Konten dari Pengguna

Peluang dan Tantangan bagi Ekspor Indonesia di Tengah Perang Tarif Trump

Matthew Biondi Goenawan
Mahasiswa aktif Universitas Ciputra Surabaya prodi Bisnis dan Manajemen
21 April 2025 12:18 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Matthew Biondi Goenawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi 3D kebijakan tarif dan perpajakan AS, termasuk tarif hukuman dalam perang dagang sebagai bentuk proteksionisme terhadap impor dan ekspor. Sumber : Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi 3D kebijakan tarif dan perpajakan AS, termasuk tarif hukuman dalam perang dagang sebagai bentuk proteksionisme terhadap impor dan ekspor. Sumber : Shutterstock
ADVERTISEMENT
Perang tarif yang diprakarsai oleh Presiden Donald Trump telah menjadi sorotan utama dalam dunia perdagangan internasional. Di bawah kebijakan proteksionis yang diterapkan sejak awal 2018, tarif impor yang diberlakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap sejumlah produk asing, terutama dari China, memicu gelombang reaksi dari negara-negara mitra dagang AS. Namun, dampaknya tidak hanya terasa pada negara asal produk yang dikenakan tarif, tetapi juga pada pasar global secara keseluruhan. Indonesia, sebagai negara berkembang dengan potensi besar dalam sektor ekspor, kini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana bersaing dengan negara-negara yang memiliki tarif lebih rendah, sambil memanfaatkan peluang yang muncul dari pergeseran alur perdagangan global ini.
ADVERTISEMENT
Perang tarif Trump, yang memfokuskan pada tarif impor untuk baja dan aluminium serta sejumlah produk elektronik dan otomotif, telah menciptakan ketegangan perdagangan yang semakin meningkat. Salah satu dampaknya adalah pergeseran alur perdagangan global, di mana negara-negara dengan tarif lebih rendah kini menjadi tujuan utama bagi perusahaan-perusahaan yang terdampak oleh kebijakan AS.
Sejak penerapan tarif tersebut, perusahaan-perusahaan multinasional mulai mencari alternatif di luar China, yang selama ini menjadi pusat manufaktur utama dunia. Perusahaan-perusahaan besar seperti Apple, Tesla, dan bahkan beberapa produsen barang konsumen lainnya mulai mempertimbangkan untuk memindahkan produksi ke negara-negara yang memiliki tarif lebih rendah dan biaya produksi yang lebih kompetitif. Misalnya, Apple yang sebelumnya bergantung pada pabrik di China kini berencana untuk memindahkan sebagian besar produksinya ke negara-negara seperti India dan Vietnam. Begitu pula dengan Tesla, yang telah memutuskan untuk membuka pabrik baru di Meksiko untuk mengurangi ketergantungannya pada fasilitas produksi di AS.
ADVERTISEMENT
Langkah-langkah ini bukan hanya langkah bisnis, tetapi juga merupakan strategi untuk menghindari dampak negatif dari tarif tinggi yang dikenakan oleh AS. Menurut sebuah laporan (Reuters,2025), banyak perusahaan yang berencana untuk melakukan diversifikasi rantai pasokan ke negara-negara tarif lebih rendah guna mengurangi ketergantungan pada pasar AS yang semakin terhambat oleh kebijakan tarif.
Salah satu negara yang mendapatkan keuntungan dari kebijakan tarif Trump adalah Vietnam. Dengan tarif impor yang jauh lebih rendah daripada China, Vietnam menjadi pusat manufaktur bagi banyak perusahaan global. Negara ini memiliki kebijakan tarif yang menarik bagi perusahaan asing, selain itu biaya tenaga kerja yang relatif rendah menjadikannya alternatif yang menarik bagi perusahaan yang ingin mengurangi biaya produksi. BBC melaporkan bahwa Vietnam menyambut baik perpindahan perusahaan-perusahaan yang terdampak perang tarif, seperti Nike, yang memindahkan sebagian besar produksinya ke negara tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain Vietnam, negara seperti Bangladesh, Meksiko, dan India juga menjadi pilihan utama. Negara-negara ini tidak hanya menawarkan tarif lebih rendah, tetapi juga memiliki pasar domestik yang besar, yang semakin menarik bagi perusahaan-perusahaan yang ingin menambah volume penjualannya. Selain tarif, faktor lain yang memengaruhi pemindahan produksi adalah biaya tenaga kerja yang lebih rendah, infrastruktur yang semakin baik, serta insentif pajak dan kebijakan perdagangan yang menguntungkan bagi investor asing.
Namun, Indonesia juga tidak boleh dilupakan dalam pembahasan ini. Sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara dan basis industri yang berkembang pesat, Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investasi dari perusahaan-perusahaan yang mencari alternatif selain China atau negara-negara lain dengan tarif lebih rendah.
ADVERTISEMENT
Indonesia, dengan biaya tenaga kerja yang relatif lebih rendah dibandingkan negara-negara maju, seperti AS dan Jepang, memiliki peluang untuk memanfaatkan perang tarif ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor. Namun, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa banyak produk ekspornya, seperti tekstil, elektronik, dan furnitur, sekarang lebih mahal dibandingkan dengan produk dari negara-negara dengan tarif lebih rendah. Ini tentunya menjadi tantangan besar bagi Indonesia yang harus bersaing dengan negara-negara seperti Vietnam, yang telah membuktikan kemampuannya dalam menarik investor asing.
Namun, situasi ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing produknya di pasar global. Dengan memfokuskan pada peningkatan kualitas produk, inovasi, dan keberlanjutan produksi, Indonesia dapat menarik perhatian investor global. Sebagai contoh, produk tekstil Indonesia yang dikenal dengan kualitasnya yang tinggi dan keunikan desain dapat diposisikan sebagai produk premium yang berbeda dari produk negara lain yang bersaing di pasar yang lebih murah.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Indonesia juga perlu memperkuat infrastruktur logistiknya agar dapat mendukung kelancaran perdagangan internasional. Keberadaan pelabuhan-pelabuhan yang efisien dan sistem distribusi yang baik akan menjadi faktor penentu bagi perusahaan-perusahaan yang ingin berinvestasi di Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk merespons dampak perang tarif ini, seperti mengurangi pajak ekspor untuk produk kelapa sawit dan meningkatkan impor dari AS untuk mengurangi defisit perdagangan. Namun, langkah-langkah ini hanya sementara dan harus diimbangi dengan strategi jangka panjang yang melibatkan diversifikasi pasar ekspor, perbaikan rantai pasokan, serta investasi dalam infrastruktur dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas.
Selain itu, Indonesia harus meningkatkan kerja sama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk membangun pasar yang lebih terintegrasi. Penguatan hubungan dagang dengan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan juga akan memberikan keuntungan dalam memperluas pasar dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, meskipun perang tarif yang dipicu oleh kebijakan AS telah menciptakan ketidakpastian dalam perdagangan global. Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing produknya dan menarik investasi asing. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memanfaatkan pergeseran alur perdagangan ini untuk memperkuat posisinya di pasar global dan meningkatkan kontribusinya dalam perekonomian dunia.