Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Cerpen : Menantang Hujan & Merangkai Asa Bersama Rakyat Jember
22 Februari 2025 18:43 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Maulana Alif Rasyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perlawanan Struktural Delapan Mahasiswa PMII Rayon Hukum Universitas Jember: Aksi Heroik di bawah Hujan Memperjuangkan Advokasi Kebijakan Berbasis Semangat Kolektif dan Kepedulian Sosial

ADVERTISEMENT
Siang itu, langit Jember mengulum awan kelabu yang retak oleh kilat samar. Hujan turun bukan sebagai tetes-tetes air, melainkan sebagai metafora—setiap jatuhnya mengingatkan pada derai air mata yang tertahan di balik senyap kebijakan. Di sudut kampus Universitas Jember, delapan siluet bergerak dalam ritme yang dipahat oleh kemarahan yang terukur. Taufiq, dengan kacamata yang berkabut embun, menatap dokumen kebijakan efisiensi anggaran di layar laptopnya. Garis-garis kode hukum berbaris seperti nisan-nisan kecil, menandai kematian layanan publik yang dipangkas untuk memberi jalan pada Danantara—raksasa tanpa wajah yang mengunyah dividen BUMN.
ADVERTISEMENT
"Setiap angka di sini," bisik Deva, jarinya menari di atas tabel alokasi dana, "...adalah pintu gerbang menuju skizofrenia struktural. Mereka menyebut efisiensi, tapi yang terjadi adalah pemindahan penderitaan dari kertas ke tenggorokan rakyat." Suaranya pecah oleh letusan petir, seolah langit menyetujui. Deva, sang kepala bidang advokasi, telah menghabiskan tiga malam tanpa tidur merangkai analisis kebijakan. Matanya merah, tapi api di pupilnya lebih terang dari lampu sekretariat PMII Rayon Hukum UNEJ yang berkedip-kedip.
Di sudut lain, Yaksa membenamkan diri dalam tumpukan jurnal hukum internasional. "Pasal 33 UUD NRI 1945, menjadi monumen mati jika kita diam," gumamnya, menandai paragraf tentang kedaulatan ekonomi dengan spidol kuning. Bau kopi tubruk menyengat bercampur aroma buku lawas—sebuah parfum khas para pembongkar hegemoni.
ADVERTISEMENT
Imam, yang biasanya terduduk tenang di pengajian mingguan, kini melepas sarungnya dan menggulung lengan baju. "Keadilan bukan hanya di musholla," katanya pada tiga juniornya yang masih ragu, suaranya menggelegar melebihi gemuruh hujan. "Tapi di jalanan tempat langit menangis melihat ketidakpedulian." Tangannya menunjuk ke arah jendela, di mana kabut hujan menyapu wajah kampus seperti tirai yang menyembunyikan drama kolosal.
Pukul 14.00, hujan semakin menjadi. Delapan payung compang-camping—merah, biru, hitam—bergerak menyusuri Jalan Kalimantan. Air mengalir di aspal membentuk sungai-sungai kecil yang memantulkan bayangan spanduk bertuliskan "Tolak Privatisasi Lewat Efisiensi Semu!". Taufiq memimpin barisan, tubuhnya membungkuk melawan angin yang berusaha menyapu suaranya.
"Kalian tahu?" teriaknya di antara deru hujan, "Martín-Baró bilang fatalisme itu buah dari pengalaman akan sistem yang menindas! Tapi hari ini, kita buktikan bahwa hujan ini bukan air mata pasrah, melainkan semprotan keras untuk membasmi debu-debu keputusasaan!"
ADVERTISEMENT
Deva menyambung dengan data yang dipelajarinya semalaman: "Pemotongan 23 triliun untuk kesehatan sama dengan mengubur 4,5 juta balita stunting di kuburan tanpa nisan!" Angkanya melayang di udara basah, menempel di dinding-dinding toko yang tertutup rapat.
Mereka melewati kantor DPRD Jember. Yaksa mengangkat poster bergambar grafik kematian layanan publik, tinta sudah luntur oleh hujan. "Lihat! Ini bukan kurva, tapi siklus setan yang dipahat oleh tangan-tangan tak terlihat!" Seruannya memantul dari kaca gedung berkaca film, membentuk efek gema yang mengerikan.
Di perempatan jalan dekat Alun-Alun, hujan mengubah aspal menjadi cermin yang memantulkan bayangan delapan tubuh basah kuyup. Imam berdiri di atas pembatas jalan, air mengalir di jaket kuningnya yang bertuliskan "Santri Menolak Tirani". Suaranya pecah membacakan puisi Rendra:
ADVERTISEMENT
"Kita adalah angin yang berhembus di antara gedung-gedung pencakar langit
Kita adalah debu yang masuk ke mesin-mesin raksasa
Tapi kita tak akan berhenti mengganggu ketenangan para pemilik modal!"
Tiga juniornya mulai menyanyikan lagu perjuangan dengan nada fals, tapi hujan segera menyamarkan ketidakpasian itu. Salah seorang dari mereka, Andi, mengeluarkan drone kecil dari tas waterproff-nya. "Kita perlu dokumentasi aerial," katanya, jemari gemetar mengendalikan remot. "Agar dunia tahu bahwa di tengah hujan ini, ada api yang tidak mau padam."
Pukul 15.30, mereka tiba di depan kantor Bupati. Yaksa mengeluarkan termohigrometer portabel dari tasnya. "Kelembaban 95%," bacaanya, "tapi semangat kita harus tetap 100%!" Lelucon sains ini pecah menjadi tawa yang hangat—sebuah resistensi kecil terhadap keseriusan yang mendera.
ADVERTISEMENT
Taufiq membagikan surat posisi yang telah mereka tandatangani. Kertas-kertas itu disimpan dalam map plastik, tapi tinta tanda tangan tetap lumer membentuk bayangan-bayangan abstrak. "Ini bukan sekadar tinta," bisiknya pada Deva, "tapi darah metaforis dari generasi yang menolak menjadi korban fatalisme."
Hujan mulai reda pukul 16.00. Matahari yang muncul dari balik awan menyirami wajah-wajah lelah yang masih basah. Imam melihat pelangi di atas gedung DPRD. "Lihat!" katanya menunjuk, "Pelangi ini bukan ilusi optik, tapi janji fisika bahwa setelah hujan berat, selalu ada cahaya yang berani menembus difraksi!"
Mereka pulang dengan sepatu yang berdecak-decak, seragam basah melekat di kulit, dan senyum yang lebih tegas dari pagi tadi. Di jalan, Taufiq membisikkan kalimat Martín-Baró yang baru saja diingatnya: "Pembebasan mensyaratkan negasi konkret terhadap status quo."
ADVERTISEMENT
Malam itu, di sekretariat PMII yang lembab, delapan laptop menyala seperti kunang-kunang digital. Laporan kegiatan diketik bersamaan dengan analisis kebijakan untuk pertemuan dengan LSM besok. Di layar Andi, video drone yang dirender menunjukkan formasi delapan payung yang bergerak seperti partikel elementer melawan arus—sebuah metafora visual tentang resistensi dalam sistem yang ingin meratakan segala sesuatu menjadi entropi.
Hujan telah berhenti, tapi genangan air di jalanan masih memantulkan cahaya lampu jalan. Seperti kesadaran kritis yang terus menggenang, menunggu matahari pagi untuk menguapkannya menjadi awan-awan baru yang siap menghujani lagi perubahan.
Epilog:
Di sudut ruang kos Deva, buku "Writings for a Liberation Psychology" terbuka di halaman 218. Sebuah kalimat digarisbawahi dengan tinta merah: "The truth of the people is not to be found but made." Di pinggir halaman, coretan tangan Deva menambahkan: "Tergores untaian kisah di Jember, 21 Februari 2025, dengan hujan dan harapan."
ADVERTISEMENT