Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Pseudo-Harmoni Marcuse dalam Politik Prabowo dan Demokratisasi Kampus UNEJ
11 Maret 2025 9:39 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Maulana Alif Rasyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemilihan tunggal di empat dari lima organisasi mahasiswa Universitas Jember (UNEJ)—BEM FISIP 2025, IMA HTN 2025, BEM FKIP 2024, dan CLC FH 2024—menjadi cermin nyata konsep toleransi represif Herbert Marcuse. Mengacu pada esainya berjudul Repressive Tolerance (1965), Marcuse mengecam praktik toleransi yang justru melanggengkan status quo melalui rekayasa "persatuan" yang menekan konflik substansial (pertarungan gagasan). Kasus tekanan terhadap kontestasi Pemilihan Presiden dan Sekretaris Jendral IMA HTN 2024 antara Rafli Hartono dan Enggar Hayu Pambudi mengafirmasi kritik ini: narasi "menghindari konflik" digunakan untuk meredam pergulatan ideologis, menggantikan dialektika dengan pseudo-harmoni. Marcuse menyebut ini sebagai administrasi kekuasaan melalui mekanisme yang seolah demokratis, tetapi hakikatnya mempertahankan struktur dominasi. Fenomena ini tidak terisolasi— sebab menggunakan sistem calon tunggal atau aklamasi, mengindikasikan krisis sistemik dalam demokrasi kampus.
ADVERTISEMENT
Marcuse mengidentifikasi repressive desublimation sebagai strategi sistem kapitalis untuk mengalihkan energi kritis ke aktivitas yang mengukuhkan logika pasar. Membaca realitas di sejumlah Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di UNEJ, tren penurunan minat berorganisasi berkaitan erat dengan maraknya program magang berinsentif. Data menunjukkan 75% mahasiswa FH UNEJ memprioritaskan magang praktik kerja ketimbang aktivisme—sebuah bentuk false needs, yang mana kepentingan pribadi dianggap lebih rasional ketimbang perubahan struktural. Kampus, melalui kebijakan link and match, menjadi agen reproduksi sistem dengan mengubah mahasiswa dari subjek politik menjadi homo economicus yang teralienasi dari peran negarawan. Marcuse melihat ini sebagai bagian dari penjinakan kesadaran melalui iming-iming mobilitas vertikal, yang mana kritik dibungkam bukan melalui represi fisik, tetapi melalui "hadiah" kapitalistik.
ADVERTISEMENT
Paralelisme Politik Prabowo dan Matinya Ruang Publik Akademik
Strategi pseudo-harmoni Presiden Prabowo Subianto dalam merangkul mantan presiden dari spektrum ideologi berbeda (Jokowi, SBY, Megawati) memiliki resonansi struktural dengan fenomena Ormawa di UNEJ. Marcuse menyebut praktik rekonsiliasi tanpa resolusi konflik sebagai regressive tolerance—bentuk toleransi yang mengosongkan makna demokrasi. Di tingkat kampus, pemilihan tunggal atau "melawan kotak kosong" di Himpunan Mahasiswa Bagian Hukum Perdata (CLC FH UNEJ) 2024 dan Ikatan Mahasiswa Hukum Tata Negara (IMA-HTN) 2025 mereplikasi logika ini: demokrasi direduksi menjadi ritual administratif, mirip dengan pemerintahan Prabowo yang mengedepankan kooptasi teknokratis alih-alih konflik/pertarungan gagasan dengan mantan presiden sebelumnya. Agenda kontestasi menunjukkan bagaimana ruang publik Habermasian—tempat deliberasi rasional—digantikan oleh ruang administratif yang dikontrol birokrasi kampus dan korporasi pendana magang.
ADVERTISEMENT
Kematian Wacana Kritis dan Hegemoni Bahasa Palsu
Marcuse menekankan bahwa dominasi sistem tercermin dalam manipulasi bahasa yang mengaburkan makna sejati. Di UNEJ, istilah "persatuan" dalam sejarah pemilihan IMA HTN 2024 digunakan untuk menetralisasi oposisi, mirip dengan slogan "yang penting demi bangsa dan negara" dalam retorika politik Prabowo. Analisis semiotika terhadap agenda kontestasi IMA-HTN 2024 mengungkapkan kosakata Orwellian: "kontestasi" dipaksakan bermakna "konflik destruktif", sementara "persatuan" diromantisasi sebagai nilai final. Marcuse menyebut ini sebagai penutupan semantik—proses di mana sistem mengontrol kesadaran melalui pembatasan makna kata. Hasilnya, mahasiswa kehilangan kemampuan untuk membayangkan alternatif di luar narasi yang disetujui otoritas.
Mahasiswa sebagai Korban False Consciousness
Magang berinsentif menciptakan prinsip performativitas baru, yang mana keberhasilan diukur melalui akumulasi sertifikat ketimbang dampak sosial. Survei internal segelintir mahasiswa FH UNEJ 2024 yang diukur dengan pamflet apresiasi mahasiswa menunjukkan 58% mahasiswa FH lebih tertarik menjadi "pemenang kompetisi debat berinsentif" ketimbang mengkritik kebijakan kampus. Marcuse akan menyebut ini kepatuhan sukarela (voluntary servitude), yang mana mahasiswa secara "bebas" memilih ketidakberdayaan politik demi insentif kapital. Kondisi tersebut diperparah oleh kurikulum yang mengutamakan skill-based education alih-alih pedagogi kritis Paulo Freire.
ADVERTISEMENT
Praktik demokratisasi Ormawa di UNEJ mengafirmasi tesis Marcuse tentang demokrasi tanpa oposisi. Rekam jejak pemilihan tunggal 2024-2025 melanggengkan siklus kepemimpinan yang tidak teruji dalam dialektika, mirip dengan sistem politik nasional di mana oligarki mengontrol ruang diskursus. Jika kampus—sebagai laboratorium sosial—gagal memproduksi negarawan ideologis, demokrasi Indonesia akan diisi elite teknokratis yang mengulangi pseudo-harmoni ala Prabowo. Data BPS 2024 menunjukkan 86,7% pemilih muda memilih berdasarkan pertimbangan pragmatis, menguatkan krisis demokrasi substantif. Marcuse mengingatkan bahwa demokrasi prosedural tanpa partisipasi kritis hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Liberating Tolerance sebagai Jalan Keluar
Solusi Marcuse adalah toleransi pembebasan (liberating tolerance) yang membuka ruang bagi gagasan radikal. Berbicara konteks UNEJ, solusi tersebut berarti menolak sistem calon tunggal dan merevitalisasi mekanisme kontestasi. Kasus Pemira IMA HTN FH UNEJ 2024 menunjukkan adanya potensi perlawanan: meski ditekan, upaya mempertahankan dua calon sempat muncul sebelum dikalahkan narasi pseudo-harmoni. Marcuse menyarankan pendidikan kontra-hegemoni untuk membongkar indoktrinasi sistemik. Implementasinya bisa melalui:
ADVERTISEMENT
Hanya dengan mengembalikan dialektika sebagai jantung demokrasi, dunia kemahasiswaan UNEJ dapat menjadi mimbar kebebasan akademik yang sesungguhnya—bukan sekadar penyedia tenaga kerja murah untuk rezim kapitalistik.
Fenomena di UNEJ bukanlah kelainan lokal, melainkan gejala dari krisis epistemik demokrasi neoliberal. Melalui lensa Marcuse, pseudo-harmoni dalam kontestasi Ormawa dan politik nasional merupakan dua sisi mata uang yang sama: keduanya mengorbankan kritik demi stabilitas semu. Solusinya terletak pada keberanian membangun ruang agonistik—tempat konflik ideologis tidak ditakuti, tetapi dirayakan sebagai motor perubahan. Tantangan terbesar bukanlah pada rezim politik, tetapi pada kemampuan kita untuk membayangkan dan memperjuangkan alternatif di luar logika sistem yang telah mendarah daging.
ADVERTISEMENT