Konten dari Pengguna

Konflik Israel Palestina: Pelanggaran Hukum Humaniter Internasional

Matthew Anggi
Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Prodi Hubungan Internasional
6 Januari 2025 11:22 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Matthew Anggi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber: Gambar dari Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Gambar dari Dokumen Pribadi

Pendahuluan

Hukum Humaniter Internasional (HHI) pertama kali diinisiasi oleh Henry Dunant pada tahun 1859, dimana saat menyaksikan Pertempuran Solferino di Italia ia terkejut dengan jumlah tentara yang terluka dan kurangnya fasilitas perawatan. Ia mengusulkan pembentukan organisasi kemanusiaan yang berfokus pada perawatan korban perang dan pembentukan aturan. Hal ini mengarah pada Konvensi Jenewa pertama pada tahun 1864, dimana konvensi ini mulai menetapkan perlindungan bagi tantara yang terluka, tenaga dan fasilitas kesehatan. Lalu diperluas lagi pada Konvensi Den Haag pada tahun 1899 dan 1907 yang menambahkan larangan penggunaan senjata gas beracun, perlindungan warga sipil, dan properti. Konvensi Jenewa 1929 yang mengatur akan perlindungan tahanan perang adalah jawaban untuk kekejaman Perang Dunia I. Namun, Perang Dunia II menghadirkan pelanggaran kemanusiaan lebih besar, seperti genosida dan pelanggaran peraturan yang sebelumnya sudah ditetapkan. Maka pada tahun 1949 Konvensi Jenewa yang baru mulai diadopsi dan menjadi dasar hukum humaniter modern. Konvensi tersebut mencakup perlindungan bagi tantara yang terluka di darat dan laut, perlakuan tahanan perang, dan perlindungan warga sipil saat konflik bersenjata. Protokol ini terus menyesuaikan dengan konflik modern, seperti perang teknologi tinggi.
ADVERTISEMENT
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa sepanjang sejarah konflik antara Israel-Palestina, selalu memakan korban jiwa yang tidak selalu adalah kombatan, bisa juga adalah warga sipil. Bahkan, area konflik yang digunakan sudah tidak memandang hak-hak dasar kemanusiaan. Ini dapat dilihat dari bagaimana serangan yang dilancarkan sering kali merusak fasilitas kesehatan dan pendidikan. Ini adalah hal yang tidak dapat ditolerir, ini perlu diselesaikan secepat-cepatnya. Namun, seperti yang kita ketahui, kepentingan negara tidak dapat mudah dipatahkan atau mudah diatur. Keegoisan yang sudah menguasai suatu negara, akan selalu menjadi sulit untuk dihentikan. Hitungan rasional yang bila menghasilkan keuntungan, pasti akan dikejar untuk laba maksimal. Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional (HHI), hadir sebagai pembatas, dan tidak berkapasitas menyelesaikan.
ADVERTISEMENT
Hukum Humaniter Internasional (HHI) merupakan cabang hukum internasional yang mengatur perlindungan terhadap individu dan properti selama konflik bersenjata. Tujuannya adalah untuk mengurangi penderitaan manusia dengan melindungi mereka yang tidak terlibat dalam pertempuran, seperti warga sipil, tenaga medis, dan pekerja kemanusiaan. Sejak 2022, konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas, dengan meningkatnya laporan pelanggaran yang memicu keprihatinan dunia. Pelanggaran Israel akan dianalisis berdasarkan tiga asas utama dalam HHI: asas kemanusiaan, asas kebutuhan militer, dan asas proporsionalitas. Asas kemanusiaan merujuk pada dasar-dasar nilai kemanusiaan dengan fokus terhadap mengurangi penderitaan yang tidak perlu. Asas kebutuhan militer mengacu pada objek yang dapat diserang adalah objek militer. Asas proporsionalitas menjaga keseimbangan antara keuntungan militer dan dampak yang ditimbulkan terhadap warga sipil, dalam konteks ini juga asas proposionalitas dapat mengacu pada keseimbangan jumlah korban perang antara pelaku konflik.
ADVERTISEMENT

Pelanggaran Israel terhadap Asas HHI

Israel sebagai salah satu anggota PBB sudah sewajibnya dan idealnya menaati hukum humaniter internasional, begitupun dengan negara anggota lainnya. Namun, pada kenyataannya tidak semua negara anggota melihat bahwa hukum tersebut sejalan dengan tujuan negaranya. Oleh karena itu, pelanggaran tetap dilakukan guna mencapai kepentingan negara, dan israel telah melanggar beberapa asas dalam hukum humaniter internasional.
1. Asas Kemanusiaan
Bahkan sebelum tahun 2022, pelanggaran terhadap asas ini terus berlangsung. Dan pada tahun 2022 serangan udara Israel di Jalur Gaza sering kali menargetkan daerah padat penduduk, mengakibatkan korban jiwa masyarakat sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Serangan ini juga tidak jarang menghancurkan fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan infrastruktur publik lainnya yang terus memperburuk krisis kemanusiaan di Palestina.
ADVERTISEMENT
Contoh Pelanggaran:
• Serangan terhadap Warga Sipil: Sejak serangan militer Israel di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023, telah menyebabkan korban jiwa yang signifikan di kalangan warga sipil. Laporan Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), menyebutkan lebih dari 36.000 warga Palestina tewas, termasuk 15.162 anak-anak dan 10.018 perempuan.
• Penghancuran Infrastruktur Sipil: Serangan udara Israel sepanjang sejarah konflik telah merusak atau menghancurkan fasilitas kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur penting lainnya, memperburuk kondisi kemanusiaan dan menciptakan krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Rusaknya infrastruktur ini menghambat akses akan hak dasar kemanusiaan yang seharusnya dapat diterima atau diakses dengan mudah, alih-alih mudah, Israel membuat akses tersebut menjadi sangat sulit bahkan mustahil.
2. Asas Kebutuhan Militer
ADVERTISEMENT
Banyak serangan militer yang dilakukan oleh Israel dianggap tidak memiliki nilai strategis yang signifikan. Serangan terhadap kantor media dan bangunan sipil yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan militer adalah contohnya. Selain itu, kombatan Israel sering kali menggunakan senjata berat di wilayah sipil, ini melanggar prinsip karena tidak sesuai dengan kebutuhan militer yang proposional.
Contoh Pelanggaran:
• Serangan terhadap Fasilitas Non-Militer: Israel telah sering kali menargetkan serangan terhadap bangunan sipil yang tidak memiliki nilai strategis militer, seperti kantor media dan rumah sakit, yang seharusnya dilindungi dalam konflik bersenjata. Salah satu yang menjadi sorotan adalah serangan terhadap daerah pengungsian di Rafah melalui serangan udara pada bulan Mei 2024.
• Penggunaan Kekuatan Berlebihan: Militer Israel sering kali menggunakan senjata berat di area padat penduduk tanpa diskriminasi yang jelas antara kombatan dan non-kombatan, ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan kebutuhan militer yang proporsional.
ADVERTISEMENT
3. Asas Proporsionalitas
Serangan Israel sering kali melampaui keuntungan militer yang diharapkan dan sering kali menciptakan jumlah korban jiwa yang sangat besar. Israel sering kali melaksanakan operasi militer yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dalam waktu singkat, tanpa bukti yang meyakinkan bahwa target militer yang dicapai sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Dampak yang luas terhadap infrastruktur sipil menunjukkan bahwa asas ini diabaikan dalam praktik militer Israel.
Contoh Pelanggaran:
• Korban Sipil yang Tidak Proporsional: Selama konflik yang dimulai pada 7 Oktober 2023, jumlah korban jiwa di pihak Palestina mencapai lebih dari 36.000, sementara di pihak Israel jauh lebih sedikit, menunjukkan ketidakseimbangan yang mencolok dan indikasi pelanggaran asas proporsionalitas. Kerusakan besar akibat serangan pada fasilitas sipil tanpa justifikasi militer yang memadai melanggar prinsip proporsionalitas dalam Hukum Humaniter Internasional. Ini dapat diartikan sebagai serangan yang dilaksanakan tidak sebanding dengan kerugian yang didapatkan.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Pelanggaran hukum humaniter oleh Israel terhadap Palestina sejak 2022 menunjukkan pelanggaran serius terhadap asas kemanusiaan, kebutuhan militer, dan proporsionalitas. Contoh nyata yang telah melanggar tiga asas tersebut adalah serangan terhadap tempat pengungsian Rafah. Rafah merupakan tempat pengungsian yang menjadi target serangan udara yang dilancarkan Israel. Serangan terhadap Rafah adalah bagian dari rentetan sejarah konflik Israel-Palestina yang panjang. Selain menjadi tempat pengungsian, Rafah juga menjadi penting karena digunakan sebagai pintu gerbang logistik dan perbatasan. Perlunya solidaritas global untuk membentuk tekanan internasional yang lebih kuat untuk menegakkan akuntabilitas hukum bagi semua pihak yang terlibat, tentunya ini ditujukan untuk mengakkan hak asasi manusia. Dunia internasional dibutuhkan lebih aktif dalam mempromosikan dan melaksanakan aksi perdamaian dan menghentikan kekerasan yang terus berlanjut di wilayah konflik ini.
ADVERTISEMENT