Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Timnas Diaspora & Lagu Tanah Airku : Nilai Lingkungan Melawan Penggusuran
23 Februari 2025 11:02 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Maulana Alif Rasyidi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sandy Walsh, pemain berdarah Indonesia-Belanda, menatap bendera Merah-Putih yang berkibar di Stadion Gelora Bung Karno. Lagu Tanah Airku mengalun, dan matanya berkaca-kaca. “Ini bukan sekadar sepak bola,” ujarnya dalam wawancara dengan CNN Indonesia (2024). “Saya bermain untuk menghormati darah Jawa ibu saya.” Pernyataan Walsh bukan retorika kosong. Ia merefleksikan keterikatan ontologis para pemain diaspora Timnas Indonesia—seperti Jay Idzes, Ragnar Oratmangoen, dan Rafael Struick—dengan akar budaya yang tak ternilai harganya. Justin Hubner, pemain berdarah Jawa-Belanda, bahkan menato Garuda Pancasila di lengannya sebagai simbol komitmen. “Tato ini adalah pengingat bahwa saya bagian dari tanah yang memberi kehidupan,” katanya kepada Bola.net (2024).
ADVERTISEMENT
Namun, di luar lapangan hijau, proyek-proyek strategis nasional (PSN) seperti Rempang Eco City dan Ibu Kota Nusantara (IKN) justru merobek ikatan serupa. Nelayan di Teluk Naga, Tangerang, kehilangan laut yang menjadi sumber identitas mereka. Petani Suku Redu di NTT tercerabut dari tanah leluhur demi pembangunan Waduk Mbay Lambo. Merefleksikan situasi konflik semacam ini, maka lagu Tanah Airku karya Ibu Sud dan filsafat deep ecology Arne Naess menjadi lentera kritik: nilai intrinsik lingkungan hidup tak boleh dikonversi menjadi angka-angka ekonomi.
Lagu Tanah Airku
“Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang, tetapi kampung dan rumahku, di sanalah ku rasa senang.” Lirik ini, ditulis Ibu Sud pada 1927, bukan sekadar ekspresi nostalgia. Ia adalah kritik halus terhadap kolonialisme Belanda yang meminggirkan nilai-nilai lokal. Merujuk pada Filsafat Lingkungan: Pemikiran Arne Naess dan relevansinya di Indonesia (2023), Budiawan menjelaskan bahwa Tanah Airku merupakan “antitesis dari reduksi alam menjadi komoditas”.
ADVERTISEMENT
Lagu ini menegaskan ontologi kultural masyarakat Indonesia: tanah, sawah, dan laut bukan sekadar sumber daya, melainkan entitas hidup yang menyatu dengan identitas manusia. “Sungai yang jernih, laut yang biru” dalam lirik lagu itu paralel dengan konsep ecological self Arne Naess—identitas manusia yang tak terpisahkan dari alam. Bagi nelayan Teluk Naga yang tergusur PIK 2, laut adalah “ibu” yang memberi nafkah dan makna hidup. Ketika PSN merampasnya, yang hilang bukan hanya mata pencaharian, tetapi juga jati diri.
Filsafat Arne Naess dan Kritik terhadap Kalkulasi Ekonomi
Arne Naess, filsuf Norwegia pencetus deep ecology, menulis dalam Ecology, Community and Lifestyle (1989): “The moment you put a price on nature, you erase its soul.” Pernyataan ini relevan dengan konteks PSN di Indonesia. Proyek seperti Rempang Eco City mengkonversi 16.000 hektare lahan adat Melayu menjadi kawasan industri kaca, menggusur makam leluhur dan tradisi Tau Ae (ritual mandi adat).
ADVERTISEMENT
Menurut Naess, kalkulasi ekonomi dalam kebijakan lingkungan adalah bentuk antroposentrisme instrumental—paradigma yang menilai alam berdasarkan utilitas manusia semata. Padahal, bagi Suku Redu di NTT, tanah adalah tana wini (tanah kehidupan) yang diwariskan turun-temurun. Data Komnas HAM (2024) menunjukkan 1.200 hektare tana wini dirampas untuk Waduk Mbay Lambo, dengan ganti rugi hanya Rp6.700/m². Nilai intrinsik tanah tersebut—sebagai ruang hidup, sumber spiritualitas, dan warisan budaya—tidak pernah masuk dalam kalkulasi pemerintah.
Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Alienasi Ekologis Masyarakat
PSN tidak hanya merampas tanah, tetapi juga memutus mata rantai ekologis-budaya. Realitas di Kendeng, petani yang memprotes pabrik semen menggunakan lirik Tanah Airku sebagai lagu perlawanan. “Tanah airku tidak kulupakan, tetap terkenang,” mereka nyanyikan sambil memeluk jerigen berisi air pegunungan (Haryanto, 2022). Air tersebut, bagi masyarakat Kendeng, adalah sedulur sikep (saudara sejati) yang harus dijaga.
ADVERTISEMENT
Alienasi ekologis ini bertentangan dengan semangat lagu Ibu Sud maupun prinsip biospheric egalitarianism Naess. Karyanya bertajuk The Deep Ecology Movement (1995), Naess menegaskan bahwa semua makhluk memiliki hak hidup setara. Namun, PSN justru mengorbankan hak hidup masyarakat adat dan ekosistem untuk kepentingan korporasi. Contoh nyata terlihat di IKN: 256.142 hektare hutan Kalimantan dialihfungsikan, mengancam habitat orangutan dan sistem kepercayaan Dayak Kenyah yang memandang hutan sebagai uma’ lungun (ibu pertiwi).
Resistensi Kultural dalam Narasi Pemain Diaspora
Narasi para pemain diaspora Timnas Indonesia menjadi cermin resistensi (penolakan) secara tidak langsung terhadap logika PSN. Calvin Verdonk, pemain berdarah Jawa-Belanda, menyatakan dalam Voetbal International (2025): “Saat di Indonesia, saya belajar bahwa kebahagiaan berasal dari kebersamaan, bukan materi.” Pernyataan ini selaras dengan prinsip frugality (kesederhanaan) Naess, yang menolak konsumerisme sebagai indikator kemajuan.
ADVERTISEMENT
Ragnar Oratmangoen, pemain mualaf Timnas Indonesia, bahkan menyebut spiritualitas sebagai alasan bertahan di Indonesia. “Ketika di Belanda, hidup terasa hampa. Di sini, saya menemukan kedamaian dengan menyatu alam,” katanya dalam wawancara TVOne (2025). Pernyataan ini mengingatkan pada konsep Self-realisation Naess—kebahagiaan sejati tercapai ketika manusia menyadari dirinya bagian dari alam.
Politik Hukum
Pasal 142 Undang-Undang Cipta Kerja dan Perpres No. 109/2020 menjadi alat legitimasi perampasan tanah berbasis PSN. Padahal, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 sejatinya telah mengakui hak masyarakat adat atas tanah ulayat. Mengutip dari The Agrarian Question (2023), Gunawan Wiradi mengecam kebijakan ini sebagai “pengkhianatan terhadap konstitusi”.
Bagi Naess, hukum seharusnya melindungi “hak mengada” (right to exist) semua entitas ekologis. Namun kenyataan di Rempang, 16 kampung adat Melayu dihancurkan tanpa persetujuan masyarakat. Laporan Walhi (2024) menunjukkan 89% masyarakat Rempang tidak memiliki sertifikat tanah karena mengikuti sistem adat petalangan. Nilai intrinsik tanah sebagai ruang hidup diabaikan demi target investasi.
ADVERTISEMENT
Integrasi filsafat Naess, semangat Tanah Airku, dan narasi pemain diaspora menuntut reorientasi kebijakan PSN. Pertama, mengadopsi Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan. Kedua, memasukkan cultural impact assessment dalam AMDAL untuk mengukur dampak proyek terhadap nilai-nilai budaya. Ketiga, mengakui living law masyarakat adat sebagai bagian dari sistem hukum nasional.
Seperti ditulis Noer Fauzi dalam Politik Agraria (2024), “Tanah bukan komoditas, melainkan ruang hidup bernilai transenden.” Prinsip ini sejalan dengan pesan Ibu Sud dalam Tanah Airku: “Tanahku tak ku lupakan, engkau ku banggakan.”
PSN telah mengubah tanah air dari “pusaka nenek moyang” menjadi angka-angka di laporan keuangan. Namun, narasi para pemain diaspora seperti Justin Hubner (“Garuda di lengan ini pengingat akar Jawa saya”) membuktikan bahwa nilai intrinsik tak mudah dihancurkan.
ADVERTISEMENT
Untuk melindungi lingkungan hidup, kita harus menolak logika kalkulasi ekonomi. Sebagaimana diucapkan Arne Naess: “Kita bukan pemilik alam, tapi bagian dari jaring kehidupan.” Lagu Tanah Airku dan darah yang mengalir di liniung Timnas Diaspora Indonesia mengajarkan satu hal: tanah air adalah ibu yang memberkahi, bukan komoditas yang diperdagangkan.