Konten dari Pengguna

TPP bagi Indonesia: Peluang atau Hambatan?

Matthew Anggi
Anggota LIRSUST Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Kristen Indonesia
13 April 2025 10:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Matthew Anggi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dari Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dari Dokumen Pribadi

Posisi Indonesia terhadap peluang TPP

ADVERTISEMENT
TPP (Trans-Pacific Partnership) adalah perjanjian perdagangan bebas multilateral yang awalnya melibatkan 12 negara di kawasan Asia-Pasifik: Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada, Meksiko, Selandia Baru, Cile, Peru, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Vietnam. Tujuan utama TPP bukan hanya menghapus tarif perdagangan, tetapi juga menyepakati standar tinggi dalam aturan ekonomi internasional (memperkuat integrasi ekonomi kawasan Asia Pasifik) seperti perlindungan hak kekayaan intelektual (HAKI), kebijakan tenaga kerja dan lingkungan hidup, transparansi dan tata kelola perusahaan negara, mekanisme penyelesaian sengketa investor-negara (ISDS), dan fleksibilitas kebijakan ekonimi nasional (Maya 2017, 180). TPP dapat dinilai sebagai peluang bagi negara berkembang untuk memperluas akses pasar ekspor dan menarik investasi asing, di sisi lain, memperlebar sayap kekuasaan pada sektor ekonomi bagi negara maju.
ADVERTISEMENT
Indonesia bukanlah bagian dari TPP maupun CPTPP, namun, di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah menunjukkan sinyal ketertarikan untuk aktif dalam kesepakatan ini. Pernyataan ini didukung dengan berbagai pernyataan dan langkah diplomatik yang diambil. Terutama pada tahun 2015, setelah pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden Barack Obama, secara garis besar alasan ketertarikan ini adalah peningkatan daya saing, peluang masuk dalam rantai nilai global, dan optimisme menjadikan Indonesia poros maritim dunia (Maya 2017, 176).
TPP juga dapat dipandang sebagai bagian dari persaingan arsitektur ekonomi regional. Kita dapat melihat bagaimana RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) oleh Tiongkok memberikan pengaruhnya dan mulai mendominasi. Indonesia saat ini sudah bergabung dengan RCEP, sehingga mempertimbangkan TPP dapat menimbulkan dilema antara dua blok perdagangan besar dengan orientasi yang berbeda (Rosmawandi 2022, 132). Oleh karena itu, ketertarikan Indonesia dapat diartikan sebagai usaha untuk tidak tertinggal dalam integrasi ekonomi lintas Pasifik, terutama agar tetap relevan secara geopolitik.
ADVERTISEMENT

Estimasi Indonesia dalam TPP

Secara garis besar, posisi Indonesia saat ini adalah pengamat perkembangan, namun tetap menjaga opsi terbuka. Kita harus menyadari bahwa kapasitas produksi dan efisiensi industri nasional kita masih tertinggal dengan negara anggota CPTPP seperti Jepang, Australia, dan Kanada, ini menjadi ancaman banjirnya produk impor pada pasar domestik dan menghambat pertumbuhan indutri lokal. Perlu diketahui bahwa semua persaingan ini dilakukan tanpa hambatan, yakni tarif 0% dan non-tarif, tanpa beban penggunaan bahan baku, tanpa transfer teknologi, tanpa keberpihakan pemerintah terhadap BUMN, dan hukumnya dijamin oleh ISDS. Oleh karena perumusan draftnya tidak melibatkan pemerintah Indonesia dan sangat meminimalisir peran negara, ini menjadi cenderung bahaya bagi Indonesia, dimana member state (MS) tidak memperhitungkan kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Proyeksi bergabungnya Indonesia akan membawa dampak positif tidak didukung oleh cukupnya kajian kuantitatif yang komprehensif, dimana, tidak ada data empiris yang memperkuat pernyataan tersebut. Proyeksi yang tersedia dapat dinilai terlalu normatif dan asumtif, dimana ini tidak mencerminkan perbedaan dampak terhadap kondisi sektor atau kelompok sosial tertentu. Dampak TPP bersifat sektoral dan regional, sangat berpotensi menghasilkan kesenjangan, sebagai contoh, sektor perikanan tradisional di Sulawesi dan Maluku memiliki potensi kecil untuk mampu bersaing dengan perusahaan perikanan industri Jepang dan Kanada, sementara UMKM menyumbang lebih dari 50% PDB nasional (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia 2025). Keputusan Indonesia untuk bergabung atau tidak adalah hal yang kompleks, mencakup aspek ekonomi, politik, sosial, dan kedaulatan nasional. Pemerintah Indonesia harus memiliki sikap hati-hati, pragmatis, dan tidak tergesa-gesa dalam menentukan arahnya (Maya 2017, 179). Sikap tersebut bukan bermakna menolak, melainkan mempertimbangkan pendekatan strategis dan berbasis kesiapan domestik.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembanding, kita dapat melihat Vietnam dan Malaysia, negara berkembang yang telah bergabung dengan TPP dan CPTPP, tingkat pembangunan ekonomi mereka dapat menjadi cerminan untuk menilai kesiapan dan konsekuensi jika Indonesia memutuskan untuk ikut serta. Setelah bergabung dengan TPP pada tahun 2008 dan CPTPP pada tahun 2018, Vietnam mengalami pertumbuhan ekspor yang signifikan, terutama dari sektor tekstil, alas kaki, dan produk elektronik. Vietnam juga mengalami pemasukan FDI sebesar 8%, terutama dari Jepang dan Korea Selatan, dimana Vietnam dijadikan basis produksi untuk kemudian diekspor (White and Case 2025). Namun, berbagai isu muncul, dimana sektor tekstil dan manufaktur Vietnam yang masih mempekerjakan banyak buruh perempuan mengalami eksploitasi waktu kerja dengan rendahnya standar upah (Hanoitimes.vn 2022). Kebanyakan UMKM Vietnam tidak mampu memanfaatkan peluang ekspor karena tidak memiliki kapasitas produksi dan sertifikasi internasional yang memutus ke jalur logistik ekspor. Hal-hal ini sangat memungkinkan terjadi bagi Indonesia, baik hal positif dan negatifnya. Indonesia perlu perangkat perlindungan sosial yang kuat, mencegah ketertinggalan UMKM dan petani, membangun industri dalam negeri agar tidak bergantung, dan reformasi hukum domestik sebelum bergabung.
ADVERTISEMENT
Malaysia secara resmi bergabung dengan TPP pada tahun 2008 dan CPTPP pada tahun 2022 juga mengalami keuntungan dan tantangan. TPP memungkinkan Malaysia untuk mengakses pasar yang sebelumnya belum terjangkau melalui FTA bilateral, seperti Kanada, Meksiko, dan Peru. Dengan bergabung TPP, Malaysia juga mendapatkan tarif preferensial untuk produk manufakturnya dan mengurangi ketergantungan dengan pasar ASEAN dan Tiongkok, sehingga pasar menjadi lebih terbuka dan strategis. Keterbukaan Malaysia juga bermakna sinyal stabilitas hukum dan komitmen perdagangan bebas, sehingga ini meningkatkan minat investasi, seperti Jepang dan AS di sektor manufaktur dan logistic. Oleh karena citra nya yang baik, seperti mitra dagang modern, terbuka, dan reformis, Malaysia dapat menunjukkan posisi negosiasi yang lebih kuat dalam forum APEC, ASEAN, dan WTO. Di sisi lain, Malaysia juga memiliki sektor rentan dengan produk impor melimpah yang mengancam produk lokal. Bahkan dalam CPTPP, ini mengatur level playing field yang memungkinkan BUMN Malaysia tidak memiliki keistimewaan (International.gc.ca 2018). Koalisi Malaysia juga melakukan kritik pada mekanisme HKI dalam TPP dan CPTPP yang menunda masuknya obat generic, memonopoli jangka panjang kepada perusahaan farmasi, dan akhirnya membebani sistem kesehatan publik. Sama dengan Vietnam, dampak dari integrasi ekonomi ini hanya dirasakan oleh perusahaan besar, tidak merata sampai UMKM. Bercermin dari Malaysia, Indonesia harus siap akan beberapa dampak, seperti kehilangan regulasi ketat BUMN dan proteksi, dampaknya yang memperberat sistem BPJS, dan Indonesia harus mempersiapkan negosiasi batasan ISDS.
ADVERTISEMENT

Analisis neomarxisme terhadap TPP

Neomarxisme menyoroti sistem kapitalisme yang menekankan ketimpangan antara negara core dan negara periphery. Ide neoliberalisme dengan mekanisme perdagangan bebas, privatisasi, dan deregulasi dianggap sebagai nilai-nilai dominasi negara maju atas negara berkembang, dalam kasus ini, TPP, sebagai wujud konkret dari hegemoni global neoliberal dianggap sebagai alat hegemoni negara-negara core untuk memperluas pengaruh ekonominya atas negara-negara berkembang seperti Indonesia (Maya 2017, 172). Ketidakikutsertaan aktif Indonesia dalam merumuskan sistem perdagangan alternatif yang lebih adil memposisikan Indonesia sebagai aktor pasif yang harus mengikuti dan beradaptasi dengan standar tinggi negara-negara maju, dan pada umumnya TPP disusun dan dinegosiasikan oleh negara-negara core, seperti AS, Jepang, Kanada, dan Australia.
Mekanisme ISDS yang memberikan hak menggugat negara adalah bentuk dari imperialisme hukum neoliberal. Sederhananya, ini adalah bentuk baru penjajahan ekonomi yang memaksa negara mengutamakan kepentingan investor dibanding kepentingan masyarakat. Gugatan yang dilayangkan tidak diadili dalam pengadilan domestik, melainkan di forum arbitrase internasional seperti ICSID yang secara tersirat pro-investor dan minim akuntabilitas publik. Perlu diketahui, dalam mekanisme sistem hukum ISDS, terdapat kebijakan dimana investor bisa menggugat negara, namun emiten/negara/masyarakat tidak bisa menggugat investor di forum yang sama.
ADVERTISEMENT
Argumen sebelumnya mengatakan bahwa Indonesia hanya menjadi pasar bagi barang dan jasa negara maju didukung oleh logika ketergantungan yang menjelaskan bahwa negara-negara periphery tidak seutuhnya berkembang dalam sistem liberal, namun terus bergantung dalam struktur pada negara-negara core (Maya 2017, 173). Tergantung disini mengacu pada beberapa aspek, seperti teknologi, pembiayaan, pasar, arah produksi, dan lain-lain, sehingga negara periphery dirangkul sebagai penyedia sumber daya mentah murah bagi industri negara maju, bukan sebagai pusat inovasi atau industrialisasi mandiri (CNBC Indonesia 2024). Neomarxisme berargumen bahwa alternatif terhadap hegemoni pasar bebas diperlukan, seperti regionalisme berbasis solidaritas negara selatan, proteksi sektor rentan, industrialisasi nasional yang berdaulat. Sementara, mekanisme TPP menutup ruang pendekatan pembangunan alternatif, seperti proteksi industri strategis, kedaulatan pangan dan energi, serta distribusi ulang kekayaan sumber daya dengan skema kepatuhan terhadap perdagangan global.
ADVERTISEMENT