Konten dari Pengguna

Terasingnya Industri Game Lokal di Rumah Sendiri

Maulana Akbar
Peneliti di Pusat Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan - BRIN
23 Juni 2020 14:12 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulana Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi bermain game  Foto:  pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi bermain game Foto: pexels.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Industri game mungkin bukan menjadi industri yang dilirik oleh pemerintah sebagai primadona di masa depan. Bahkan, untuk sekadar berlabel ‘menjanjikan’ pun nampaknya belum mengemuka. Ada alasan utama yang menjadi latar belakangnya. Pertama, kontribusi industri ini masih minim. Survei Khusus Ekonomi Kreatif (SKEK) 2016 menunjukkan industri game (bersamaan dengan aplikasi) hanya berkontribusi sebesar 1.77% dari total industri kreatif yang berkontribusi terhadap PDB. Game masih kalah bersaing dengan industri kuliner dan fesyen yang menjadi tulang punggung industri kreatif di Indonesia. Alasannya bisa jadi sederhana, karena mengembangkan sebuah game memerlukan SDM yang lebih kompleks dan ber-kemampuan lebih tinggi dibandingkan dengan industri-industri seperti kuliner dan fesyen.
ADVERTISEMENT
Kedua, talenta yang ada di Indonesia belum dapat mendukung untuk membuat ekosistem industri ini mapan. Wacana ini muncul Ketika penulis beberapa kali berdiskusi dengan pengurus Asosiasi Game Indonesia (AGI) – yang merupakan wadah bagi pengembang dan penerbit game di Indonesia – yang menjadikan pengembangan talenta sebagai masalah utama dalam programnya. Hal ini perlu ditarik mundur sedikit pada karakteristik industri ini. Casey O’Donell (2012) memunculkan sebuah frasa bahwa “industri game bukan sebuah industri perangkat lunak”. Secara teknis memang benar bahwa mengembangkan sebuah game berarti juga mengembangkan sebuah perangkat lunak, tapi lebih dari itu. Game dibuat berdasarkan perkawinan antara pengembangan teknis komputasi dan seni. Jadi, bisa jadi benar apa yang AGI khawatirkan bahwa agak sulit untuk mencari SDM yang mampu bekerja dalam lingkungan hasil kawin teknik dan seni atau yang mampu memahami keduanya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ekosistem industri game dalam negeri masih seumur jagung. Perusahaan-perusahaan kita tidak bermain pada industri ini pada era konsol yang muncul di akhir tahun 70an hingga akhir 90an. Setidaknya perusahaan-perusahaan pengembang game lokal, baik itu berbadan hukum atau dibuat perseorangan, muncul pada satu dekade terakhir setelah bergemanya era internet dan game mobile. Pada saat itu pembuatan game lebih sederhana terutama dalam pembuatan game mobile yang menjadi masyhur yang sedikit demi sedikit mengambil alih dominasi game konsol.
Padahal frasa pada awal tulisan ini bisa jadi salah: Industri game yang belum ‘menjanjikan’. Mestinya pemerintah dan pelaku industri sadar bahwa sektor ini berpotensi untuk menjanjikan. Hal ini karena pasar dalam negeri bisa dikatakan tidak sedikit. Pada tahun 2020 ini sebuah Lembaga portal online penyedia statistik, Statista, memprediksi bahwa revenue pasar game di Indonesia mencapai 1 Miliar USD (712 juta USD berasal dari game mobile) dengan jumlah pengguna sebanyak 50,8 juta orang dan diperkirakan akan terus naik hingga 61.5 juta pengguna pada tahun 2024. Dampaknya, revenue pula diperkirakan naik hingga tahun yang sama seperti gambar di bawah ini.
ADVERTISEMENT
Gambar 1. Revenue Video Game di Indonesia (Statista.com)
Namun seberapa banyak kontribusi pasar dalam negeri diisi oleh produksi game lokal. AGI percaya bahwa pasar lokal dipenuhi oleh game dalam negeri sekitar 0.4-2%. Artinya, paling Sebagian besar gamers lokal membeli dan menggunakan game asing. Dengan kata lain, hampir satu juta USD uang kita pergi keluar negeri dimana para developer asing memproduksi game nya. Dampaknya adalah developer lokal akan sulit menjual game mereka, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan dana.
Tentunya untuk membentuk pasar yang sehat, kita tidak bisa memaksakan konsumen untuk membeli produk dalam negeri. Hal utama yang dapat ‘adil’ bagi konsumen dan pengembang lokal adalah meningkatkan kualitas game kita. Selain itu, dengan membentuk ekosistem industri ini lebih baik dengan cara menaikkan skala developer-developer yang berjalan sendiri untuk menjadi korporasi yang lebih mapan. Dugaan penulis saat ini adalah banyaknya developer mandiri dan komunitas yang akhirnya datang dan pergi bukan karena mereka tidak berkompeten, tapi mereka tidak bertahan dengan gempuran game asing. Setidaknya, dengan semakin berdaya nya game lokal, kita bisa menahan uang kita untuk berada di rumah sendiri.
ADVERTISEMENT