Konten dari Pengguna

Ubah Perspektif Negative Thinking dengan Premeditatio Malorum

Maulana Hanif Izzulhaq
Mahasiswa S1 Manajemen UNNES
1 Juli 2024 8:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Maulana Hanif Izzulhaq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustration Negative Thoughts by Sunsama on twitter (telah mendapat izin persetujuan untuk dipakai sebagai cover artikel)
zoom-in-whitePerbesar
ilustration Negative Thoughts by Sunsama on twitter (telah mendapat izin persetujuan untuk dipakai sebagai cover artikel)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sadar ga sih? kita tuh sering loh menyiksa diri dengan pikiran-pikiran buruk yang justru pikiran itu tidak lebih menyakitkan daripada kenyataan yang terjadi. Loh, berarti kita ga perlu dong negative thinking, lagi pula apa baiknya negative thinking? membebani pikiran aja. Mungkin begitu respon kalian saat membaca judul artikel ini, tetapi memang kesannya agak paradoks (bertentangan).
ADVERTISEMENT
Ada sebuah studi terkait kekhawatiran yang tidak terjadi ini, dikutip dari laman Huffington Post dalam artikelnya yang berjudul “85 Percent of What We Worry Never Happens” sejumlah responden diminta mencatat semua kekhawatiran mereka selama beberapa waktu kemudian diakhir studi mereka diminta untuk menandai kekhawatiran yang akhirnya terjadi. Hasilnya 85% responden mengatakan kekhawatiran tersebut tidak pernah terjadi, bahkan dari 15% sisanya, terdapat 79% diantaranya mengatakan mampu mengatasinya lebih baik dari yang diharapkan atau dari kesulitan tersebut memberikannya pelajaran berharga. Nah, dari studi ini disimpulkan bahwa 97% dari apa yang kita khawatirkan tidak lebih dari sekadar pikiran-pikiran yang menakutkan.
Premeditatio Malorum diawali dengan dikotomi kendali dan diakhiri dengan kesimpulan “apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak seandainya hal buruk itu benar terjadi? kemudian jika tidak ada solusi, apakah kita akan benar-benar tersakiti?”
ADVERTISEMENT
Pertama, perlu kita sadari terkait dikotomi kendali. Ada sebagian hal dalam hidup yang berada dibawah kendali kita dan sebagian lagi tidak. Selanjutnya, emosi negatif, seperti marah, sedih, kesal, dan jengkel yang justru sumbernya bukan dari peristiwa dalam hidup, melainkan persepsi, anggapan dan pendapat kita sendiri atas peristiwa tersebut.
Sebuah imunisasi mental
Praktik ini cara kerjanya mirip dengan imunisasi, kekebalan tubuh tercipta dari kuman yang sudah dilemahkan. Dengan kata lain, sistem kekebalan tubuh bisa mempersiapkan diri untuk melawan seandainya kuman yang sesungguhnya datang. Dari analogi tersebut, dapat diartikan bahwa musibah akan terasa lebih berat jika datang tanpa disangka sehingga dengan menduga setiap kemungkinan buruk yang akan terjadi, bahkan seandainya terjadi pun, kita akan lebih siap menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Contohnya, saat akan perjalanan menuju kampus atau kantor. Jika kita sudah memikirkan akan menemui banyak hal yang tidak mengenakkan di jalan, entah kecelakaan, kemacetan atau jalan dialihkan maka hal-hal buruk itu tidak akan terlalu menyebalkan. Di sisi lain, dengan memprediksi saja kita malah jadi kepikiran cara untuk mengantisipasinya.
Barangkali kita pernah berpikir, hampir semua kejadian buruk yang kita bayangin tuh udah pernah terjadi ke orang lain sehingga tidak ada yang benar-benar baru dalam hidup ini kemudian seandainya hal buruk itu tidak ada solusinya, kita masih bisa mikir “apa seburuk-buruk akibat kalau hal itu terjadi? apa benar itu bencana? atau kalau dipikir-pikir lagi ada loh orang yang pernah mengalami hal serupa yang pada akhirnya ternyata konsekuensinya tidak seburuk yang dibayangkan”.
ADVERTISEMENT
Masih kurang paham?
Contoh lagi nih, agar lebih jelas kaitannya dengan dikotomi kendali. Premeditatio Malorum ini dapat diterapkan pada situasi, seperti ketika akan menembak cewe, dalam hal ini kita dituntut untuk membayangkan sebuah penolakan untuk mengurangi kekecewaan. Sebab, dalam dikotomi kendali kita harus menyadari bahwa respon si cewe berada diluar kendali kita. Pertama yang harus kita pikirkan adalah penolakan ini bukan akhir dari segalanya, ditambah kita harus rasional, lagi pula ini hanya sebuah penolakan bukan bencana besar. Seandainya penolakan itu terjadi, toh kita masih bisa melanjutkan hidup meskipun tidak memiliki status hubungan dengannya, justru penolakan ini harus kita anggap sebagai kejelasan dari sebuah hubungan, lebih baik daripada digantung sehingga kita bisa membuka hati lagi kepada orang lain.
ADVERTISEMENT
Jadi mulai sekarang, mari awali hari dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa akan diganggu orang-orang, dihina, dikhianati, bertemu orang egois, tidak tahu berterima kasih, dan segala hal yang tidak menyenangkan.
Dengan demikian, akan membuat perasaan kita menjadi lebih tenang dan tidak kaget lagi dalam menyikapi situasi seandainya terjadi. Sebab, dalam hal ini berpikir buruknya itu disengaja, dengan nalar dan kepala dingin. Bukan negative thinking yang sifatnya emosional, hanya berupa kekhawatiran yang tidak perlu, tidak berujung apa-apa, muncul sendiri tanpa kendali, dan menyiksa tanpa ada solusi.
Ironisnya, negative thinking mungkin bisa membuat seseorang menjadi lebih bahagia. Sebab, jika ternyata hal buruk yang dibayangkan tidak terjadi, tentu kita akan lebih bahagia dengan hari kita dan seandainya terjadi pun terkadang penderitaannya tidak semenyakitkan itu.
ADVERTISEMENT