dalam kenyataan. Pikiran anak harus dianggap sebagai ‘tabula rasa’, yaitu kertas kosong. Pikiran baru dapat memproses pengetahuan berdasarkan dari pengalaman-pengalaman.
Kita harus terlebih dulu mengamati bentuk, warna, ukuran dari sesuatu yang ada di hadapan kita, lalu mencium aromanya atau mendengarkan suaranya, barulah kemudian hasil tangkapan dari objek itu menghasilkan ide-ide. Dengan begitu, kebenaran pengetahuan bukanlah bersifat bawaan yang terdapat dalam rasio manusia, melainkan didapat dari subjek yang mengalami melalui pancainderanya. Kekuatan kebenaran empirisisme terletak pada kenyataan bahwa kebenaran itu selalu terbuka untuk dicermati, direvisi, bahkan ditolak.
ADVERTISEMENT

6. Creative Truths

Kata-kata dapat mengubah kebenaran, sedangkan kebenaran baru akan mengubah kata-kata. Ada korelasi yang cukup kuat antara perkataan dengan kebenaran, sebab orang yang mengatakan akan melakukan tindakan untuk mewujudkannya. Ambil contoh sederhana ketika seorang anak berkata bahwa dirinya akan menjadi seorang dokter. Lalu anak itu belajar dengan tekun, mengambil kuliah jurusan kedokteran, hingga akhirnya benar-benar menjadi seorang dokter. Apa yang dikatakan oleh anak tersebut menjadi kebenaran. Oleh karenanya, kebenaran juga dapat berarti sebuah proses kreatif yang sedang diwujudkan.

7. Relative Truths

Kaum relativisme berpendapat bahwa tidak ada fakta apa adanya, sebab yang ada adalah interpretasi terhadap fakta yang dimediasi melalui budaya. Dengan begitu, tidak ada kebenaran objektif. Kebenaran hanya berlaku untuk orang-orang tertentu, dalam konteks tertentu, dan dalam pengertian tertentu.
ADVERTISEMENT

8. Powerful Truths

Michael Foucault menganalisa hubungan antara kebenaran dan kekuasaan. Apa yang tampak sebagai kebenaran acap kali merupakan ekspresi dari kekuasaan. Oleh karenanya, kita perlu berhati-hati dan tidak terburu-buru mengeklaim kebenaran tanpa dukungan dasar argumentasi yang kuat. Namun demikian, kebenaran tidak dapat selamanya dijadikan pelayan kekuasaan. Sebab kekuasaan akan berakhir, dan di situlah saatnya kebenaran akan muncul ke permukaan.

9. Moral Truths

Tindak kekerasan, penindasan, kolonialisme, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia menunjukkan bahwa kebenaran tidak dapat dipisahkan dari moralitas. Hal menarik yang ditunjukkan oleh Baggini adalah cara pandang terhadap kebenaran mempengaruhi moralitas manusia.
Ambil contoh, pada zaman di mana perbudakan adalah sesuatu yang benar, maka hak-hak budak tidaklah menjadi penting untuk diperhatikan. Mereka dieksploitasi demi keuntungan tuannya. Namun ketika kesadaran akan kesetaraan hak mulai bergulir, maka perlahan tapi pasti rasisme tidak lagi menjadi tindakan yang dapat ditolerir. Dengan demikian, perolehan pengetahuan yang benar sangat berpengaruh terhadap cara pandang terhadap kehidupan dan masalah moralitas umat manusia.
ADVERTISEMENT

10. Holistic Truths

Pada dasarnya, kebenaran tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan berada di dalam jaringan dengan kebenaran yang lainnya, sehingga saling mendukung satu sama lain. Misalnya, keyakinan terhadap teori evolusi, bergantung pada keyakinan akan keseragaman umum alam semesta di sepanjang ruang dan waktu. Selain itu mengandalkan juga kemampuan manusia yang mengamati secara akurat, intergritas para ilmuwan, sampai akhirnya memahami realitas dengan benar. Dengan demikian, kebenaran tidaklah bersifat partikular, melainkan holistik.
Kesimpulan
10 macam kebenaran yang diutarakan oleh Baggini memberikan petunjuk bagi kita bahwa kebenaran objektif dan holistik dapat diperoleh melalui keterbukaan dan sinergitas lintas ilmu. Teori-teori lama tidak menjadi semacam dogma yang tidak dapat keliru, melainkan dapat dikoreksi, bahkan diperbarui. Hal ini justru memperlihatkan keanekaragaman dan kekayaan alam semesta yang menolak untuk disederhanakan dan dikuasai oleh manusia.
ADVERTISEMENT
Penggambaran Baggini ini cukup memperlihatkan kompleksitas pergulatan dalam memperoleh kebenaran.
Klaim-klaim kebenaran yang dibuat secara kaku dan tertutup justru cenderung membuat taman organik bernama bumi ini menjadi rusak, sebab orang jadi saling bertikai demi membela klaim kebenarannya sendiri. Kemajuan perolehan kebenaran justru terletak pada keterbukaannya untuk mau terus memperbarui dirinya. Inilah pergulatan tanpa akhir.