Konten dari Pengguna

Idul Fitri sebagai Momentum Restorasi Etika Ketatanegaraan: Refleksi Filosofis

Maulana Alif Rasyidi
Advokat Progresif , lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember dengan konsentrasi Hukum Tata Negara, aktif sebagai kader dan mantan Ketua Umum Organ Ekstra. Konsisten menulis tentang isu keadilan gender, HAM, dan kebijakan publik.
31 Maret 2025 16:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulana Alif Rasyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Foto pribadi penulis.   Gambar menunjukkan penulis saat berproses dan belajar di bumi Pandalungan, Jember.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Foto pribadi penulis. Gambar menunjukkan penulis saat berproses dan belajar di bumi Pandalungan, Jember.
ADVERTISEMENT
Idul Fitri, yang secara harfiah berarti "kembali ke kesucian", mengandung filosofi mendalam tentang pemulihan relasi horizontal (hablum minannas) dan vertikal (hablum minallah). Berbicara konteks ketatanegaraan, konsep tersebut seharusnya dimaknai sebagai momentum restorasi prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945) dan supremasi sipil (Pasal 2 huruf d UU Nomor 34 Tahun 2004). Ronald Dworkin dalam Law's Empire (1986) menegaskan bahwa konstitusi harus dibaca sebagai "integritas moral" yang menjamin kesetaraan warga negara. Prinsip ini selaras dengan esensi Idul Fitri yang menekankan penghapusan hierarki sosial melalui tradisi saling memaafkan. Namun, realitasnya, praktik pemerintahan justru kerap mengabaikan prinsip ini, seperti terlihat dari budaya komunikasi arogan pejabat dan maraknya penggunaan buzzer untuk membungkam kritik.
ADVERTISEMENT
Fenomena komunikasi destruktif pejabat, seperti pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut aktivis #IndonesiaGelap dengan ejekan "Mukamu yang gelap!", mencerminkan kegagalan memahami prinsip equality before the law. Blunder ini tidak hanya melanggar Pasal 27 UUD 1945 tentang kesetaraan hukum, tetapi juga bertentangan dengan semangat Idul Fitri yang mengajarkan penghormatan terhadap martabat manusia. Kasus serupa terjadi ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) menyebut kritikus kebijakan militer sebagai "otak kampungan", suatu retorika yang mengingatkan pada mentalitas militaristic paternalism era Orde Baru. Padahal, Idul Fitri seharusnya menjadi refleksi bagi pejabat untuk membersihkan diri dari sikap superioritas, sebagaimana diajarkan dalam konsep tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

Blunder Komunikasi Publik dan Erosi Kepercayaan dalam Bingkai Teori Deliberatif

Komunikasi publik pejabat yang arogan dan tidak empatik telah menjadi faktor krusial dalam menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Teori deliberative democracy Jurgen Habermas (1996) menekankan bahwa legitimasi kebijakan publik hanya bisa tercapai melalui diskursus rasional yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Namun, realitasnya, banyak pejabat justru menggunakan pendekatan monologis dan merendahkan. Contoh nyata terlihat dari respons Kepala Biro Komunikasi Presiden Hasan Nasbi yang menanggapi ancaman kepala babi ke kantor Tempo dengan sindiran "Sudah dimasak saja". Pernyataan ini tidak hanya melanggar Pasal 28F UUD 1945 tentang kebebasan memperoleh informasi, tetapi juga mengurangi tingkat kepercayaan publik sebesar 32% berdasarkan survei LSI Maret 2025.
ADVERTISEMENT
Lebih ironis lagi, blunder komunikasi sering terjadi beberapa bulan jelang Idul Fitri—momen yang seharusnya menjadi ajang rekonsiliasi. Kasus kontroversial datang dari Dedy Corbuzier, influencer yang dekat dengan pemerintah, yang menyebut kritikus program makan bergizi gratis dengan ejekan "kau yang pe'a!". Pernyataan ini mencerminkan budaya influencer politics yang mengubah ruang publik menjadi arena penghinaan, bukan diskusi substantif. Padahal, Idul Fitri mengajarkan al-'afwu (memaafkan) yang harus diimbangi pertanggungjawaban moral, bukan pembalasan verbal. Teori trust in government Eric Uslaner (2002) menjelaskan bahwa kepercayaan publik runtuh ketika pejabat meremehkan kritik, karena masyarakat menganggapnya sebagai pengingkaran terhadap prinsip akuntabilitas.
Belajar dari preseden penyusunan UU Cipta Kerja, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menegaskan tiga pilar partisipasi bermakna—hak didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan—pemerintah kerap mengabaikannya. Kegagalan komunikasi publik menyoal kebijakan pemotongan anggaran pendidikan yang diumumkan tanpa konsultasi publik dan tidak konsisten antara Mantan Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro dengan Menteri Keuangan, sesungguhnya tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan semangat Idul Fitri yang menekankan musyawarah (syura).
ADVERTISEMENT
Penggunaan buzzer pemerintah untuk membentuk opini publik merupakan pengkhianatan terhadap semangat Idul Fitri yang menekankan kejujuran (shidq). Laporan Indonesia Corruption Watch (2024) mengungkapkan bahwa anggaran untuk buzzer mencapai Rp1,2 triliun—dana yang seharusnya dialihkan untuk peningkatan kapasitas partisipasi publik. Praktik ini mencerminkan systematic distortion of communication yang dikritik Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), yang mana negara mengubah ruang publik menjadi alat hegemoni melalui manipulasi informasi. Contoh nyata terlihat dari kampanye "pejabat naik transportasi umum" yang hanya menjadi simulacra (Baudrillard, 1981)—pencitraan kosong tanpa perubahan kebijakan substantif.
Upaya ini memerlukan langkah konkret, seperti pembentukan Dewan Etik Komunikasi Publik yang mengadopsi prinsip maqashid syariah (melindungi jiwa, akal, dan kehormatan). Pelatihan komunikasi berbasis teori dialogic communication (Kent & Taylor, 2002) juga diperlukan agar pejabat mampu merespons kritik tanpa arogansi. Selain itu, penguatan platform partisipasi digital dengan standar meaningful engagement (Arnstein, 1969) harus menjadi prioritas, menggantikan praktik buzzer yang manipulatif.
ADVERTISEMENT
Telaah konteks Indonesia, hal ini berarti menolak segala bentuk militerisasi birokrasi dan memastikan transparansi kebijakan. Sebagaimana zakat fitrah membersihkan harta, momentum lebaran Idul Fitri harus menjadi ritual pembersihan sistem ketatanegaraan dari residu otoritarianisme dan korupsi komunikasi. Hanya dengan langkah demikianlah, fitrah bernegara yang diamanatkan konstitusi—yakni kedaulatan rakyat, supremasi sipil, dan partisipasi autentik (meaningful participation)—dapat terwujud sebagai jalan menuju Indonesia yang berdaulat secara etis dan konstitusional.