Konten dari Pengguna

Menyalakan Terang Dari Lebak, yang Katanya Masih Gelap

Asep Maulana
Sorang profesional di sektor swasta yang juga aktif menggerakkan komunitas literasi Nyawiguna di Gunungkencana, Lebak, Banten. Fokus pada penguatan budaya baca, karya dan pendidikan nalar kritis di desa.
21 April 2025 15:38 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Desa - ChatGPT
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Desa - ChatGPT
ADVERTISEMENT
Penulis: Nurul Amaliah
Editor: Asep Maulana
Penjajahan yang Masih Hidup: Bukan oleh Bangsa, Tapi oleh Pemikiran
ADVERTISEMENT
Setelah bangsa ini lepas dari era penjajahan kolonial, kita menyangka semua bentuk penindasan telah berakhir. Namun ternyata, ada bentuk penjajahan yang masih terus hidup, penjajahan dalam bentuk cara berpikir. Ini adalah jenis belenggu yang tak kasat mata, tapi mampu menekan seseorang dari dalam: pola pikir yang membatasi, merendahkan, dan mengecilkan potensi atas nama warisan budaya atau adat yang tak lagi relevan. Salah satu yang paling mencolok adalah pandangan bahwa perempuan tak perlu menempuh pendidikan tinggi karena perannya dianggap akan berputar-putar di ranah domestik saja.
Situasi seperti ini masih marak terjadi di desa-desa. Masyarakat di banyak pelosok masih hidup dalam bayang-bayang konstruksi sosial yang kaku dan membatasi ruang gerak perempuan. Pendidikan dianggap penting, tetapi tidak selalu untuk semua. Masih ada yang percaya bahwa anak perempuan cukup belajar secukupnya saja, karena masa depannya telah ditentukan oleh norma-norma yang menempatkan mereka di posisi sekunder.
ADVERTISEMENT
Saya tahu betul bagaimana rasanya tumbuh dalam lingkungan seperti itu, karena saya lahir dan dibesarkan di salah satu desa kecil di Kabupaten Lebak, tempat hamparan sawah dan bukit menjadi pemandangan sehari-hari, tapi juga tempat di mana suara perempuan sering kali tenggelam oleh sunyi yang diajarkan turun-temurun. Namun, di tengah keterbatasan itu, saya diberi anugerah besar, orang tua yang membuka mata dan hati, bahwa anak perempuan pun layak untuk bermimpi dan belajar setinggi mungkin.
Cahaya dari Rumah: Berkah Dukungan Orang Tua
Di tengah realitas sosial yang masih berat sebelah terhadap perempuan, rumah menjadi tempat pertama yang menentukan apakah seorang anak akan tumbuh dengan keyakinan atau keraguan. Dalam banyak kasus, keputusan seorang anak perempuan untuk terus belajar atau berhenti bukan semata-mata karena keadaan ekonomi, melainkan karena seberapa besar keyakinan dan dukungan yang ia terima dari keluarga.
ADVERTISEMENT
Nama saya Nurul Amaliah. Saya lahir dan tumbuh di sebuah desa di Kabupaten Lebak, dari keluarga sederhana yang menjadikan pendidikan sebagai cahaya pertama dalam hidup kami. Ibu saya seorang ibu rumah tangga, dan ayah saya seorang pegawai negeri sipil yang mengabdikan diri sebagai guru. Meski kami bukan berasal dari keluarga berada, mereka tidak pernah membatasi cita-cita saya hanya karena saya perempuan. Saya menempuh pendidikan dari SD hingga MTs di desa, dan saat ini saya duduk di bangku kelas sepuluh SMA. Bagi orang tua saya, perempuan pun berhak duduk di ruang-ruang ilmu, berdiri percaya diri di depan kelas, bahkan bersuara lantang di mimbar pemikiran. Saya menyebut ini sebagai cahaya dari rumah, sebuah berkah yang tak semua anak perempuan bisa nikmati.
ADVERTISEMENT
Namun saya sadar, tidak semua teman perempuan saya memiliki privilege ini. Banyak dari mereka yang sejak dini harus menutup buku dan melipat mimpi. Ada yang diminta menikah muda, ada yang disuruh bekerja membantu keluarga, dan ada pula yang sekadar “tidak diizinkan” karena dianggap tidak perlu.
Di sinilah peran rumah menjadi sangat penting. Dukungan orang tua tidak hanya mengantar anak ke sekolah, tapi juga memayungi langkah mereka agar tidak patah di tengah jalan. Ketika rumah mampu memberi keyakinan, maka seorang anak baik laki-laki maupun perempuan akan tumbuh sebagai pribadi yang percaya pada kemampuannya sendiri.
Antara Ketimpangan dan Keterpaksaan
Ketika berbicara soal ketimpangan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan, mudah bagi kita untuk langsung menyalahkan pola pikir patriarki yang masih mengakar. Namun kenyataannya, persoalan ini tidak sesederhana itu. Dalam banyak kasus, ada tumpang tindih antara konstruksi sosial yang membatasi dan realitas ekonomi yang memaksa.
ADVERTISEMENT
Saya punya seorang teman perempuan yang terlahir dari keluarga sederhana. Ia memiliki kakak laki-laki. Setelah mereka sama-sama lulus dari sekolah dasar, hanya sang kakak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Teman saya berhenti sekolah. Sekilas, ini tampak seperti ketimpangan perlakuan, dan memang ada nuansa itu. Tapi disisi lain, mungkin juga keluarga mereka sedang menghadapi dilema ekonomi yang pelik, hingga hanya bisa menyekolahkan satu anak. Dalam kondisi seperti itu, keputusan pun sering diambil berdasarkan harapan sosial bahwa laki-laki akan menjadi tulang punggung keluarga di masa depan.
Meski pendidikan formal kini diklaim gratis, kita tahu betul bahwa kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada biaya transportasi, uang jajan, perlengkapan sekolah, dan berbagai kebutuhan harian lainnya yang tak bisa dihindari. Dalam situasi sempit seperti ini, perempuan kembali harus mengalah karena dianggap bisa “bertahan” tanpa pendidikan tinggi.
ADVERTISEMENT
Namun, apapun alasan di baliknya, tetap ada satu pertanyaan besar: mengapa pengorbanan itu hampir selalu jatuh kepada anak perempuan?
Keputusan seperti itu, walau mungkin tidak dilandasi niat buruk, tetap harus dikritisi. Karena dampaknya nyata. Bukan hanya merampas kesempatan, tapi juga meredam potensi. Kita perlu melihat ini bukan sebagai kesalahan satu keluarga, melainkan sebagai sinyal bahwa negara dan masyarakat harus hadir lebih kuat dalam menjamin akses dan keberlanjutan pendidikan untuk semua anak, tanpa terkecuali.
Luka di Balik Pergaulan: Ketika Kontrol Sosial dan Nilai Agama Memudar
Di balik ketimpangan pendidikan dan minimnya dukungan keluarga, tersimpan luka lain yang sering tak tampak oleh mata publik, rentannya remaja perempuan terhadap pergaulan bebas dan pernikahan dini. Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga telah merambah hingga pelosok desa, termasuk di Kabupaten Lebak, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan.
ADVERTISEMENT
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, sekitar 2% remaja perempuan usia 15–24 tahun di Indonesia mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Angka ini tampak kecil di atas kertas, namun di baliknya tersimpan kisah-kisah pilu tentang perempuan muda yang kehilangan arah di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan cita-cita. Sebagian besar dari mereka memulai hubungan tersebut di usia sangat muda antara 15 hingga 19 tahun, sebuah fase ketika identitas diri belum sepenuhnya terbentuk. (Kemenkopmk.go.id)
Di Lebak sendiri, persoalan remaja perempuan semakin kompleks dengan maraknya pernikahan siri dan pernikahan usia dini. Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil), terdapat sekitar 300.000 pernikahan yang tidak tercatat secara resmi. Data ini menjadi alarm serius, sebab pernikahan yang tidak diakui secara hukum kerap kali membuat perempuan berada dalam posisi rentan: kehilangan hak nafkah, tidak memiliki perlindungan atas harta bersama, dan tersingkir dari sistem hukum ketika perceraian terjadi.
ADVERTISEMENT
Tahun 2024, Pengadilan Agama Rangkasbitung mencatat 1.800 perkara, dan 1.407 di antaranya adalah perceraian banyak berasal dari pernikahan yang tidak tercatat. Di balik angka itu, ada begitu banyak kisah perempuan muda yang harus menghadapi hidup sendirian, dengan anak yang harus diasuh tanpa jaminan hukum atau sosial (rri.co.id).
Saya pribadi tidak menilai pernikahan sebagai kesalahan. Ia bisa menjadi jalan kebaikan, asalkan lahir dari kesiapan yang matang baik secara emosional, pola pikir, maupun finansial. Tidak perlu menunggu mapan, tapi cukup memiliki kesadaran untuk hidup mandiri, layak, dan tidak membebani sekitar. Yang terpenting, pernikahan semestinya bukan sekadar pelarian dari tekanan sosial atau hubungan yang tidak terarah, melainkan ikhtiar untuk membangun keluarga yang sehat dan berdaya, tempat cinta dan tanggung jawab tumbuh seimbang.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, di banyak tempat, pendidikan tentang hal-hal semacam ini masih sangat terbatas. Remaja perempuan di desa kerap tumbuh dalam ruang yang minim pembinaan dan kontrol sosial. Mereka lebih dekat pada tekanan teman sebaya, lebih terpapar media digital yang tanpa filter, dan lebih jauh dari pendidikan seksual yang ramah nilai-nilai agama dan budaya. Padahal, luka dari pergaulan bebas tak hanya menyisakan trauma fisik, tapi juga membekas dalam batin dan merusak kepercayaan diri. Remaja perempuan yang kehilangan arah bisa terjebak dalam pola hidup yang merugikan diri sendiri dan keluarga.
Di tengah kondisi ini, menjadi penting bagi kita semua, keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan ekosistem yang melindungi dan memberdayakan remaja perempuan. Pendidikan tidak cukup hanya sebatas kurikulum, ia harus menyentuh jantung kehidupan: karakter, nilai, dan pemahaman diri. Dengan pendekatan yang utuh dan manusiawi, remaja perempuan kita tidak hanya akan terhindar dari jerat pergaulan bebas, tetapi juga akan tumbuh sebagai sosok yang tangguh, cerdas, dan tahu arah.
ADVERTISEMENT
Dari Kartini ke Kita: Menyalakan Terang, Sekarang
Kartini hidup dalam masa ketika suara perempuan nyaris tak terdengar, apalagi dihargai. Namun, ia memilih untuk menulis. Menyuarakan gelisahnya dalam surat-surat yang melintasi waktu. Dan lewat tulisan-tulisan itulah, terang mulai menyusup ke ruang-ruang gelap pemikiran bangsanya.
Hari ini, lebih dari seabad sejak Kartini menggoreskan kata demi kata dari kamar kecilnya di Jepara, terang itu belum sepenuhnya merata. Masih ada anak perempuan yang harus mengalah demi kakaknya. Masih ada orang tua yang meyakini bahwa sekolah hanya penting untuk laki-laki. Masih ada desa-desa yang belum mampu membentengi remajanya dari pergaulan yang menyesatkan. Dan masih ada mimpi yang dipaksa untuk berhenti, bahkan sebelum sempat tumbuh.
Namun, kita tidak sedang memulai dari nol. Kita berdiri di atas pondasi yang telah dibangun oleh perempuan-perempuan hebat sebelumnya. Kita hanya perlu melanjutkan perjuangan itu dengan lebih peka, lebih adil, dan lebih berani. Karena terang tidak akan datang dengan sendirinya. Ia perlu dinyalakan, dijaga, dan disalurkan.
ADVERTISEMENT
Saya teringat pada satu buku yang begitu berkesan bagi saya: The Alpha Girl’s Guide karya Henry Manampiring. Di dalamnya tertulis, “Ibu yang berpendidikan dan cerdas juga menjadi ibu yang cerdas bagi anak-anaknya. Jangan lupa, anak-anak belajar tidak hanya dari bangku sekolah tetapi juga dari orang tua mereka.” Kutipan ini membuat saya percaya bahwa pendidikan perempuan bukan hanya tentang gelar, tapi tentang dampak yang meluas—ke rumah, ke anak-anak, dan ke generasi yang akan datang. Perempuan yang belajar hari ini, akan membentuk masa depan bangsa besok.
Buku itu juga memuat kutipan dari Najwa Shihab yang menggugah, “Mengapa kita harus merasa kemampuan kita lebih rendah, hanya karena kita seorang perempuan?” Kalimat itu terasa seperti tamparan lembut—pengingat bahwa keraguan kita sering kali bukan datang dari realitas, tapi dari narasi lama yang membatasi.
ADVERTISEMENT
Perubahan besar tidak selalu lahir dari panggung-panggung megah. Kadang ia tumbuh dari percakapan di ruang keluarga, dari keputusan sederhana untuk membiarkan anak perempuan terus sekolah, atau dari seorang ibu yang memilih mendengarkan mimpi anaknya sebelum menghakiminya.
Hari Kartini bukan sekadar perayaan mengenakan kebaya atau mengutip kalimat motivasi. Ia adalah ajakan untuk melihat sekeliling, menyalakan lilin-lilin kecil di tempat yang masih gelap, dan mengakui bahwa perjuangan belum selesai.
Dan jika terang pernah dimulai dari Jepara, maka tidak ada alasan ia tak bisa menyala dari Lebak.