Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Globalisasi dan Perang Hibrida: Serangan Siber Rusia terhadap Ukraina
24 Oktober 2024 15:36 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Matthew Anggi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejarah
ADVERTISEMENT
Konflik panas yang sudah menahun antara Rusia dan Ukraina tidak lagi hanya berperang dengan metode konvensional, namun sudah menggunakan serangan metode siber. Penggunaan dua metode tersebut dinamakan sebagai perang hibrida. Perkembangan metode perang yang menjadi alternatif ini, tidak terlepas dari perkembangan globalisasi yang pesat dan mempengaruhi perkembangan teknologi. Perang yang mulai aktif pada tanggal 24 Februari 2022 ini kian memanas akibat keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Bagi Rusia, potensi Ukraina untuk masuk ke dalam NATO adalah ancaman serius. Namun, isu panas antara dua negara tersebut sudah berlangsung sebelumnya, yakni pada tahun 2014, dengan munculnya semangat revolusi untuk menentang supremasi Rusia saat itu.
ADVERTISEMENT
Perang Hybrid
Saat ini, perang antara Rusia dan Ukraina dikenal dengan istilah perang hibrida. Perang hibrida sendiri adalah perang yang menggunakan dua metode berbeda. Dua metode tersebut adalah metode konvensional dan metode ancaman perang siber teknologi. Siber memiliki arti berhubungan dengan teknologi informasi, internet, jaringan komputer, dan sistem komputer atau teknologi informasi. Perang hibrida menjadi populer semenjak diskusi militer NATO pada tahun 2000-an.
Perang hibrida mencakup metode perang yang lebih luas, dimana taktik gerilya perkotaan, penculikan, penggunaan senjata teknologi tinggi, perang siber, propaganda, dan terorisme termasuk ke dalam jenis perang hibrida. Perang hibrida dapat diartikan sebagai perkembangan perang konvensional seperti Perang Dunia I dan II, dimana perang menggunakan militer. Pada tahun 2014, ancaman hibrida juga sudah mengintervensi konflik antara Rusia dan Ukraina. Dimana pada saat itu, kehadiran pasukan tak beridentitas (the little green man) memasuki wilayah Krimea untuk mengambil alih infrastruktur dengan tujuan untuk mengambil wilayah Ukraina. Kehadiran perang hibrida kemudian disebutkan membuat batas antara konflik dan damai menjadi samar-samar.
ADVERTISEMENT
Perang hibrida dinilai sebagai pemanfaatan globalisasi yang menciptakan teritegrasinya negara-negara, ini dinilai sebagai kesempatan untuk memberikan serangan terhadap musuh tanpa menguras sumber daya dengan menggunakan perang konvensional. Perkembangan globalisasi kemudian mengubah cara negara-negara dalam berinteraksi dan berkompetisi. Pemanfaatan globalisasi sendiri dapat dilihat dari bagaimana banyaknya propaganda dilancarkan melalui sosial media yang sudah terintegrasi hampir seluruh masyarakat dunia. Dengan perkembangan teknologi informasi juga, perang siber dengan menyerang infrastruktur musuh dapat dilakukan, seperti melalui jaringan listrik, lembaga keuangan, dan sistem transportasi. Perang hibrida juga mencakup ancaman ekonomi terhadap musuh, dimana ketergantungan musuh dapat digunakan untuk mengeksploitasi dan ancaman. Perkembangan teknologi juga mendukung perang siber melalui peretasan infrastruktur, contohnya adalah pemerasan digital. Berbagai cara diatas adalah beberapa cara yang dapat dilakukan aktor dalam perang hibrida. Perang hibrida dinilai lebih rendah biaya, namun memiliki dampak yang besar.
ADVERTISEMENT
Serangan Siber Rusia ke Ukraina
Perang antara Rusia dan Ukraina sudah berlangsung dari 24 Februari 2022 ini juga menerapkan perang hibrida. Dimana peperangan tidak hanya terjadi di medan perang konvensional, namun juga terjadi pada medan perang siber. Siber, dimana keterlibatan perkembangan teknologi informasi memberikan kekuatan baru dan tantangan baru dalam geopolitik. Penggunaan serangan siber tidak hanya terjadi dalam konflik antara Rusia dan Ukraina yang dimulai pada tahun 2022. Sebelumnya, Rusia sudah menggunakan serangan siber terhadap Ukraina pada tahun 2014 sampai dengan 2016. Pada periode tahun tersebut, banyak serangan non-militer yang dilakukan terhadap Ukraina, dan memberikan dampak yang tidak kecil terhadap Ukraina. Pada periode tersebut, Rusia mengintervensi infrastruktur internet Ukraina , menjelang ajang pemilihan umum. Serangan ini dilancarkan guna menjatuhkan citra kandidat yang tidak pro-Rusia pada saat itu, dengan pencurian data terhadap beberapa pejabat Jerman, NATO, dan demokrat. Serangan ini tidak hanya berdampak pada pemilihan umum, namun juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Serangan siber juga terjadi pada tahun 2015, dimana kelompok peretas yang didukung Rusia pada saat itu memadamkan jaringan listrik untuk mengintimidasi dan pamer kekuatan tanpa peperangan militer. Pemadaman listrik ini juga berdampak pada infrastruktur energi Ukraina, dan mengakibatkan krisis energi pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Serangan siber terhadap Ukraina juga berlangsung pada konflik tahun 2022. Serangan siber terjadi pada 13 Januari 2022, dimana serangan itu menargetkan situs web pemerintahan dan lembaga keuangan. Serangan siber ini dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti malware, ransomware, dan DDoS. Dengan biaya yang tidak sebesar perang konvensional, serangan ini memberikan dampak yang tidak kecil terhadap Ukraina. Saat itu, serangan ini berdampak pada lumpuhnya situs web yang dimiliki beberap institusi, termasuk bank besar ukraina. Rangkaian serangan penolakan layanan terdistribusi (DDoS) pada awal februari yang dilancarkan Rusia dengan badan intelijennya (GRU), menjadikan web perbankan dan pertahanan Ukraina sebagai target utamanya. Pada periode yang sama, ada identifikasi terhadap usaha Rusia untuk menyerang ranah komunikasi internet Ukraina dengan menyerang satelit. Namun, serangan tersebut berhasil direspons oleh pasukan ahli yang dimiliki Ukraina.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Berbagai serangan siber yang dilakukan Rusia dan keefektivannya, menjadi contoh bagaimana perkembangan teknologi informasi menjadi tantangan baru bagi aktor untuk beradaptasi dalam berkomunikasi dan berkompetisi. Serangan siber sudah menjadi alat militer dalam melakukan serangannya, dengan tujuan mengganggu stabilitas negara lawan. Globalisasi yang mendukung perkembangan teknologi saat ini memperluas metode perang, yang memaksa negara untuk memperluas metode pertahanan keamanannya. Keamanan konvensional dan keamanan siber adalah dua metode keamanan yang harus diperhitungkan bagi negara kontemporer.